Aṅguttara Nikāya
7.69. Pāricchattaka
(1) “Para bhikkhu, ketika dedaunan pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa telah menguning, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Dedaunan pohon koral pāricchattakasekarang telah menguning. Sekarang tidak lama lagi dedaunan itu akan berguguran.’
(2) “Ketika dedaunan pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa telah berguguran, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘dedaunan pohon koral pāricchattaka telah berguguran. Sekarang tidak lama lagi awal kemunculan bunga akan terjadi.’
(3) “Ketika awal kemunculan bunga pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa telah terjadi, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Awal kemunculan bunga pohon koral pāricchattaka telah terjadi. Sekarang tidak lama lagi tunas bunga akan tumbuh.’
(4) “Ketika tunas bunga pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa telah tumbuh, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Tunas bunga pada pohon koral pāricchattakatelah tumbuh. Sekarang tidak lama lagi kuncupnya akan muncul.’
(5) “Ketika kuncup bunga pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa telah muncul, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Kuncup bunga pada pohon koral pāricchattakatelah muncul. Sekarang tidak lama lagi kuncupnya akan membuka.’
(6) “Ketika kuncup bunga pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa telah membuka, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Kuncup bunga pada pohon koral pāricchattakatelah membuka. Sekarang tidak lama lagi bunganya akan mekar sempurna.’
(7) “Ketika bunga pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa telah mekar sempurna, para deva Tāvatiṃsa bergembira, dan mereka menghabiskan empat bulan surgawi di bawah pohon koral pāricchattakamenikmati kelima objek kenikmatan indria. Ketika pohon koral pāricchattakatelah mekar sempurna, sinar memancar hingga sejauh lima puluh yojanasekeliling dan aromanya tertiup angin hingga sejauh seratus yojana. Ini adalah keagungan pohon koral pāricchattaka.
(1) “Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang siswa mulia berniat untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, pada saat itu ia adalah seorang yang dedaunannya telah menguning, seperti pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa.
(2) “Ketika seorang siswa mulia telah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, pada saat itu ia adalah seorang yang dedaunannya telah berguguran, seperti pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa.
(3) “Ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … pada saat itu awal kemunculan bunganya telah terjadi, seperti pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa.
(4) “Ketika, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … pada saat itu tunas bunganya telah tumbuh, seperti pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa.
(5) “Ketika, dengan memudarnya sukacita, seorang siswa mulia … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … pada saat itu kuncup bunganya telah muncul, seperti pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa.
(6) “Ketika, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … pada saat itu kuncup bunganya telah membuka, seperti pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa.
(7) “Ketika, dengan hancurnya noda-noda, seorang siswa mulia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, pada saat itu ia telah mekar sempurna, seperti pada pohon koral pāricchattakamilik para deva Tāvatiṃsa.
“Pada saat itu, para bhikkhu, para deva yang berdiam di bumi bersorak: ‘Yang Mulia ini, murid dari Yang Mulia itu, telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dari desa atau pemukiman itu, dan sekarang, dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Setelah mendengar seruan para deva yang berdiam di bumi, para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva bersorak … setelah mendengar seruan para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva yang bersenang dalam penciptaan … para deva yang menguasai ciptaan para deva lain … para deva kumpulan Brahmā bersorak: ‘Yang Mulia ini … telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Demikianlah pada seketika itu, pada sekejap itu, pada detik itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam brahma. Ini adalah keagungan spiritual dari seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan.”