Madhyamāgama

13. Kotbah tentang [Prinsip-Prinsip yang Harus] Dilampaui

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Terdapat tiga prinsip yang harus dilampaui, [prinsip yang dipegang oleh mereka] yang berasal dari afiliasi yang berbeda, sebutan yang berbeda, aliran yang berbeda, dan ajaran yang berbeda yang, walaupun diterima dengan baik, dengan kuat dipegang, dan dinyatakan kepada orang lain oleh orang-orang yang disebut bijaksana, tidak bermanfaat. Apakah tiga hal ini?

“Terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada kehidupan sebelumnya.” Lagi, terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang disebabkan dan diciptakan oleh suatu dewa tertinggi.” Lagi, terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang adalah tanpa sebab atau kondisi apa pun.”

“Dalam hal ini, jika terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada kehidupan lampau,” maka aku mendekati mereka dan, setelah mendekati mereka, aku bertanya:

“Teman-teman yang mulia, apakah benar bahwa kalian memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada kehidupan lampau”?

“Mereka menjawab: “Ya.” Kemudian aku berkata kepada mereka:

“Jika demikian, teman-teman yang mulia, maka kalian semua mendukung pembunuhan makhluk-makhluk hidup. Mengapa demikian? Karena semua disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada kehidupan lampau[, oleh sebab itu orang-orang tidak dapat memiliki tanggung jawab moral atas perbuatan mereka]. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, kalian mendukung pengambilan apa yang tidak diberikan, perilaku seksual yang salah, ucapan salah… (dan seterusnya sampai dengan) pandangan salah. Mengapa demikian? Karena semua itu disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada kehidupan lampau. Teman-teman yang mulia, jika pandangan bahwa semua disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada kehidupan lampau adalah benar, maka akan mengikuti secara logis bahwa semua yang dilakukan atau tidak dilakukan seseorang, terjadi tanpa keinginan, tanpa usaha. Teman-teman yang mulia, jika dalam melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, seseorang tidak memiliki pemahaman yang benar, maka ia telah kehilangan perhatian penuh dan tidak memiliki kewaspadaan penuh, dan oleh karenanya tidak dapat diajarkan.

“Jika para pertapa [dan brahmana] menyatakan suatu ajaran demikian, maka para pertapa dan brahmana itu dapat disanggah dengan pemikiran demikian.

“Dalam hal ini, jika terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang disebabkan dan diciptakan oleh suatu dewa tertinggi,” maka aku mendekati mereka dan, setelah mendekati mereka, aku bertanya:

“Teman-teman yang mulia, apakah benar bahwa kalian memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang disebabkan dan diciptakan oleh suatu dewa tertinggi”?

“Mereka menjawab: “Ya.” Kemudian aku berkata kepada mereka:

“Jika demikian, teman-teman yang mulia, maka kalian semua mendukung pembunuhan makhluk-makhluk hidup. Mengapa demikian? Karena semua disebabkan dan diciptakan oleh suatu dewa tertinggi. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, kalian mendukung pengambilan apa yang tidak diberikan, perilaku seksual yang salah, ucapan salah… (dan seterusnya sampai dengan) pandangan salah. Mengapa demikian? Karena semua itu disebabkan dan diciptakan oleh suatu dewa tertinggi. Teman-teman yang mulia, jika pandangan bahwa semua disebabkan dan diciptakan oleh suatu dewa tertinggi, maka akan mengikuti secara logis bahwa semua yang dilakukan atau tidak dilakukan seseorang, terjadi tanpa keinginan, tanpa usaha. Teman-teman yang mulia, jika dalam melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, seseorang tidak memiliki pemahaman yang benar, maka ia telah kehilangan perhatian penuh dan tidak memiliki kewaspadaan penuh, dan oleh karenanya tidak dapat diajarkan.

“Jika para pertapa [dan brahmana] menyatakan suatu ajaran demikian, maka para pertapa dan brahmana itu dapat disanggah dengan pemikiran demikian.

“Dalam hal ini, jika para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang adalah tanpa sebab atau kondisi apa pun,” maka aku mendekati mereka dan, setelah mendekati, aku bertanya:

“Teman-teman yang mulia, apakah benar bahwa kalian memegang pandangan ini dan menyatakan: “Semua yang dilakukan seseorang adalah tanpa sebab atau kondisi apa pun”?

“Mereka menjawab: “Ya.” Kemudian aku berkata kepada mereka:

“Jika demikian, teman-teman yang mulia, maka kalian semua mendukung pembunuhan makhluk-makhluk hidup. Mengapa demikian? Karena semua adalah tanpa sebab atau kondisi apa pun. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, kalian mendukung pengambilan apa yang tidak diberikan, perilaku seksual yang salah, ucapan salah… (dan seterusnya sampai dengan) pandangan salah. Mengapa demikian? Karena semua itu adalah tanpa sebab atau kondisi apa pun. Teman-teman yang mulia, jika pandangan bahwa semua adalah tanpa sebab atau kondisi apa pun, maka akan mengikuti secara logis bahwa semua yang dilakukan atau tidak dilakukan seseorang, terjadi tanpa keinginan, tanpa usaha. Teman-teman yang mulia, jika dalam melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, seseorang tidak memiliki pemahaman yang benar, maka ia telah kehilangan perhatian penuh dan tidak memiliki kewaspadaan penuh, dan oleh karenanya tidak dapat diajarkan.

“Jika para pertapa [dan brahmana] menyatakan suatu ajaran demikian, maka para pertapa dan brahmana itu dapat disanggah dengan pemikiran demikian.

“Dharma yang aku ajarkan kepada kalian, yang telah aku ketahui dan realisasikan oleh diriku sendiri, tidak dapat disanggah, tidak dapat dikotori, dan tidak dapat dimenangkan oleh para pertapa dan brahmana, para dewa, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia. Mengapa Dharma yang aku ajarkan kepada kalian, yang telah aku ketahui dan realisasikan oleh diriku sendiri, tidak dapat disanggah, dikotori, atau dimenangkan oleh para pertapa dan brahmana, para dewa, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia?

“Terdapat ajaran tentang enam landasan indera, yang, setelah mengetahui dan merealisasikannya oleh diriku sendiri, telah kuajarkan kepada kalian; ia tidak dapat disanggah, tidak dapat dikotori, dan tidak dapat dimenangkan oleh para pertapa dan brahmana, para dewa, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia. Lagi, terdapat ajaran tentang enam unsur, yang, setelah mengetahui dan merealisasikannya oleh diriku sendiri, telah kuajarkan kepada kalian; ia tidak dapat disanggah, tidak dapat dikotori, dan tidak dapat dimenangkan oleh para pertapa dan brahmana, para dewa, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia.

“Apakah ajaran tentang enam landasan indera, yang, setelah mengetahui dan merealisasikannya oleh diriku sendiri, telah kuajarkan kepada kalian? [Enam landasan indera itu] adalah landasan indera mata, telinga… hidung… lidah… tubuh… [dan] landasan indera pikiran. Ini adalah ajaran tentang enam landasan indera yang, setelah mengetahui dan merealisasikannya oleh diriku sendiri, telah kuajarkan kepada kalian. Apakah ajaran tentang enam unsur yang, setelah mengetahui dan merealisasikannya oleh diriku sendiri, telah kuajarkan kepada kalian? [Enam unsur itu] adalah unsur tanah… air… api… udara… ruang… dan unsur kesadaran. Ini adalah ajaran tentang enam unsur yang, setelah mengetahui dan merealisasikannya oleh diriku sendiri, telah kuajarkan kepada kalian.

“Karena gabungan dari enam unsur, terdapat kelahiran kembali dari rahim ibu; karena enam unsur, terdapat enam landasan indera; karena enam landasan indera, terdapat kontak; dan karena kontak, terdapat perasaan. Para bhikkhu, seseorang yang memiliki perasaan akan [dapat] mengetahui penderitaan, mengetahui munculnya penderitaan, mengetahui lenyapnya penderitaan, dan mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya.

“Apakah mengetahui penderitaan sebagaimana adanya? Ia adalah ini: kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, bertemu dengan apa yang tidak disenangi adalah penderitaan, berpisah dari apa yang disenangi, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; secara singkat, lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati adalah penderitaan—ini disebut mengetahui penderitaan sebagaimana adanya.

“Apakah mengetahui munculnya penderitaan sebagaimana adanya? Ia adalah ketagihan dan kemelekatan pada kelangsungan yang akan datang, dengan kesenangan dan keinginan, yang mencari [keadaan] kelangsungan ini dan itu—ini disebut mengetahui munculnya penderitaan sebagaimana adanya.

“Apakah mengetahui lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya? Ia adalah memotong tanpa sisa, meninggalkan, memuntahkan, memudarkan, melenyapkan, menghentikan, dan menghilangkan ketagihan dan kemelekatan pada kelangsungan yang akan datang ini, dengan kesenangan dan keinginan, yang mencari [keadaan] kelangsungan ini dan itu—ini disebut mengetahui lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya.

“Apakah mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya? Ia adalah jalan mulia berunsur delapan: pandangan benar… (dan seterusnya sampai dengan) konsentrasi benar, delapan hal ini—ini disebut mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaan sebagaimana adanya.

“Para bhikkhu, kalian seharusnya mengetahui penderitaan sebagaimana adanya, kalian seharusnya memotong munculnya penderitaan, kalian seharusnya merealisasikan lenyapnya penderitaan, dan kalian seharusnya mengembangkan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Jika seorang bhikkhu mengetahui penderitaan sebagaimana adanya, memotong munculnya penderitaan, merealisasikan lenyapnya penderitaan, dan mengembangkan jalan menuju lenyapnya penderitaan, maka bhikkhu itu, setelah meninggalkan semua noda, setelah melepaskan semua belenggu, melalui kewaspadaan penuh dapat mencapai akhir penderitaan.”

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.