Dīgha Nikāya
Sīlakkhandhavagga
Ambaṭṭha Sutta
3. Tentang Ambaṭṭha
Merendahkan Kesombongan
Demikianlah yang kudengar. Pada Suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengunjungi Kosala disertai oleh lima ratus bhikkhu, dan ia datang ke suatu desa Brahmana Kosala bernama Icchānankala. Dan Beliau menetap di hutan belantara Icchānankala. Pada waktu itu Brahmana Pokkharasāti sedang menetap di Ukkhaṭṭha, suatu tempat yang ramai, banyak rumput, kayu, air dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan kerajaan.
Dan Pokkharasāti mendengar bahwa: ‘Petapa Gotama, putra suku Sakya, yang telah meninggalkan suku Sakya, … sedang menetap di hutan belantara Icchānankala. Dan sehubungan dengan Sang Bhagavā, telah menyebar berita baik: ” Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang sempurna, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan dan Yang Suci.” Beliau menyatakan dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, para petapa dan Brahmana bersama dengan para raja dan umat manusia, telah mengetahui dengan pengetahuanNya sendiri. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dalam makna dan kata, dan Beliau memperlihatkan kehidupan suci yang sempurna, murni sepenuhnya. Dan sesungguhnya adalah baik sekali menemui Arahant demikian.’
Pada masa itu Pokkharasāti memiliki seorang murid, pemuda Ambaṭṭha, yang adalah seorang murid Veda, yang mengetahui mantra-mantra, sempurna dalam Tiga Veda, pembabar terampil dari peraturan-peraturan dan ritual-ritual, pengetahuan suara-suara dan makna-makna dan, kelima, tradisi oral, lengkap dalam filosofi dan dalam tanda-tanda Manusia Luar Biasa, yang diakui dan diterima oleh gurunya dalam Tiga Veda dengan kata-kata: ‘Apa yang kuketahui, engkau juga mengetahuinya; apa yang engkau ketahui, aku juga mengetahuinya.’
Dan Pokkharasāti berkata kepada Ambaṭṭha: ‘Ambaṭṭha, anakku, Petapa Gotama … sedang menetap di hutan belantara Icchānankala. Dan sehubungan dengan Sang Bhagavā itu suatu berita baik telah menyebar … Sekarang pergilah engkau menemui Petapa Gotama dan cari tahu apakah berita ini benar atau tidak, dan apakah Yang Mulia Gotama adalah seperti apa yang mereka katakan atau tidak. Dengan cara itu kita akan menguji Yang Mulia Gotama.’
‘Guru, bagaimanakah aku mencari tahu apakah berita itu benar atau tidak, atau apakah Yang Mulia Gotama adalah seperti yang mereka katakan atau tidak?’ ‘Menurut tradisi dari mantra kita, Ambaṭṭha, manusia luar biasa yang memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa hanya memiliki dua kemungkinan. Jika ia menjalani kehidupan rumah tangga, ia akan menjadi seorang penguasa, seorang raja pemutar-roda hukum kebaikan, penakluk empat penjuru, yang menegakkan keamanan negerinya dan memiliki tujuh pusaka, yaitu: Pusaka-Roda, Pusaka-Gajah, Pusaka-Kuda, Pusaka-Permata, Pusaka-Perempuan, Pusaka-Perumahtangga, dan yang ketujuh, Pusaka-Penasihat. Ia memiliki lebih dari seribu putra yang adalah pahlawan-pahlawan, bersosok kuat, penakluk bala tentara musuh. Ia berdiam setelah menaklukkan tanah yang dikelilingi oleh lautan tanpa menggunakan tongkat atau pedang, melainkan dengan hukum. Tetapi jika ia meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi seorang Arahant, seorang Buddha yang mencapai penerangan sempurna, seorang yang menarik selubung dunia. Dan, Ambaṭṭha, aku adalah pemberi mantra, dan engkau adalah penerima.’
‘Baiklah, Guru’ Ambaṭṭha menjawab Pokkharasāti, dan ia bangkit, berjalan dengan sisi kananya menghadap Pokkharasāti, naik ke atas keretanya yang ditarik oleh seekor kuda betina dan, disertai sejumlah pemuda, pergi menuju hutan belantara Icchānankala. Ia berkendara sejauh yang dimungkinkan oleh keretanya, kemudian turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki.
Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Ambaṭṭha mendekati mereka dan berkata: ‘Di manakah Yang Mulia Gotama sekarang? Kami datang untuk bertemu dengan Yang Mulia Gotama.’
Para bhikkhu berpikir: ‘Ini adalah Ambaṭṭha ini, seorang pemuda dari keluarga yang baik dan seorang murid dari seorang Brahmana termashyur Pokkharasāti. Bhagavā tidak akan keberatan berbincang-bincang dengan seorang pemuda seperti ini.’ Dan mereka berkata kepada Ambaṭṭha: ‘Itu adalah tempat tinggal Beliau, yang pintunya tertutup. Pergilah dengan tenang ke sana, naiklah ke terasnya tanpa terburu-buru, berdehemlah, dan ketuklah gerendel pintunya. Bhagavā akan membukakan pintu untukmu.’
Ambaṭṭha pergi ke tempat tinggal Sang Bhagavā dan naik ke teras, berdehem, dan mengetuk. Sang Bhagavā membuka pintu, dan Ambaṭṭha masuk. Para pemuda itu masuk, saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan duduk di satu sisi. Tetapi Ambaṭṭha berjalan mondar-mandir sementara Sang Bhagavā duduk di sana, mengucapkan kata-kata sopan yang samar-samar, dan kemudian berdiri sambil berbicara di hadapan Sang Bhagavā yang sedang duduk.
Dan Sang Bhagavā berkata kepada Ambaṭṭha: ‘Baiklah, Ambaṭṭha, apakah engkau juga bersikap seperti ini ketika engkau berbicara kepada para Brahmana yang terhormat dan terpelajar, guru dari para guru, seperti sikapmu padaKu, berjalan dan berdiri sementara Aku duduk, dan mengucapkan kata-kata sopan yang samar-samar?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama. Seorang Brahmana harus berjalan dengan Brahmana yang berjalan, berdiri dengan Brahmana yang berdiri, duduk dengan Brahmana yang duduk, dan berbaring dengan Brahmana yang berbaring. Tetapi sehubungan dengan para petapa kecil gundul, rendah, kotoran hitam dari kaki Brahma, kepada mereka adalah cukup untuk berbicara seperti yang kulakukan kepada Yang Mulia Gotama.’
‘Tetapi, Ambaṭṭha, engkau datang ke sini mencari sesuatu. Apapun itu yang membuatmu datang ke sini, engkau harus mendengarkan dengan penuh perhatian untuk mengetahuinya. Ambaṭṭha, engkau belum menyempurnakan latihanmu. Keangkuhanmu karena dilatih bukanlah apa-apa melainkan hanyalah kurangnya pengalaman.’
Tetapi Ambaṭṭha marah dan tidak senang disebut tidak terlatih, dan ia memancing kemarahan Sang Bhagavā dengan kutukan dan hinaan. Berpikir: ‘Petapa Gotama berniat buruk padaku, ia berkata: ‘Yang Mulia Gotama, Para orang Sakya adalah orang yang galak, berbicara-kasar, mudah marah dan kejam. Sebagai orang yang berasal-usul rendah, sebagai orang rendah, mereka tidak menghormati, memuliakan, menghargai, memuji atau memberi hormat kepada para Brahmana. Sehubungan dengan hal ini, adalah tidak pantas … bahwa mereka tidak memberi hormat kepada para Brahmana.’ Ini adalah pertama kalinya Ambaññha menuduh orang-orang Sakya sebagai orang rendah.
‘Tetapi, Ambaṭṭha, apakah yang telah dilakukan orang-orang Sakya kepadamu?’
‘Yang Mulia Gotama, suatu ketika aku pergi ke Kapilavatthu untuk suatu urusan mewakili guruku, Brahmana Pokkharasāti, dan aku datang ke aula pertemuan orang-orang Sakya. Dan pada saat itu banyak orang-orang Sakya yang duduk di tempat duduk yang tinggi di dalam aula pertemuan mereka itu, saling menepuk satu sama lain dengan jari mereka, tertawa dan bermain-main bersama, dan sepertinya mereka mempermainkan aku, dan tidak ada seorangpun yang mempersilakan aku duduk. Sehubungan dengan hal ini, adalah tidak pantas bahwa mereka tidak memberi hormat kepada para Brahmana.’ Ini adalah kedua kalinya Ambaṭṭha menuduh orang-orang Sakya sebagai orang rendah.
‘Tetapi Ambaṭṭha, bahkan burung puyuh, burung kecil itu, boleh mengatakan apapun di sarangnya sendiri. Kapilavatthu adalah wilayah Sakya, Ambaṭṭha. Mereka tidak pantas menerima celaan karena persoalan kecil seperti itu.’
‘Yang Mulia Gotama, ada empat kasta: Khattiya, Brahmana, pedagang dan pekerja. Dan dari empat kasta ini, tiga—Khattiya, pedagang dan pekerja—semuanya tunduk pada Brahmana. Sehubungan dengan hal ini, adalah tidak pantas bahwa mereka tidak memberi hormat kepada para Brahmana.’ Ini adalah ketiga kalinya Ambaṭṭha menuduh orang-orang Sakya sebagai orang rendah.
Kemudian Sang Bhagavā berpikir: ‘Anak muda ini terlalu jauh menghina suku Sakya. Bagaimana jika aku menanyakan nama sukunya?’ Maka Beliau berkata: ‘Ambaṭṭha, dari suku apakah engkau?’ ‘Aku adalah seorang Kaṇhāyan, Yang Mulia Gotama.’
‘Ambaṭṭha, di masa lalu, menurut orang-orang yang mengingat silsilah para leluhur, suku Sakya adalah majikan, dan engkau adalah keturunan dari seorang budak perempuan dari orang-orang Sakya. Karena orang-orang Sakya menganggap Raja Okkāka sebagai leluhurnya. Pada suatu ketika Raja Okkāka, yang sangat mencintai permaisurinya, yang ingin mengalihkan kerajaannya kepada putranya, mengusir putra-putranya yang lebih tua dari kerajaan—Okkāmukha, Karaṇḍu, Hatthinīya dan Sīnipura. Dan orang-orang ini, karena terusir, membangun rumah mereka di lereng Himālaya di sebelah kolam teratai dimana terdapat hutan pohon ek. Dan karena khawatir akan mencemari keturunan, mereka menikahi saudara-saudara perempuan mereka sendiri. Kemudian Raja Okkāka bertanya kepada para menteri dan penasihatnya: “Di manakah para pangeran menetap sekarang?” dan mereka memberitahunya. Mendengar berita ini Raja Okkāka berseru:
“Mereka kuat bagaikan kayu jati sāka, para pangeran ini, mereka adalah orang Sakya sejati!” dan demikianlah bagaimana suku Sakya memperoleh namanya yang termashyur. Dan Raja itu adalah leluhur dari orang-orang Sakya.
‘Raja Okkāka memiliki seorang budak perempuan yang bernama Disā, yang melahirkan seorang bayi hitam. Makhluk hitam itu, ketika lahir, ia berseru: “Cuci aku, ibu! Mandikan aku, ibu! Bebaskan aku dari kotoran ini, dan aku akan memberimu keuntungan!” Karena, Ambaṭṭha, seperti halnya orang-orang sekarang menggunakan istilah orang katai pisāca sebagai istilah hinaan, demikian pula pada masa itu mereka mengatakan hitam kaṇha. Dan mereka berkata: “Segera setelah ia lahir, ia berbicara. Ia terlahir sebagai Kaṇha, katai!” Demikianlah di masa lalu … para Sakya adalah majikan, dan engkau adalah keturunan dari gadis budak orang Sakya.’
Mendengar hal ini, seorang pemuda berkata: “Yang Mulia Gotama, jangan keterlaluan menghina Ambaṭṭha dengan cerita tentang keturunan seorang gadis-budak: Ambaṭṭha terlahir mulia, seorang dari keluarga terhormat, ia sangat terpelajar, ia sopan, seorang pelajar, mampu mempertahankan pendapatnya sendiri dalam diskusi ini dengan Yang Mulia Gotama!’
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada pemuda itu: ‘Jika kalian menganggap Ambaṭṭha terlahir rendah, tidak berasal dari keluarga terhormat, tidak terpelajar, tidak sopan, bukan pelajar, tidak mampu mempertahankan pendapatnya sendiri dalam diskusi ini dengan petapa Gotama, maka biarlah Ambaṭṭha tetap diam, dan kalian melanjutkan diskusi ini denganKu. Tetapi jika engkau menganggap ia … mampu mempertahankan pendapatnya sendiri, maka kalian diamlah, dan biarkan ia berdiskusi denganKu.’
‘Ambaṭṭha terlahir-mulia, Yang Mulia Gotama … kami akan diam, ia akan melanjutkan.’
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Ambaṭṭha: ‘Ambaṭṭha, Aku mempunyai satu pertanyaan mendasar untukmu, yang tidak akan suka engkau jawab. Jika engkau tidak menjawab, atau menghindari pertanyaan, jika engkau berdiam diri atau pergi, maka kepalamu akan pecah menjadi tujuh keping. Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Pernahkah engkau mendengar dari para Barhmana tua dan terhormat, guru dari para guru, darimana asalnya suku Kaṇhāya, atau siapakah leluhurnya?’ Atas pertanyaan ini, Ambaṭṭha berdiam diri. Sang Bhagavā bertanya untuk kedua kalinya.
Ambaṭṭha masih berdiam diri. Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Jawab pertanyaanKu sekarang, Ambaṭṭha, ini bukan waktunya untuk berdiam diri. Siapapun, Ambaṭṭha, yang tidak menjawab pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Sang Tathāgata untuk ketiga kalinya, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping.’
Dan pada saat itu yakkha Vajirapāni, memegang pentungan besi besar, menyala dan berkilauan, melayang di angkasa tepat di atas Ambaṭṭha, dengan pikiran: ‘Jika pemuda Ambaṭṭha ini tidak menjawab pertanyaan wajar yang diajukan oleh Sang Bhagavā untuk ketiga kalinya, maka aku akan memecahkan kepalanya menjadi tujuh keping!’ Sang Tathāgata melihat Vajirapāni, demikian pula Ambaṭṭha. Dan melihat pemandangan itu, Ambaṭṭha ketakutan dan menjadi kehilangan akal, bulu badannya berdiri, dan ia mencari perlindungan, tempat bernaung dan keselamatan dari Sang Bhagavā. Merangkak mendekati Sang Bhagavā, ia berkata: ‘Apakah yang Yang Mulia Gotama tanyakan? Sudilah yang Mulia Gotama mengulangi pertanyaannya!’ ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Pernahkah engkau mendengar tentang siapakah leluhur dari suku Kaṇhāya?’ ‘Ya, aku pernah mendengarnya seperti yang Yang Mulia Gotama katakan, itulah asal mula suku Kaṇhāya, ia adalah leluhur kami.’
Mendengar hal itu, para pemuda itu berteriak riuh: ‘Jadi Ambaṭṭha terlahir rendah, bukan berasal dari keluarga yang mulia, terlahir dari seorang gadis-budak dari orang-orang Sakya, dan orang-orang Sakya adalah majikan Ambaṭṭha! Kami telah menghina Pertapa Gotama, menganggap Beliau tidak mengatakan kebenaran!’
Kemudian Sang Bhagavā berpikir: ‘Ini keterlaluan, cara para pemuda ini menghina Ambaṭṭha sebagai putra dari seorang gadis-budak. Aku harus mengeluarkannya dari situasi ini.’ Maka Beliau berkata kepada para pemuda itu: ‘Jangan keterlaluan menghina Ambaṭṭha sebagai putra seorang gadis-budak! Kaṇha itu adalah seorang bijaksana yang sakti. Ia pergi ke negeri selatan, mempelajari mantra dari para Brahmana di sana, dan kemudian mendatangi Raja Okkāka dan meminta putrinya Maddarūpī. Dan Raja Okkāka, marah dan berseru: “Jadi orang ini, putra dari seorang gadis-budak, menginginkan putriku!” dan ia memasang anak panah pada busurnya. Tetapi ia tidak mampu menembakkan anak panah itu maupun melepaskannya. Kemudian para menteri dan penasihat mendatangi sang bijaksana Kaṇha dan berkata: “Ampuni raja, Tuan, ampuni raja!”
‘“Raja akan selamat, tetapi jika ia melepaskan anak panahnya ke bawah, bumi ini akan gempa sejauh batas kerajaan ini!”
‘“Tuan, Ampuni raja, ampuni tanah ini!”
‘“Raja dan tanah akan selamat, tetapi jika ia melepaskan anak panah itu ke atas, hingga batas kerajaannya, dewa tidak akan menurunkan hujan selama tujuh tahun.”
‘“Tuan, Ampuni raja, ampuni tanah ini, dan semoga dewa memberikan hujan!”
‘“Raja dan tanah akan selamat, dan dewa akan memberikan hujan, tetapi jika raja mengarahkan anak panah ini ke pangeran mahkota, pangeran akan baik-baik saja.”
‘Maka para menteri berseru: “Biarkan Raja Okkāka membidikkan anak panahnya kepada pangeran mahkota, pangeran akan baik-baik saja!” Raja melakukannya, dan pangeran tidak terluka, kemudian Raja Okkāka, takut akan hukuman dari para dewa!, memberikan putrinya Maddarūpi. Karena itu, anak-anak muda, jangan keterlaluan menghina Ambaṭṭha sebagai putra seorang gadis-budak. Kaṇha itu adalah seorang bijaksana sakti.’
Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Ambaṭṭha, bagaimana menurutmu? Seandainya seorang pemuda Khattiya menikah dengan seorang gadis Brahmana, dan lahir seorang anak dari pasangan itu. Apakah putra dari pemuda Khattiya dan gadis Brahmana itu akan menerima tempat duduk dan air dari para Brahmana?’ ‘Ya, ia akan menerimanya, Yang Mulia Gotama.’
‘Apakah mereka akan mengizinkannya makan pada ritual pemakaman, pada upacara persembahan nasi, pada upacara pengorbanan atau sebagai seorang tamu?’ ‘Ya, mereka akan mengizinkannya, Yang Mulia Gotama.’
‘Apakah mereka akan mengajarkan mantra kepadanya atau tidak?’ ‘Mereka akan mengajarkan mantra kepadanya, Yang Mulia Gotama.’
‘Apakah mereka akan menutupi atau tidak menutupi para perempuan mereka?’ ‘Tidak menutupi, Yang Mulia Gotama.’
‘Tetapi apakah para Khattiya akan memercikkannya dengan penahbisan Khattiya?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Mengapa tidak?’ ‘Karena, Yang Mulia Gotama, ia tidak terlahir-mulia dari pihak ibunya.’
‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Seandainya seorang pemuda Brahmana menikah dengan seorang gadis Khattiya, dan lahir seorang anak dari pasangan itu. Apakah putra dari pemuda Brahmana dan gadis Khattiya itu menerima tempat duduk dan air dari para Brahmana?’ ‘Ya, ia akan menerimanya, Yang Mulia Gotama.’ … seperti pada paragraf 1.24
‘Tetapi apakah para Khattiya akan memercikkannya dengan penahbisan Khattiya?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Mengapa tidak?’ ‘Karena, Yang Mulia Gotama, ia tidak terlahir-mulia dari pihak ayahnya.’
‘Maka, Ambaṭṭha, para Khattiya, melalui seorang laki-laki menikahi seorang perempuan atau seorang perempuan menikahi seorang laki-laki, adalah lebih tinggi daripada para Brahmana. Bagaimanakah menurutmu, Ambaṭṭha? Ambil kasus seorang Brahmana yang, karena alasan tertentu, dicukur rambutnya oleh para Brahmana, dihukum dengan sekantung debu dan diusir dari suatu negeri atau kota. Apakah ia menerima tempat duduk dan air dari para Brahmana?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Apakah mereka mengizinkannya untuk makan … sebagai tamu?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Apakah mereka akan mengajarinya mantra, atau tidak?’ ‘Mereka tidak akan mengajarinya, Yang Mulia Gotama.’
‘Apakah mereka akan menutupi atau tidak menutupi para perempuan mereka?’ ‘Menutupi, Yang Mulia Gotama.’
‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Ambil kasus seorang Khattiya yang, … dicukur rambutnya oleh para Khattiya, … dan diusir dari suatu negeri atau kota. Apakah ia akan menerima tempat duduk dan air dari para Brahmana?’ ‘Ia akan menerimanya, Yang Mulia Gotama.’ … seperti paragraf 24 ‘Apakah mereka akan menutupi atau tidak menutupi para perempuan mereka?’ ‘Tidak menutupi, Yang Mulia Gotama.’
‘Tetapi Khattiya itu telah mencapai penghinaan yang paling berat hingga … ia diusir dari negeri atau kotanya. Jadi, bahkan jika seorang Khattiya menderita penghinaan berat, ia lebih tinggi dan para Brahmana lebih rendah.
‘Ambaṭṭha, syair ini dinyanyikan oleh Brahmā Sanankumāra:
“Khatiya adalah yang terbaik di antara semua kasta;
Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”
“Syair ini dinyanyikan dengan benar, tidak dinyanyikan dengan salah, diucapkan dengan benar, tidak diucapkan dengan salah, berhubungan dengan manfaat, bukan tidak berhubungan dengan manfaat. Dan Ambaṭṭha, aku juga mengatakan hal ini:
“Khatiya adalah yang terbaik di antara semua kasta;
Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”
Akhir dari bagian pembacaan pertama
‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, apakah perilaku, apakah pengetahuan?’
‘Ambaṭṭha, bukanlah dari sudut pandang pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan, maka suatu reputasi yang berdasarkan kelahiran dan suku dinyatakan, juga bukan dari kesombongan yang mengatakan: “Engkau berharga bagiku, engkau tidak berharga bagiku!” Karena dimana ada memberi, menerima, atau memberi dan menerima dalam pernikahan, di sana selalu ada pembicaraan dan keangkuhan ini … Tetapi mereka yang diperbudak oleh hal-hal demikian adalah jauh dari pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan, yang dicapai dengan meninggalkan semua hal tersebut!’
‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, apakah perilaku, apakah pengetahuan?’
‘Ambaṭṭha, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang sempurna, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan dan Yang Suci. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuanNya sendiri, menyatakan dunia dengan para dewa, māra dan Brahmā, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma yang indah di awal, indah di tengah, dan indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang murni dan sempurna. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (Sutta 2, paragraf 41–62); ia menjaga pintu-pintu indrianya, dan seterusnya (Sutta 2, paragraf 64–75); mencapai empat jhāna (Sutta 2, paragraf 75–82). Demikianlah ia mengembangkan perilaku. Ia mencapai berbagai pandangan terang (Sutta 2, paragraf 83–95), dan lenyapnya kekotoran (Sutta 2, paragraf 97) … Dan lebih dari ini tidak ada lagi pengembangan yang lebih jauh dari pengetahuan dan perilaku yang lebih tinggi atau lebih sempurna.
‘Tetapi, Ambaṭṭha, dalam mengejar pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan terdapat empat jalan kegagalan. Apakah itu? Pertama, seorang petapa atau Brahmana yang belum berhasil mendapatkan pencapaian tanpa tandingan ini, membawa pikulannya dan masuk ke hutan dan berpikir: ‘Aku akan hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin.’ Tetapi dengan cara ini ia hanya menjadi seorang pelayan dari ia yang telah mencapai. Ini adalah jalan kegagalan pertama. Kemudian, seorang petapa atau Brahmana … , karena tidak mampu hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin, mengambil sekop dan keranjang, dan berpikir: “Aku akan hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran.” … Ini adalah jalan kegagalan kedua. Kemudian lagi, seorang petapa atau Brahmana, karena tidak mampu hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran, membuat api di perbatasan desa atau kota dan duduk memelihara kobaran api … Ini adalah jalan kegagalan ketiga. Kemudian lagi, seorang petapa atau Brahmana, karena tidak mampu memelihara kobaran api, mendirikan rumah dengan empat pintu di persimpangan jalan dan berpikir: ‘Petapa atau Brahmana manapun yang datang dari empat penjuru, aku akan menghormatinya dengan segenap tenaga dan kemampuanku.” Tetapi dengan cara ini ia hanya menjadi seorang pelayan dari ia yang telah mencapai pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan. Ini adalah jalan kegagalan keempat.
‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Apakah engkau dan gurumu hidup sesuai dengan pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama! Siapakah guruku dan aku dibandingkan dengan mereka itu? Kami jauh dari sana!’
‘Baiklah, Ambaṭṭha dapatkah engkau dan gurumu, karena tidak mampu mencapai ini … , pergi dengan membawa pikulanmu masuk ke dalam hutan, bermaksud untuk hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Baiklah, Ambaṭṭha dapatkah engkau dan gurumu, karena tidak mampu mencapai ini … , hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran, … duduk memelihara api,
… mendirikan rumah … ?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Jadi Ambaṭṭha, bukan saja engkau dan gurumu tidak mampu mencapai pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan, tetapi bahkan empat jalan kegagalan pun masih diluar jangkauan kalian. Namun engkau dan gurumu, Brahmana Pokkharasāti berani mengucapkan kata-kata ini: “Para petapa kecil gundul ini, rendah, kotoran hitam dari kaki Brahmā, pembicaraan apakah yang dapat mereka sampaikan kepada para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda?”—bahkan kalian tidak mampu melakukan tugas-tugas dari seorang yang gagal. Lihat, Ambaṭṭha, betapa gurumu telah mengecewakan engkau!
‘Ambaṭṭha, Brahmana Pokkharasāti hidup dari belas kasihan dan bantuan Raja Pasenadi dari Kosala. Tetapi Raja tidak mengizinkannya untuk menghadap secara langsung. Ketika ia berbicara dengan Raja, mereka dipisahkan oleh sehelai tirai. Mengapa Raja tidak mengizinkan pertemuan langsung dengan seorang yang telah ia anugerahi sumber penghasilan yang layak? Lihat bagaimana gurumu telah mengecewakan engkau!
‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Misalkan Raja Pasenadi sedang duduk di punggung seekor gajah atau kuda, atau sedang berdiri di atas keretanya, berdiskusi dengan para menterinya dan para pangeran mengenai sesuatu.
Dan misalkan ia harus menyingkir karena beberapa pekerja atau pembantu pekerja datang dan berdiri di tempatnya. Dan sambil berdiri di sana ia berkata: “Ini adalah apa yang dikatakan oleh Raja Pasenadi dari Kosala!” Apakah ia mengucapkan kata-kata Raja, seolah-olah ia sama dengan Raja?’ ‘Tentu tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Baiklah, Ambaṭṭha, ini adalah hal yang serupa. Mereka yang, seperti engkau katakan, para Brahmana kelas satu, pencipta dan pembabar mantra-mantra, yang syair-syair kunonya dibacakan, diucapkan dan dikumpulkan oleh para Brahmana masa kini—Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, Bhagu—yang mantranya dikatakan telah diwariskan kepadamu dan gurumu; namun engkau tidak serta merta menjadi seorang bijaksana atau seorang yang menjalankan praktik dari seorang bijaksana—hal demikian adalah mustahil.
‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Apa yang engkau dengar dari yang dikatakan oleh para Brahmana yang terhormat, tua, guru dari para guru? Para bijaksana kelas satu … , Aṭṭhaka, … Bhagu—apakah mereka bersenang-senang, mandi dengan baik, menggunakan wangi-wangian, rambut dan janggutnya terpotong rapi, berhiaskan kalung bunga dan mahkota bunga, berpakaian jubah putih, menikmati lima kenikmatan-indria dan menyukainya, seperti yang dilakukan oleh engkau dan gurumu?’
‘Atau apakah mereka memakan nasi khusus yang baik dengan noda-noda hitam yang telah dibersihkan, dengan berbagai sup dan kari, seperti yang dimakan oleh engkau dan gurumu?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Atau apakah mereka menghibur diri dengan para perempuan dengan pakaian berlipat dan berumbai, seperti yang engkau dan gurumu lakukan?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Atau apakah mereka berkeliling naik kereta yang ditarik oleh kuda betina dengan ekor dikepang, yang mereka kendalikan dengan tongkat-kendali panjang?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Atau apakah mereka dikawal di kota-kota yang dibentengi dengan pagar dan barikade, oleh orang-orang berpedang panjang … ?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Jadi, Ambaṭṭha, engkau dan gurumu bukanlah orang bijaksana atau orang yang berlatih di jalan seorang bijaksana. Dan sekarang, sehubungan dengan keraguan dan kebingunganmu sehubungan denganKu, kita akan menjernihkan permasalahan ini dengan pertanyaanmu kepadaKu dan jawabanKu atas pertanyaanmu.’
Kemudian, turun dari tempat kediamanNya, Sang Bhagavā mulai berjalan mondar-mandir, dan Ambaṭṭha melakukan hal yang sama. Dan sewaktu ia berjalan bersama dengan Sang Bhagavā, Ambaṭṭha memperhatikan tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Dan ia dapat melihat seluruhnya kecuali dua. Ia ragu-ragu dan bingung sehubungan dengan dua tanda ini; ia tidak dapat memutuskan atau yakin akan alat kelamin yang terselubung dan lidah yang panjang.
Dan Sang Bhagavā, menyadari keragu-raguannya, mengerahkan kekuatan batinNya sehingga Ambaṭṭha dapat melihat alat kelaminNya yang terselubung, dan kemudian, menjulurkan lidahNya, ia menjulurkan keluar untuk menjilat kedua telingaNya dan kedua cuping hidungNya, dan kemudian menutupi seluruh keningnya dengan lidahNya. Kemudian Ambaṭṭha berpikir: Petapa Gotama ini memiliki seluruh tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa, lengkap dan tidak ada yang kurang.’ Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia Gotama, bolehkah aku pergi sekarang? Aku mempunyai banyak urusan, banyak yang harus dilakukan.’ ‘Ambaṭṭha, lakukanlah apa yang engkau anggap baik.’ Maka Ambaṭṭha naik ke atas keretanya yang ditarik oleh kuda-kuda betina dan pergi.
Sementara itu Brahmana Pokkharasāti berada di luar rumahnya dan sedang duduk di taman bersama banyak Brahmana, menunggu Ambaṭṭha. Kemudian Ambaṭṭha datang ke taman itu. Ia berkendara sejauh yang dimungkinkan oleh keretanya, kemudian turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat di mana Pokkharasāti berada, memberikan salam hormat, dan duduk di satu sisi. Kemudian Pokkharasāti berkata:
‘Baiklah, anakku, apakah engkau bertemu dengan Yang Mulia Gotama?’ ‘Aku bertemu denganNya, Guru’.
‘Dan apakah Yang Mulia Gotama seperti yang diberitakan, dan bukan sebaliknya? Dan apakah Beliau memiliki ciri-ciri demikian, dan bukan sebaliknya?’ ‘Guru, Beliau adalah seperti yag diberitakan, dan Beliau memiliki ciri-ciri demikian, dan bukan sebaliknya. Beliau memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar biasa, semuanya lengkap, tidak ada yang kurang.’
‘Tetapi apakah terjadi pembicaraan antara engkau dengan petapa Gotama?’ ‘Ada, Guru’.
‘Dan tentang apakah pembicaraan itu?’ Maka Ambaṭṭha menceritakan kepada Pokkharasāti semua yang terjadi antara Sang Bhagavā dan dirinya.
Mendengar cerita ini Pokkharasāti berseru: ‘Baiklah, engkau murid kecil yang cerdas, seorang bijaksana yang pintar, seorang ahli dalam Tiga Veda! Siapapun yang melakukan urusannya seperti itu akan, saat ia meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, pergi menuju alam bawah, menuju jalan jahat, menuju kehancuran, menuju neraka! Engkau telah menumpuk hinaan pada Yang Mulia Gotama, sebagai akibatnya Beliau akan memberikan lebih banyak lagi hal-hal yang melawan kita! Engkau murid kecil yang cerdas … !’ Ia begitu marah dan murka sehingga ia menendang Ambaṭṭha, dan ingin segera pergi menjumpai Sang Bhagavā.
Tetapi para Brahmana berkata: ‘Sudah sangat larut, Tuan, untuk pergi menjumpai petapa Gotama hari ini. Yang Mulia Pokkharasāti dapat pergi menjumpaiNya besok.’
Kemudian Pokkharasāti, setelah menyiapkan makanan-makanan yang keras dan lunak di rumahnya, pergi dengan diterangi oleh cahaya obor dari Ukkaṭṭha menuju hutan Icchānankala. Ia pergi dengan mengendarai kereta sejauh yang dimungkinkan, kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat di mana Sang Bhagavā berada. Setelah saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan berkata:
‘Yang Mulia Gotama, apakah murid kami Ambaṭṭha datang menjumpaiMu? ‘Ya, ia menjumpaiKu, Brahmana.’ ‘Dan apakah terjadi pembicaraan antara kalian?’ ‘Ya, kami berbicara.’ ‘Dan tentang apakah pembicaraan itu?’
Kemudian Sang Bhagavā menceritakan kepada Pokkharasāti semua yang terjadi antara Beliau dan Ambaṭṭha. Mendengar hal ini, Pokkharasāti berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia Gotama, Ambaṭṭha hanyalah seorang pemuda bodoh. Sudilah Yang Mulia Gotama memaafkannya.’ ‘Brahmana, semoga Ambaṭṭha berbahagia.’
Kemudian Pokkharasāti mencari tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā dan ia dapat melihat seluruhnya kecuali dua: alat kelamin yang terselubung dan lidah yang panjang, tetapi Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batinNya. seperti paragraf 11–12. Dan Pokkharasāti berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sudilah Yang Mulia Gotama menerima makanan dariku hari ini bersama para bhikkhu!’ dan Sang Bhagavā menerimanya dengan berdiam diri.
Mengetahui penerimaan Sang Bhagavā, Pokkharasāti berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sudah waktunya, Yang Mulia Gotama, makanan telah siap.’ Dan Sang Bhagavā, setelah merapikan jubahNya di pagi hari itu dan membawa jubah serta mangkukNya, pergi bersama para bhikkhu ke tempat kediaman Pokkharasāti, dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian Pokkharasāti sendiri yang melayani Sang Bhagavā dengan berbagai pilihan makanan keras dan lunak, dan para pemuda melayani para bhikkhu. Dan ketika Sang Bhagavā telah mengangkat tanganNya dari mangkuk, Pokkharasāti duduk di satu sisi di atas bangku kecil.
dan ketika Pokkharasāti duduk di sana,
Sang Bhagavā membabarkan khotbah bertingkat tentang kedermawanan, moralitas dan tentang surga, menunjukkan bahaya, penurunan dan kerusakan dari kenikmatan-indria, dan manfaat dari meninggalkan keduniawian. Dan ketika Sang Bhagavā mengetahui bahwa pikiran Pokkharasāti telah siap, lunak, bebas dari rintangan, gembira dan tenang, Beliau membabarkan khotbah Dhamma secara ringkas: tentang penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan Sang Jalan. Dan bagaikan sehelai kain bersih yang semua kotoran telah dihilangkan akan dapat diwarnai dengan baik, demikian pula dalam diri Brahmana Pokkharasāti, selagi masih duduk di sana, muncul Mata-Dhamma yang murni dan tanpa noda, dan ia mengetahui: ‘Segala sesuatu yang memiliki asal-mula pasti akan lenyap.’
Dan Pokkharasāti, setelah melihat, mencapai, mengalami dan menembus Dhamma, setelah melampaui keragu-raguan, melampaui ketidak-pastian, setelah mencapai keyakinan sempurna dalam Ajaran Sang Guru tanpa bergantung pada yang lainnya, berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terbalik, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara … aku bersama putraku, istriku, para menteri dan penasihatku berlindung kepada Yang Mulia Gotama, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Semoga Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai siswa awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidupku! Dan kapan saja Yang Mulia Gotama mengunjungi keluarga lain di Ukkaṭṭha, sudilah Beliau juga mengunjungi keluarga Pokkharasāti! Pemuda dan gadis yang manapun juga akan memuliakan Yang Mulia Gotama dan berdiri di hadapan Beliau, akan memberikan tempat duduk dan air dan akan gembira dalam hati, dan itu adalah demi kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama bagi mereka.’
‘Diucapkan dengan baik sekali, Brahmana!’