Madhyamāgama

19. Kotbah kepada Para Nigaṇṭha

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di antara orang-orang Sakya, di Devadaha.

Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para Nigaṇṭha memegang pandangan ini dan menyatakan:

“Apa pun yang dialami seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada masa lampau. Jika karma masa lampau dimusnahkan melalui pertapaan, dan tidak ada [karma] baru diciptakan, maka semua karma menjadi lenyap; dengan semua karma telah lenyap, pelenyapan penderitaan tercapai; dengan pelenyapan penderitaan telah tercapai, akhir penderitaan tercapai.

“Oleh sebab itu aku mendekati mereka, dan ketika tiba, aku bertanya:

“Para Nigaṇṭha, apakah kalian memegang pandangan ini dan menyatakan: “Apa pun yang dialami seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada masa lampau. Jika karma masa lampau dimusnahkan melalui pertapaan, dan tidak ada [karma] baru diciptakan, maka semua karma menjadi lenyap; dengan semua karma telah lenyap, pelenyapan penderitaan tercapai; dengan pelenyapan penderitaan tercapai, akhir penderitaan tercapai”?

“Mereka menjawab: “Demikianlah, Gotama.” Aku juga bertanya kepada para Nigaṇṭha itu:

“Apakah kalian secara pribadi memiliki pengetahuan jernih bahwa “Aku ada pada masa lampau,” atau “Aku tidak ada pada masa lampau”; “Aku melakukan kejahatan pada masa lampau,” atau “Aku tidak melakukan kejahatan pada masa lampau”; “Penderitaan sebanyak ini yang kuciptakan telah dipadamkan,” atau “Penderitaan sebanyak ini yang kuciptakan belum dipadamkan,” atau “Ketika ini telah dipadamkan, ketika padamnya telah dicapai, maka, dengan berlatih, aku akan merealisasi dalam kehidupan ini pemusnahan semua keadaan tidak bermanfaat dan pencapaian banyak keadaan bermanfaat”?

“Mereka menjawab: “Tidak, Gotama.” Aku juga berkata kepada para Nigaṇṭha:

“[Kalian telah menyatakan bahwa] kalian tidak secara pribadi memiliki pengetahuan jernih bahwa “Aku ada pada masa lampau,” atau “Aku tidak ada pada masa lampau”; “Aku melakukan kejahatan pada masa lampau,” atau “Aku tidak melakukan kejahatan pada masa lampau”; “Penderitaan sebanyak ini yang kuciptakan telah dipadamkan,” atau “Penderitaan sebanyak ini yang kuciptakan belum dipadamkan,” atau “Ketika ini telah dipadamkan, ketika padamnya telah dicapai, maka, dengan berlatih, aku akan merealisasi dalam kehidupan ini pemusnahan semua keadaan tidak bermanfaat dan pencapaian banyak keadaan bermanfaat.” Bagaimana, kemudian, kalian dapat menyatakan: “Apa pun yang dialami seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada masa lampau. Jika karma masa lampau dimusnahkan melalui pertapaan, dan tidak ada [karma] baru diciptakan, maka semua karma menjadi lenyap; dengan semua karma telah lenyap, pelenyapan penderitaan tercapai; dengan pelenyapan penderitaan tercapai, akhir penderitaan tercapai”?

“Para Nigaṇṭha, jika kalian secara pribadi memiliki pengetahuan jernih bahwa: “Aku ada pada masa lampau,” atau “Aku tidak ada pada masa lampau”; “Aku melakukan kejahatan pada masa lampau,” atau “Aku tidak melakukan kejahatan pada masa lampau”; “Penderitaan sebanyak ini yang kuciptakan telah dipadamkan,” atau “Penderitaan sebanyak ini yang kuciptakan belum dipadamkan,” atau “Ketika ini telah dipadamkan, ketika padamnya telah dicapai, maka, dengan berlatih, aku akan merealisasi dalam kehidupan ini pemusnahan semua keadaan tidak bermanfaat dan pencapaian banyak keadaan bermanfaat,” maka, para Nigaṇṭha, kalian dapat menyatakan: “Apa pun yang dialami seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada masa lampau. Jika karma masa lampau dimusnahkan melalui pertapaan, dan tidak ada [karma] baru diciptakan, maka semua karma menjadi lenyap; dengan semua karma telah lenyap, pelenyapan penderitaan tercapai; dengan pelenyapan penderitaan tercapai, akhir penderitaan tercapai.”

“Para Nigaṇṭha, seumpamanya bahwa tubuh seseorang telah dilukai oleh sebatang anak panah beracun dan, karena dilukai oleh anak panah beracun ini, kesakitan yang luar biasa muncul. Kemudian, karena kasihan dan peduli terhadap luka itu, keluarga dan sanak saudaranya memanggil seorang ahli bedah untuk menarik keluar anak panah itu, demi manfaat dan kesejahteraannya. Ahli bedah itu datang, dan dengan sebuah pisau tajam membuka luka itu; dan ketika luka itu dibuka, kesakitan yang luar biasa muncul kembali. Setelah membuka luka itu, ahli bedah itu memeriksa ujung logam anak panah itu; dan ketika ia memeriksa ujung anak panah itu, kesakitan yang luar biasa muncul kembali. Setelah memeriksa dan menemukan ujung anak panah itu, ia menariknya keluar; dan ketika ia menariknya keluar, kesakitan yang luar biasa muncul kembali. Setelah menarik keluar ujung anak panah itu, ia membungkus dan membaluti luka itu; dan ketika ia membalutinya, kesakitan yang luar biasa muncul kembali. Setelah ujung anak panah telah ditarik keluar, orang itu memperoleh kembali kekuatannya dan merasa lebih baik. Tanpa kerusakan apa pun pada indera-inderanya, ia sembuh dan menjadi seperti ia yang sebelumnya.

“Para Nigaṇṭha, orang itu, secara pribadi setelah memiliki pengetahuan jernih, berpikir: “Sebelumnya aku terluka oleh sebuah anak panah beracun, dan karena itu kesakitan yang luar biasa muncul. Kemudian, karena kasihan dan peduli terhadap luka itu, keluarga dan sanak saudaraku memanggil seorang ahli beda untuk mencabut keluar anak panah itu. demi manfaat dan kesejahteraanku. Ahli bedah itu datang, dan dengan sebuah pisau tajam membuka luka itu; dan ketika luka itu dibuka, kesakitan yang luar biasa muncul kembali. Setelah membuka luka itu, ahli bedah itu memeriksa ujung logam anak panah itu; dan ketika ia memeriksa ujung anak panah itu, kesakitan yang luar biasa muncul kembali. Setelah memeriksa dan menemukan ujung anak panah itu, ia menariknya keluar; dan ketika ia menariknya keluar, kesakitan yang luar biasa muncul kembali. Setelah menarik keluar ujung anak panah itu, ia membungkus dan membaluti luka itu; dan ketika ia membalutinya, kesakitan yang luar biasa muncul kembali. Setelah ujung anak panah telah ditarik keluar, aku memperoleh kembali kekuatanku dan merasa lebih baik. Tanpa kerusakan apa pun pada indera-inderanya, aku sembuh dan menjadi seperti aku yang sebelumnya.”

“Dengan cara yang sama, para Nigaṇṭha, jika kalian secara pribadi memiliki pengetahuan jernih bahwa “Aku ada pada masa lampau,” atau “Aku tidak ada pada masa lampau”; “Aku melakukan kejahatan pada masa lampau,” atau “Aku tidak melakukan kejahatan pada masa lampau”; “Penderitaan sebanyak ini yang kuciptakan telah dipadamkan,” atau “Penderitaan sebanyak ini yang kuciptakan belum dipadamkan”; atau “Ketika ini telah dipadamkan, ketika padamnya telah dicapai, maka, dengan berlatih, aku akan merealisasi dalam kehidupan ini pemusnahan semua keadaan tidak bermanfaat dan pencapaian banyak keadaan bermanfaat,” maka, para Nigaṇṭha, kalian dapat menyatakan: “Apa pun yang dialami seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada masa lampau. Jika karma masa lampau dimusnahkan melalui pertapaan, dan tidak ada [karma] baru diciptakan, maka semua karma menjadi lenyap; dengan semua karma telah lenyap, pelenyapan penderitaan tercapai; dengan pelenyapan penderitaan tercapai, akhir penderitaan tercapai.” Aku bertanya kepada mereka dengan cara ini, tetapi aku tidak melihat para Nigaṇṭha mana pun yang dapat menjawabku, dengan berkata: “Gotama, demikianlah,” atau “Bukan demikian.”

“Lagi, aku bertanya kepada para Nigaṇṭha: “Jika para Nigaṇṭha [terlibat dalam] usaha keras dan pertapaan keras, apakah pada waktu itu kesakitan yang kuat akan muncul dalam diri para Nigaṇṭha?”

“Mereka menjawab: “Ya, Gotama.”

“[Sang Buddha berkata:] “Jika para Nigaṇṭha [terlibat dalam] usaha menengah dan pertapaan menengah, apakah pada waktu kesakitan menengah akan muncul dalam diri para Nigaṇṭha?”

“Mereka menjawab: “Ya, Gotama.”

“[Sang Buddha berkata:] “Jika para Nigaṇṭha [terlibat dalam] usaha kecil dan pertapaan kecil, apakah pada waktu itu kesakitan yang lemah akan muncul dalam diri para Nigaṇṭha?”

“Mereka menjawab: “Ya, Gotama.”

Sang Buddha berkata:

“Jadi, [ketika] para Nigaṇṭha [terlibat dalam] usaha keras dan pertapaan keras, pada waktu itu kesakitan yang kuat muncul dalam diri para Nigaṇṭha; [ketika] mereka [terlibat dalam] usaha menengah dan pertapaan menengah, pada waktu itu kesakitan menengah muncul dalam diri para Nigaṇṭha; [ketika] mereka [terlibat dalam] usaha kecil dan pertapaan kecil, pada waktu itu kesakitan yang lemah muncul dalam diri para Nigaṇṭha.

“Ketika para Nigaṇṭha [terlibat dalam] usaha keras dan pertapaan keras, pada waktu itu kesakitan yang kuat ditenangkan oleh para Nigaṇṭha; [ketika] mereka [terlibat dalam] usaha menengah dan pertapaan menengah, pada waktu itu kesakitan menengah ditenangkan oleh para Nigaṇṭha; [ketika] mereka [terlibat dalam] usaha kecil dan pertapaan kecil, pada waktu itu kesakitan yang lemah ditenangkan oleh para Nigaṇṭha.

“Apakah mereka melakukan seperti ini atau tidak melakukan seperti ini untuk menenangkan kesakitan yang luar biasa, kesakitan yang sangat berat, harus diketahui bahwa para Nigaṇṭha [hanya] menghasilkan kesakitan [mereka sendiri] pada kehidupan sekarang.

“Tetapi para Nigaṇṭha dibungkus oleh kebodohan, dipengaruhi oleh kebodohan, dengan mengatakan: “Apa pun yang dialami seseorang disebabkan oleh apa yang telah dilakukan pada masa lampau. Jika karma masa lampau dimusnahkan melalui pertapaan, dan tidak ada [karma] baru diciptakan, semua karma menjadi lenyap; dengan semua karma telah dilenyapkan, pelenyapan penderitaan tercapai; dengan pelenyapan penderitaan tercapai, akhir penderitaan tercapai.”

“Aku bertanya kepada mereka dengan cara ini, tetapi aku tidak menemukan para Nigaṇṭha mana pun yang dapat menjawabku, dengan berkata: “Gotama, demikianlah,” atau “Bukan demikian.”

“Aku juga bertanya kepada para Nigaṇṭha: “Para Nigaṇṭha, jika terdapat suatu perbuatan yang akibatnya akan dialami sebagai kebahagiaan, apakah perbuatan itu, melalui usaha dan melalui pertapaan, dapat diubah menjadi memiliki penderitaan sebagai akibatnya?”

“Mereka menjawab: “Tidak, Gotama.”

“[Aku bertanya lebih lanjut] “Para Nigaṇṭha, jika terdapat suatu perbuatan yang akibatnya akan dialami sebagai penderitaan, apakah perbuatan itu, melalui usaha dan melalui pertapaan, dapat diubah menjadi memiliki kebahagiaan sebagai akibatnya?”

“Mereka menjawab: “Tidak, Gotama.”

“Para Nigaṇṭha, jika terdapat suatu perbuatan yang akibatnya akan dialami pada masa kehidupan ini, apakah perbuatan itu, melalui usaha dan melalui pertapaan, dapat diubah menjadi memiliki akibatnya pada kehidupan berikutnya?”

“Mereka menjawab: “Tidak, Gotama.”

“Para Nigaṇṭha, jika terdapat suatu perbuatan yang akibatnya akan dialami pada kehidupan berikutnya, apakah perbuatan itu, melalui usaha dan melalui pertapaan, dapat diubah menjadi memiliki akibatnya pada masa kehidupan ini?”

“Mereka menjawab: “Tidak, Gotama.”

“Para Nigaṇṭha, jika terdapat suatu perbuatan yang akibatnya belum matang, apakah perbuatan itu, melalui usaha dan melalui pertapaan, dapat diubah menjadi memiliki akibatnya yang matang?”

“Mereka menjawab: “Tidak, Gotama.”

“Para Nigaṇṭha, jika terdapat suatu perbuatan yang akibatnya telah matang, apakah perbuatan itu, melalui usaha dan melalui pertapaan, dapat dibuat menjadi sebaliknya?”

“Mereka menjawab: “Tidak, Gotama.”

Sang Buddha berkata:

“Jadi, para Nigaṇṭha, suatu perbuatan yang akibatnya akan dialami sebagai kebahagiaan, perbuatan itu tidak dapat, melalui usaha dan melalui pertapaan, diubah menjadi memiliki penderitaan sebagai akibatnya.

“Para Nigaṇṭha, suatu perbuatan yang akibatnya akan dialami sebagai penderitaan, perbuatan itu tidak dapat, melalui usaha dan melalui pertapaan, diubah menjadi memiliki kebahagiaan sebagai akibatnya.

“Para Nigaṇṭha, suatu perbuatan yang akibatnya akan dialami pada masa kehidupan ini, perbuatan itu tidak dapat, melalui usaha dan melalui pertapaan, diubah menjadi memiliki akibatnya pada kehidupan berikutnya.

“Para Nigaṇṭha, suatu perbuatan yang akibatnya akan dialami pada kehidupan berikutnya, perbuatan itu tidak dapat, melalui usaha dan melalui pertapaan, diubah menjadi memiliki akibatnya pada masa kehidupan ini.

“Para Nigaṇṭha, suatu perbuatan yang akibatnya belum matang, perbuatan itu tidak dapat, melalui usaha dan melalui pertapaan, diubah menjadi memiliki akibatnya yang matang.

“Para Nigaṇṭha, suatu perbuatan yang akibatnya telah matang, perbuatan itu tidak dapat, melalui usaha dan melalui pertapaan, dibuat menjadi sebaliknya.

“Oleh karena itu, para Nigaṇṭha, upaya kalian adalah sia-sia, usaha kalian adalah kosong dan sia-sia.

“Kemudian para Nigaṇṭha itu berkata kepadaku: “Gotama, kami memiliki seorang guru yang mulia, bernama Nigaṇṭha Nātaputta, yang menyatakan demikian:

“Para Nigaṇṭha, jika kalian menciptakan karma jahat pada masa lampau, maka karma itu dapat sepenuhnya dipadamkan dengan cara pertapaan ini. [Dan] jika kalian sekarang mengendalikan jasmani, ucapan, dan pikiran kalian, maka melalui [pengendalian] ini kalian tidak akan menciptakan karma jahat yang lebih jauh lagi.

“Lagi, aku bertanya kepada para Nigaṇṭha itu: “Apakah kalian percaya kepada guru [kalian] yang mulia, Nigaṇṭha Nātaputta, tanpa memiliki keragu-raguan apa pun?”

“Mereka menjawab: “Gotama, kami percaya kepada guru [kami] yang mulia, Nigaṇṭha Nātaputta, tanpa memiliki keragu-raguan apa pun.”

“Lagi, aku berkata kepada para Nigaṇṭha itu:

“Terdapat lima hal, yang mungkin memiliki hasil yang berunsur dua dalam kehidupan ini. Mereka adalah: kepercayaan, rasa suka, tradisi lisan, ingatan, dan pandangan yang telah dipertimbangkan dengan baik. Nigaṇṭha, seseorang yang dirinya sendiri mengatakan apa yang tidak benar, apakah [ia] dapat [menganggap bahwa pernyataan yang tidak benar itu] sebagai dapat dipercaya, sebagai dapat disukai, sebagai bersifat tradisi, sebagai dapat diingat, sebagai pandangan yang dipertimbangkan dengan baik?

“Mereka menjawab: “Ya, Gotama.”

“Kemudian aku berkata lebih jauh kepada para Nigaṇṭha itu:

“[Tetapi mempertimbangkan bahwa] ini adalah pernyataan yang tidak benar, bagaimana mungkin ia dapat dipercaya, bagaimana mungkin ia dapat disukai, bagaimana mungkin ia dapat bersifat tradisi, bagaimana mungkin ia dapat diingat, bagaimana mungkin ia dapat direnungkan dengan baik? [Tetapi] orang yang dirinya sendiri mengatakan apa yang tidak benar memiliki kepercayaan [terhadapnya], memiliki rasa suka [terhadapnya], mendengar[nya sebagai yang bersifat tradisi], memiliki ingatan [tentangnya], mempertimbangkan[nya] dengan baik.

“[Para bhikkhu,] jika para Nigaṇṭha mengatakan demikian, maka mereka menyebabkan celaan yang berunsur lima sesuai dengan Dharma dan dapat dipersalahkan. Apakah lima hal itu?

“Jika semua kenikmatan dan kesakitan yang sekarang dialami para makhluk ini disebabkan oleh perbuatan yang telah dilakukan [pada masa lampau], maka para Nigaṇṭha [pasti] telah melakukan kejahatan pada masa lampau. Mengapa? Karena itu akan menjadi alasan mengapa para Nigaṇṭha sekarang mengalami kesakitan yang luar biasa. Ini adalah [alasan] pertama di mana para Nigaṇṭha dapat dipersalahkan.

“Lagi, jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan oleh teman-teman yang mereka pelihara, maka para Nigaṇṭha [pasti] telah memelihara teman-teman yang jahat pada masa lampau. Mengapa? Karena itu akan menjadi [alasan] mengapa para Nigaṇṭha sekarang mengalami kesakitan yang luar biasa. Ini adalah [alasan] kedua di mana para Nigaṇṭha dapat dipersalahkan.

“Lagi, jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan oleh nasib, maka para Nigaṇṭha [pasti] telah memiliki nasib yang buruk pada masa lampau. Mengapa? Karena itu akan menjadi [alasan] mengapa para Nigaṇṭha sekarang mengalami kesakitan yang luar biasa. Ini adalah [alasan] ketiga di mana para Nigaṇṭha dapat dipersalahkan.

“Lagi, jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan oleh pandangan, maka para Nigaṇṭha [pasti] telah memiliki pandangan jahat pada masa lampau. Mengapa? Karena itu akan menjadi [alasan] mengapa para Nigaṇṭha sekarang mengalami kesakitan yang luar biasa. Ini adalah [alasan] keempat di mana para Nigaṇṭha dapat dipersalahkan.

“Lagi, jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan dan diciptakan oleh suatu dewa tertinggi, maka pada masa lampau para Nigaṇṭha [pasti] telah diciptakan oleh suatu dewa tertinggi yang jahat. Mengapa? Karena itu akan menjadi [alasan] mengapa para Nigaṇṭha sekarang mengalami kesakitan yang luar biasa. Ini adalah [alasan] kelima di mana para Nigaṇṭha dapat dipersalahkan.

“Jika pada masa lampau para Nigaṇṭha melakukan kejahatan, … memelihara teman-teman jahat, … memiliki nasib buruk, … memegang pandangan jahat, [jika terdapat] suatu dewa tertinggi yang jahat dan mereka diciptakan oleh dewa tertinggi yang jahat ini; dan jika karena hal ini para Nigaṇṭha sekarang mengalami kesakitan yang luar biasa—maka karena alasan ini, berdasarkan sebab ini, para Nigaṇṭha dapat dipersalahkan.

“Dharma, yang aku ketahui dengan diriku sendiri dan realisasikan dengan diriku sendiri, dan yang telah kunyatakan kepada kalian, tidak dapat disanggah, tidak dapat dikotori, tidak dapat dimenangkan oleh para pertapa, brahmana, dewa, Māra, Brahmā atau siapa pun di dunia. Mengapa bahwa Dharma, yang aku ketahui dengan diriku sendiri dan realisasikan dengan diriku sendiri, dan yang telah kunyatakan kepada kalian, tidak dapat disanggah, tidak dapat dikotori, tidak dapat dimenangkan oleh para pertapa, brahmana, dewa, Māra, Brahmā atau siapa pun di dunia?

“Jika seorang bhikkhu meninggalkan perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat dan berlatih perbuatan jasmani yang bermanfaat, [jika ia] meninggalkan perbuatan ucapan dan pikiran yang tidak bermanfaat dan berlatih perbuatan ucapan dan pikiran yang bermanfaat, maka sehubungan dengan penderitaan yang akan datang [yang disebabkan perbuatan sekarang yang tidak bermanfaat] ia secara pribadi mengetahui: “Tidak akan ada penderitaan yang akan datang [demikian] bagiku.” Sesuai dengan Dharma ia mencapai kebahagiaan dan tidak akan membuangnya.

“Dengan beraspirasi untuk melenyapkan sebab penderitaan [tertentu], ia dapat berlatih dengan aspirasi [itu]; atau, dengan beraspirasi untuk melenyapkan sebab penderitaan [tertentu], ia dapat berlatih keseimbangan [sehubungan dengan] aspirasi [itu].

“Jika, dengan beraspirasi untuk melenyapkan sebab penderitaan [tertentu], ia berlatih dengan aspirasi [itu]; dan jika ia kemudian mengembangkan prakteknya dengan aspirasi [itu] dan melenyapkan [sebab penderitaan tertentu] itu, maka penderitaan [tersebut] menjadi padam.

“Jika, dengan beraspirasi untuk melenyapkan sebab penderitaan [tertentu], ia berlatih keseimbangan [sehubungan dengan] aspirasi [itu]; dan jika ia kemudian mengembangkan prakteknya dengan keseimbangan dan melenyapkan [sebab penderitaan tertentu] itu, maka penderitaan [tersebut] menjadi padam.

“Kemudian, bhikkhu itu berpikir:

“Berdasarkan perilaku seseorang, berdasarkan perbuatan seseorang, keadaan-keadaan tidak bermanfaat muncul dan keadaan-keadaan bermanfaat lenyap. Jika aku melenyapkan penderitaanku untuk diriku sendiri, maka keadaan-keadaan tidak bermanfaat akan lenyap dan keadaan-keadaan bermanfaat akan muncul. Sekarang, aku akan lebih baik melenyapkan penderitaanku untuk diriku sendiri.

“Kemudian ia melenyapkan penderitaan itu dan, ketika penderitaan itu telah dilenyapkan, keadaan-keadaan tidak bermanfaat lenyap dan keadaan-keadaan bermanfaat muncul, dan ia tidak lagi perlu melenyapkan penderitaan itu. Mengapa? Karena, para bhikkhu, tujuan awalnya telah tercapai, bukan bahwa ia perlu melenyapkan penderitaan itu lagi.

“Para bhikkhu, seperti halnya seorang pembuat panah dapat menggunakan suatu contoh untuk meluruskan sebuah anak panah, tetapi ketika anak panah itu telah diluruskan, ia tidak lebih lanjut menggunakan contoh itu. Mengapa? Karena tujuan awal orang itu telah tercapai, bukan bahwa ia perlu menggunakan contoh itu lagi.

“Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu berpikir:

“Berdasarkan perilaku seseorang, berdasarkan perbuatan seseorang, keadaan-keadaan tidak bermanfaat muncul dan keadaan-keadaan bermanfaat lenyap. Jika aku melenyapkan penderitaanku untuk diriku sendiri, maka keadaan-keadaan tidak bermanfaat akan lenyap dan keadaan-keadaan bermanfaat akan muncul. Sekarang, aku akan lebih baik melenyapkan penderitaanku untuk diriku sendiri.

“Kemudian ia melenyapkan penderitaan itu dan, ketika penderitaan itu telah dilenyapkan, keadaan-keadaan tidak bermanfaat lenyap dan keadaan-keadaan bermanfaat muncul, dan ia tidak lagi perlu melenyapkan penderitaan itu. Mengapa? Karena tujuan awalnya telah tercapai, bukan bahwa ia perlu melenyapkan penderitaan itu lagi.

“Para bhikkhu, seumpamanya bahwa seseorang laki-laki [tertentu] mencintai seorang wanita, melekat padanya, dan sangat memperhatikannya; tetapi wanita itu alih-alih berbicara dengan orang lain, bertukar salam dengannya, dan mereka pergi dan menghabiskan malam bersama. Apakah, karena hal ini, penderitaan jasmani dan batin, kekesalan, dan kesedihan dan dukacita yang mendalam akan muncul dalam diri laki-laki itu?”

Para bhikkhu menjawab:

“Ya tentu saja, Sang Bhagavā. Dan mengapa? Laki-laki itu mencintai wanita itu, melekat padanya dan sangat memperhatikannya; tetapi kemudian wanita itu alih-alih berbicara dengan orang lain, bertukar salam dengannya, dan mereka pergi untuk menghabiskan malam bersama. Bagaimana mungkin, karena hal ini, penderitaan jasmani dan batin, kekesalan, dan kesedihan dan dukacita yang mendalam tidak muncul dalam diri laki-laki itu?

Sang Buddha:

“Para bhikkhu, seumpamanya bahwa laki-laki itu berpikir seperti ini:

“Aku mencintai wanita itu, dan sangat memperhatikannya; tetapi wanita itu alih-alih berbicara dengan laki-laki lain, bertukar salam dengannya, dan mereka pergi untuk menghabiskan malam bersama. Karena penderitaan dan kesedihanku, tidakkah aku seharusnya sekarang memotong cinta dan kemelekatanku terhadap wanita itu?

“Kemudian laki-laki itu, karena penderitaan dan kesedihannya sendiri, memotong cinta dan kemelekatannya terhadap wanita itu. Jika wanita itu, seperti sebelumnya, berbicara dengan orang lain, bertukar salam dengannya, dan mereka pergi untuk menghabiskan malam bersama, apakah lagi, karena hal itu, penderitaan jasmani dan batin, kekesalan, dan kesedihan dan dukacita yang mendalam akan muncul dalam dirinya?”

Para bhikkhu menjawab:

“Tidak, Sang Bhagavā. Dan mengapa tidak? Karena laki-laki itu tidak lagi memiliki perasaan cinta dan kemelekatan terhadap wanita itu. Jika wanita itu, seperti sebelumnya, berbicara dengan orang lain, bertukar salam dengannya, dan mereka pergi untuk menghabiskan malam bersama, bukan bahwa, karena hal itu, penderitaan jasmani dan batin, kekesalan, dan kesedihan dan dukacita yang mendalam akan muncul dalam dirinya.

Sang Buddha:

“Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu berpikir demikian:

“Berdasarkan perilaku seseorang, berdasarkan perbuatan seseorang, keadaan-keadaan tidak bermanfaat muncul dan keadaan-keadaan bermanfaat lenyap. Jika aku melenyapkan penderitaanku untuk diriku sendiri, maka keadaan-keadaan tidak bermanfaat akan lenyap dan keadaan-keadaan bermanfaat akan muncul. Sekarang, aku akan lebih baik melenyapkan penderitaanku untuk diriku sendiri.

“Kemudian ia melenyapkan penderitaan itu dan, ketika penderitaan itu telah dilenyapkan, keadaan-keadaan tidak bermanfaat lenyap dan keadaan-keadaan bermanfaat muncul, dan ia tidak lagi perlu melenyapkan penderitaan itu. Mengapa? Karena tujuan awalnya telah tercapai, ia tidak perlu lagi melenyapkan penderitaan itu.

“Kemudian ia berpikir lebih lanjut:

“Apa pun sebab penderitaan [ini] yang harus kulenyapkan, aku telah melenyapkannya; tetapi sehubungan dengan keinginan [itu sendiri] ia seperti sebelumnya—ia belum dilenyapkan. Sekarang, aku akan lebih baik berusaha melenyapkan keinginan!

“Maka ia berusaha melenyapkan keinginan [itu sendiri]. Untuk melenyapkan keinginan itu, ia berdiam sendirian, dalam keterasingan, mengundurkan diri ke suatu tempat yang terpencil—di bawah sebatang pohon, di suatu tempat yang kosong dan sunyi, suatu puncak gunung, sebuah gua, [suatu tempat] di udara terbuka, suatu tumpukan jerami; atau ia pergi ke dalam suatu hutan, atau ke suatu pemakaman.

“Setelah mengundurkan diri ke suatu tempat yang terpencil—di bawah sebatang pohon, di suatu tempat yang kosong dan sunyi—ia membentangkan alas duduknya, duduk bersila, dengan tubuh yang tegak dan kehendak yang lurus, dan menegakkan perhatian di hadapannya.

“Ia meninggalkan keserakahan, pikirannya bebas dari keirihatian. Dengan melihat kekayaan dan gaya hidup orang lain, ia tidak memunculkan pikiran keserakahan: “Jika saja aku dapat memperoleh itu!”

“Ia memurnikan pikirannya dari keserakahan; dan hal yang sama dengan kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan dan kekhawatiran.

“Ia meninggalkan keragu-raguan dan mengatasi kebingungan; tanpa keragu-raguan sehubungan dengan keadaan-keadaan bermanfaat, ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan dan kebingungan.

“Setelah meninggalkan lima rintangan ini, yang adalah ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, setelah meninggalkan keinginan, meninggalkan keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, … (dan seterusnya sampai dengan) ia berdiam setelah mencapai jhāna keempat. Ketika ia mencapai konsentrasi dengan cara ini, pikirannya yang dimurnikan, tanpa cacat, bebas dari kekesalan, lunak, berkembang dengan baik, setelah mencapai ketenangan, ia mengarahkan pikirannya pada realisasi pengetahuan yang lebih tinggi atas penghancuran noda-noda.

“Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah penderitaan”; ia mengetahui: “Ini adalah asal mula penderitaan”; ia mengetahui: “Ini adalah lenyapnya penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.” Lagi, ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah noda-noda”; ia mengetahui: “Ini adalah asal mula noda-noda”; ia mengetahui: “Ini adalah lenyapnya noda-noda”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.”

“Dengan mengetahui demikian, melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indera, dari noda kelangsungan, dan dari noda ketidaktahuan. Terbebaskan, ia mengetahui ia terbebaskan. Ia memahami sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan ada kelangsungan lain.”

“Sang Tathāgata yang telah, dengan cara ini, sepenuhnya membebaskan pikiran, memperoleh lima jenis pujian, [pujian yang] sesuai dengan Dharma, tidak terbantahkan, diinginkan, dan sangat dihormati. Apakah lima hal itu?

“Jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan oleh perbuatan pada masa lampau, maka Sang Tathāgata [pasti] telah melakukan perbuatan yang mulia pada masa lampau; dan karena hal itu, Sang Tathāgata sekarang mengalami kebahagiaan mulia yang bebas dari noda-noda. Diam dan tenang, beliau telah mencapai kebahagiaan dan pencerahan. Ini adalah pujian pertama yang diperoleh oleh Sang Tathāgata.

“Lagi, jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan oleh teman-teman yang mereka pelihara, maka Sang Tathāgata [pasti telah] memelihara teman-teman baik pada masa lampau; dan karena hal itu, Sang Tathāgata sekarang mengalami kebahagiaan mulia yang bebas dari noda-noda. Diam dan tenang, beliau telah mencapai kebahagiaan dan pencerahan. Ini adalah pujian kedua yang diperoleh oleh Sang Tathāgata.

“Lagi, jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan oleh nasib, maka Sang Tathāgata [pasti telah] memiliki nasib yang baik pada masa lampau; dan karena hal itu, Sang Tathāgata sekarang mengalami kebahagiaan mulia yang bebas dari noda-noda. Diam dan tenang, beliau telah mencapai kebahagiaan dan pencerahan. Ini adalah pujian ketiga yang diperoleh oleh Sang Tathāgata.

“Lagi, jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan oleh memegang pandangan-pandangan, maka Sang Tathāgata [pasti telah] memiliki pandangan benar pada masa lampau; dan karena hal itu, Sang Tathāgata sekarang mengalami kebahagiaan mulia yang bebas dari noda-noda. Diam dan tenang, beliau telah mencapai kebahagiaan dan pencerahan. Ini adalah pujian keempat yang diperoleh oleh Sang Tathāgata.

“Lagi, jika semua kenikmatan dan kesakitan yang dialami para makhluk disebabkan dan diciptakan oleh suatu dewa tertinggi, maka Sang Tathāgata [pasti telah diciptakan oleh] suatu dewa tertinggi yang baik pada masa lampau; dan karena hal itu, Sang Tathāgata sekarang mengalami kebahagiaan mulia yang bebas dari noda-noda. Diam dan tenang, beliau telah mencapai kebahagiaan dan pencerahan. Ini adalah pujian kelima yang diperoleh oleh Sang Tathāgata.

“Demikianlah, karena perbuatan lampau Sang Tathāgata yang baik, teman-teman yang baik, nasib baik, pandangan benar, dan keberadaan suatu dewa tertinggi yang baik, dewa tertinggi yang baik di mana Sang Tathāgata diciptakan—karena hal ini Sang Tathāgata sekarang mengalami kebahagiaan mulia yang bebas dari noda-noda, yang diam dan tenang, setelah mencapai kebahagiaan dan pencerahan. Karena alasan-alasan ini, Sang Tathāgata sekarang memperoleh lima jenis pujian.

“Terdapat lima sebab dan kondisi yang karenanya dukacita dan penderitaan muncul dalam pikiran. Apakah lima hal itu?

“[Yang pertama adalah] kekusutan dalam keinginan seksual; karena kekusutan dalam keinginan seksual, dukacita dan penderitaan muncul dalam pikiran. Hal yang sama kekusutan dalam kebencian, … kemalasan dan kelambanan, … kegelisahan dan kekhawatiran, … kekusutan dalam keragu-raguan; karena kekusutan dalam keragu-raguan, dukacita dan penderitaan muncul dalam pikiran. Ini adalah lima sebab dan kondisi yang karenanya dukacita dan penderitaan muncul dalam pikiran.

“Terdapat lima sebab dan kondisi yang karenanya dukacita dan penderitaan lenyap dari pikiran. Apakah lima hal itu? Jika seseorang terkusutkan dalam keinginan seksual, dan karena kekusutan dalam keinginan seksual, dukacita dan penderitaan telah muncul dalam pikiran, maka ketika meninggalkan kekusutan dalam keinginan seksual, dukacita dan penderitaan akan lenyap. Disebabkan kekusutan dalam keinginan seksual, dukacita dan penderitaan telah muncul dalam pikiran; tetapi ketika mencapai tujuan pada masa kehidupan ini, terdapat pembebasan dari kekesalan dan penderitaan, yang terus-menerus hadir dan tidak berubah, seperti yang diketahui oleh para orang mulia dan yang dilihat oleh para orang mulia.

“Dengan cara yang sama, jika seseorang terkusutkan dalam kebencian… kemalasan dan kelambanan… kegelisahan dan kekhawatiran… jika seseorang terkusutkan dalam keragu-raguan, dan karena kekusutan dalam keragu-raguan, dukacita dan penderitaan telah muncul dalam pikiran, maka ketika meninggalkan kekusutan dalam keragu-raguan, dukacita dan penderitaan akan lenyap. Disebabkan kekusutan dalam keragu-raguan, dukacita dan penderitaan telah muncul dalam pikiran; tetapi ketika mencapai tujuan pada masa kehidupan ini, terdapat pembebasan dari kekesalan dan penderitaan, yang terus-menerus hadir dan tidak berubah, seperti yang diketahui oleh para orang mulia dan yang dilihat oleh para orang mulia. Ini adalah lima sebab dan kondisi yang karenanya dukacita dan penderitaan lenyap dari pikiran.

“Lagi, terdapat pencapaian tujuan lainnya pada masa kehidupan ini, yang bebas dari kekesalan dan penderitaan, terus-menerus hadir dan tidak berubah, seperti yang diketahui oleh para orang mulia dan yang dilihat oleh para orang mulia. Apakah pencapaian tujuan lainnya pada masa kehidupan ini, yang bebas dari kekesalan dan penderitaan, terus-menerus hadir dan tidak berubah, seperti yang diketahui oleh para orang mulia dan yang dilihat oleh para orang mulia itu? Ini adalah jalan mulia berunsur delapan: pandangan benar… (dan seterusnya sampai dengan) konsentrasi benar—delapan hal ini. Ini adalah pencapaian tujuan lainnya pada masa kehidupan ini, yang bebas dari kekesalan dan penderitaan, terus-menerus hadir dan tidak berubah, seperti yang diketahui oleh para orang mulia dan yang dilihat oleh para orang mulia.”

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.