Madhyamāgama
20. Kotbah kepada Pāṭaliya
Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika, Sang Buddha, yang sedang mengembara di antara penduduk Koliya bersama-sama dengan serombongan besar para bhikkhu, tiba di desa Uttara dan berdiam di sebuah hutan kayu keras (simsapa) sebelah utara dari Uttara.
Pada waktu itu Pāṭaliya, kepala desa itu, mendengar bahwa pertapa Gotama, putra dari suku Sakya, yang telah meninggalkan suku dan keluarganya, dan telah meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan, sedang mengembara di antara penduduk Koliya bersama-sama dengan serombongan besar para bhikkhu, dan bahwa beliau telah tiba di desa Uttara dan berdiam di sebuah hutan kayu keras (simsapa) sebelah utara dari Uttara. [Ia juga mendengar bahwa] pertapa Gotama memiliki nama baik yang besar, yang telah menyebar ke sepuluh penjuru arah:
“Pertapa Gotama adalah seorang Tathāgata, bebas dari kemelekatan, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, seorang yang pergi dengan baik, pengenal dunia, yang tiada bandingnya, pelatih mereka yang akan dijinakkan, guru para dewa dan manusia, yang dikenal sebagai Buddha, Yang Beruntung.
“Di dunia ini, dengan para dewa, Māra, Brahmā, para pertapa, dan brahmana, dari manusia sampai dengan para dewa, beliau telah [mencapai] pemahaman dan pencerahan dengan dirinya sendiri, dan berdiam setelah dengan diri sendiri merealisasinya. Dharma yang beliau ajarkan adalah baik pada awalnya, baik pada pertengahan, dan baik pada akhirnya, dengan makna dan pengungkapan yang benar, yang menyatakan kehidupan suci yang diberkahi dengan kemurnian.
“Jika seseorang mengunjungi seorang Tathāgata yang demikian, yang bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, [jika seseorang] memberikan penghormatan kepada beliau dan melayani beliau, maka ia akan dengan cepat memperoleh pahala baik.”
[Pāṭaliya] berpikir: “Aku seharusnya mengunjungi pertapa Gotama dan memberikan penghormatan kepada beliau.”
Setelah mengetahui hal ini, Pāṭaliya sang kepala desa meninggalkan Uttara dan pergi ke utara menuju hutan kayu keras (simsapa), bermaksud untuk mengunjungi Sang Bhagavā dan memberikan penghormatan kepada beliau. Dari jauh Pāṭaliya sang kepala desa melihat Sang Bhagavā di antara pepohonan di hutan itu, dimuliakan dan rupawan, bagaikan rembulan di tengah-tengah bintang, dengan cahaya yang cemerlang, bersinar bagaikan gunung emas, diberkahi dengan penampilan yang gagah dan kemuliaan yang mengagumkan, dengan indera-indera yang tenang dan damai.
Setelah melihat Sang Buddha dari jauh, Pāṭaliya sang kepala desa mendekati Sang Buddha, bertukar salam, duduk pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:
“Aku telah mendengar hal ini: “Pertapa Gotama mengetahui sihir, beliau adalah seorang penyihir.”
“Gotama, mereka yang mengatakan: “Pertapa Gotama mengetahui sihir, ia adalah seorang penyihir,” apakah mereka tidak salah menggambarkan pertapa Gotama? Apakah mereka mengatakan apa yang benar? Apakah mereka mengatakan apa yang merupakan Dharma? Apakah mereka mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma? Apakah mereka tidak jatuh dalam kesalahan dan mendatangkan celaan menurut Dharma?”
Sang Bhagavā menjawab:
“Kepala desa, mereka yang mengatakan: “Pertapa Gotama mengetahui sihir, ia adalah seorang penyihir,” mereka tidak salah menggambarkan pertapa Gotama. Mereka mengatakan apa yang benar. Mereka mengatakan apa yang merupakan Dharma. Mereka mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma. Mereka tidak jatuh dalam kesalahan atau mendatangkan celaan menurut Dharma. Mengapa? Karena, kepala desa, aku mengetahui sihir tentang orang lain, walaupun aku sendiri bukan seorang penyihir.”
Pāṭaliya berkata:
“Walaupun apa yang dikatakan para pertapa dan brahmana itu benar, tetapi aku tidak mempercayai mereka ketika mereka berkata: “Pertapa Gotama mengetahui sihir, ia adalah seorang penyihir.”
Sang Bhagavā berkata: “Kepala desa, jika seseorang mengetahui sihir, apakah ia oleh sebab itu menjadi seorang penyihir?”
Pāṭaliya menjawab: “Tentu saja, Sang Bhagavā. Tentu saja, Sang Sugata.”
Sang Bhagavā berkata:
“Kepala desa, janganlah berbuat kesalahan dan salah menggambarkan diriku. Jika engkau salah menggambarkan diriku, maka engkau menyakiti dirimu sendiri, engkau akan dikecam, engkau melakukan suatu pelanggaran, dan engkau akan disalahkan oleh para orang mulia karena melakukan suatu kesalahan besar. Mengapa? Karena kebenaran tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan. Kepala desa, apakah engkau pernah mendengar bahwa suku Koliya memiliki prajurit?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Ya, aku pernah mendengar hal itu.”
[Sang Buddha:] “Apakah yang engkau pikirkan, kepala desa? Mengapa suku Koliya mempekerjakan para prajurit?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Untuk membunuh para penjahat, Gotama. Karena alasan ini suku Koliya mempekerjakan para prajurit.”
[Sang Buddha:] “Apakah yang engkau pikirkan, kepala desa? Apakah para prajurit suku Koliya memiliki moralitas atau tanpa moralitas?”
[Pāṭaliya] menjawab:
“Gotama, jika di dunia ini terdapat mereka yang tidak memiliki moralitas, para prajurit suku Koliya pasti berada di antara mereka. Mengapa? Para prajurit suku Koliya melanggar semua aturan moralitas dan berperilaku dengan cara yang jahat.”
[Sang Buddha] bertanya lebih lanjut:
“Kepala desa, engkau melihatnya demikian dan mengetahuinya demikian, dan aku tidak mempertanyakannya. [Tetapi] seumpamanya bahwa orang lain bertanya kepadamu: “Kepala desa Pāṭaliya, engkau mengetahui bahwa para prajurit suku Koliya melanggar semua aturan moralitas dan hanya melakukan kejahatan; oleh sebab itu, kepala desa Pāṭaliya, engkau juga melanggar semua aturan moralitas dan hanya melakukan kejahatan.” Jika seseorang berkata seperti ini, apakah ia mengatakan kebenaran?”
[Pāṭaliya] menjawab:
“Tidak, Gotama. Dan mengapa? Pandangan para prajurit suku Koliya berbeda [dari pandanganku], keinginan mereka berbeda, aspirasi mereka berbeda. Para prajurit suku Koliya melanggar semua aturan moralitas dan hanya melakukan kejahatan, tetapi aku menjaga semua aturan moralitas dan tidak melakukan kejahatan.”
[Sang Buddha] bertanya lebih lanjut:
“Kepala desa, engkau mengetahui bahwa para prajurit suku Koliya melanggar semua aturan moralitas dan hanya melakukan kejahatan, tetapi engkau tidak karena alasan ini menjadi seseorang yang melanggar aturan moralitas dan tidak melakukan kejahatan.
“Mengapa, kemudian, ini bukan seharusnya bahwa Sang Tathāgata mengetahui sihir tetapi ia sendiri bukan seorang penyihir? Bagaimana demikian? Aku mengetahui sihir, aku mengetahui para penyihir, aku mengetahui akibat melakukan sihir, dan aku mengetahui pelenyapan sihir.
“Kepala desa, aku juga mengetahui pembunuhan makhluk hidup, aku mengetahui para pembunuh makhluk hidup, aku mengetahui akibat membunuh makhluk hidup, dan aku mengetahui pelenyapan pembunuhan makhluk hidup. Kepala desa, aku mengetahui pengambilan apa yang tidak diberikan, aku mengetahui mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan, aku mengetahui akibat mengambil apa yang tidak diberikan, dan aku mengetahui pelenyapan pengambilan apa yang tidak diberikan. Kepala desa, aku mengetahui perkataan bohong, aku mengetahui mereka yang mengatakan kebohongan, aku mengetahui akibat mengatakan kebohongan, dan aku mengetahui pelenyapan perkataan bohong.
“Kepala desa, aku mengetahui hal ini dan melihat hal ini. Jika seseorang berkata: “Pertapa Gotama mengetahui sihir, ia adalah seorang penyihir,” dan jika ia tidak meninggalkan hal itu tetapi memunculkan keadaan pikiran itu, keinginan itu, aspirasi itu, berita itu, ingatan itu, dan perenungan itu, maka, ketika kehidupannya berakhir ia akan, secepat seseorang membengkokkan atau merentangkan lengannya, terlahir kembali di neraka.”
Ketika mendengar hal ini, Pāṭaliya sang kepala desa sangat ketakutan, gemetaran, dengan rambut tubuhnya berdiri tegak. Ia segera bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan pada kaki [Sang Buddha] dengan kepalanya dan, dengan berlutut dengan telapak tangannya disatukan [untuk menghormat], berkata kepada Sang Bhagavā:
“Aku menyesal, Gotama. Aku mengaku [salah], Sang Sugata. Aku seperti orang bodoh, seperti orang yang tidak tahu, seperti orang yang goyah, seperti orang yang tidak bermanfaat. Dan mengapa? Aku salah dalam mengatakan bahwa pertapa Gotama adalah seorang penyihir. Semoga Gotama menerima penyesalanku! Aku telah melihat kesalahanku dan memperlihatnya. Setelah menyesali, aku akan berlatih mengendalikan [diri] dan tidak melakukannya lagi.”
Sang Bhagavā berkata kepadanya:
“Demikianlah, kepala desa. Engkau benar-benar seperti orang yang bodoh, tidak tahu, goyah dan tidak bermanfaat. Dan mengapa? Engkau salah dalam mengatakan bahwa Sang Tathāgata, yang bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, adalah seorang penyihir. Namun, engkau telah dapat menyesal. Engkau telah melihat kesalahanmu dan memperlihatkannya. Dengan berlatih pengendalian [diri], engkau akan melakukannya lagi.
“Dengan cara ini, kepala desa, mereka yang dapat menyesal, yang melihat kesalahannya dan memperlihatkannya, dan yang berlatih pengendalian [diri] sehingga tidak melakukannya lagi, akan berkembang dalam Dharma yang mulia dan bebas dari kesalahan.”
Kemudian Pāṭaliya sang kepala desa, menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Sang Buddha, berkata kepada Sang Bhagavā:
“Gotama, terdapat satu [jenis] pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan menyatakan: “Jika seseorang membunuh makhluk hidup, mereka akan memperoleh keseluruhan akibatnya pada masa kehidupan ini; dan karena hal itu, dukacita dan penderitaan akan muncul. Jika seseorang mengambil apa yang tidak diberikan, atau mengatakan kebohongan, mereka akan memperoleh keseluruhan akibatnya pada masa kehidupan ini; dan karena hal itu, dukacita dan penderitaan akan muncul.” Pertapa Gotama, apakah yang engkau pikirkan [tentang hal ini]?”
Sang Bhagavā berkata:
“Kepala desa, aku sekarang akan bertanya kepadamu sesuatu; jawablah menurut pemahamanmu. Apakah yang engkau pikirkan, kepala desa? Di sebuah desa terdapat seseorang yang memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian yang diberikan pada tubuhnya; nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja.
“Kemudian seseorang bertanya: “Apakah yang telah dilakukan orang ini, sehingga ia sekarang memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian diberikan yang diberikan pada tubuhnya; sehingga nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan sehingga ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja?”
“Seseorang menjawab: “Orang ini membunuh musuh raja, dan raja, yang merasa gembira, menganugerahkan hadiah kepadanya. Karena alasan ini orang ini memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian diberikan yang diberikan pada tubuhnya; sehingga nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan sehingga ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja.”
“Kepala desa, apakah engkau pernah melihat sesuatu seperti ini, atau mendengar sesuatu seperti ini?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Ya, Gotama, aku telah melihatnya. Aku telah mendengarnya, dan aku [berharap aku] akan mendengarnya [lagi].”
Sang Buddha melanjutkan:
“Kepala desa, seseorang mungkin juga melihat bahwa seorang penjahat ditangkap oleh raja, tangannya diikat di belakangnya dan, dengan genderang dipukul dan [hukuman] diumumkan, ia dibawa melalui pintu gerbang selatan kota, didudukkan di bawah sebuah papan arah, dipenggal, dan kepalanya diletakkan untuk diperlihatkan.
“Kemudian seseorang bertanya: “Apakah kejahatan yang dilakukan orang ini sehingga ia dihukum oleh raja?” Seseorang menjawab: “Orang ini bersalah membunuh seseorang yang tidak bersalah dari keluarga raja. Karena alasan ini raja memerintahkan hukuman ini.” Kepala desa, apakah engkau pernah melihat sesuatu seperti ini, atau mendengar sesuatu seperti ini?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Ya, Gotama, aku telah melihatnya. Aku telah mendengarnya, dan aku [berharap aku] akan mendengarnya [lagi].”
Sang Buddha berkata:
“Kepala desa, jika seorang pertapa atau brahmana memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini: “Jika seseorang membunuh makhluk hidup, mereka akan memperoleh keseluruhan akibatnya pada masa kehidupan ini; dan karena hal itu, dukacita dan penderitaan akan muncul,” apakah mereka mengatakan apa yang benar atau apakah mereka mengatakan apa yang salah?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Ini dikatakan dengan salah, Gotama.”
[Sang Buddha:] “Jika mereka mengatakan apa yang salah, apakah engkau akan memiliki keyakinan terhadap mereka?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Tidak, aku tidak akan memiliki keyakinan, Gotama.”
Sang Bhagavā memujinya, dengan berkata: “Bagus sekali, kepala desa! Bagus sekali!”
[Sang Buddha] bertanya lebih lanjut:
“Apakah yang engkau pikirkan, kepala desa? Di sebuah desa terdapat seseorang yang memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian yang diberikan pada tubuhnya; nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja.
“Kemudian seseorang bertanya: “Apakah yang telah dilakukan orang ini, sehingga ia sekarang memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian yang diberikan pada tubuhnya; sehingga nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan sehingga ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja?”
“Seseorang menjawab: “Di negeri lain orang ini mengambil apa yang tidak diberikan [dan raja, yang senang dengannya, menganugerahkan hadiah kepadanya.] Karena alasan ini orang ini memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian yang diberikan pada tubuhnya; nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja.”
“Kepala desa, apakah engkau pernah melihat sesuatu seperti ini, atau mendengar sesuatu seperti ini?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Ya, Gotama, aku telah melihatnya. Aku telah mendengarnya, dan aku [berharap aku] akan mendengarnya [lagi].”
Sang Buddha melanjutkan:
“Lagi, kepala desa, seseorang mungkin juga melihat bahwa seorang penjahat ditangkap oleh raja, tangannya diikat di belakangnya dan, dengan genderang dipukul dan [hukuman] diumumkan, ia dibawa melalui pintu gerbang selatan kota, didudukkan di bawah sebuah papan arah, dipenggal, dan kepalanya diletakkan untuk diperlihatkan.
“Kemudian seseorang bertanya: “Apakah kejahatan yang dilakukan orang ini sehingga ia dihukum oleh raja?” Seseorang menjawab: “Di dalam negeri raja orang ini mengambil apa yang tidak diberikan. Karena alasan ini raja memerintahkan hukuman ini.” Kepala desa, apakah engkau pernah melihat sesuatu seperti ini, atau mendengar sesuatu seperti ini?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Ya, Gotama, aku telah melihatnya. Aku telah mendengarnya, dan aku [berharap aku] akan mendengarnya [lagi].”
Sang Buddha:
“Kepala desa, jika seorang pertapa atau brahmana memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini: “Jika seseorang mengambil apa yang tidak diberikan, mereka akan memperoleh keseluruhan akibatnya pada masa kehidupan ini; dan karena hal itu, dukacita dan penderitaan akan muncul,” apakah mereka mengatakan apa yang benar atau apakah mereka mengatakan apa yang salah?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Ini dikatakan dengan salah, Gotama.”
[Sang Buddha:] “Jika mereka mengatakan apa yang salah, apakah engkau akan memiliki keyakinan terhadap mereka?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Tidak, aku tidak akan memiliki keyakinan, Gotama.”
Sang Bhagavā memujinya, dengan berkata:
“Bagus sekali, kepala desa! Bagus sekali! Apakah yang engkau pikirkan, kepala desa? Di sebuah desa terdapat seseorang yang memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian yang diberikan pada tubuhnya; nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja.
“Kemudian seseorang bertanya: “Apakah yang telah dilakukan orang ini, sehingga ia sekarang memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian yang diberikan pada tubuhnya; sehingga nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan sehingga ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja?”
“Seseorang menjawab: “Orang ini adalah seorang penyanyi, dapat menghibur dan menarik perhatian. Ia menyenangkan raja dengan ucapan salah dan raja, yang senang, menganugerahkan hadiah kepadanya. Karena alasan ini orang ini memiliki kalungan bunga di kepalanya dan berbagai wewangian yang diberikan pada tubuhnya; nyanyian, musik, dan tarian diadakan untuk hiburannya; dan ia dilayani dengan para pelacur untuk menikmati dirinya sendiri bagaikan seorang raja.”
“Kepala desa, apakah engkau pernah melihat sesuatu seperti ini, atau mendengar sesuatu seperti ini?”
[Pāṭaliya] menjawab: “Ya, Gotama, aku telah melihatnya. Aku telah mendengarnya, dan aku [berharap aku] akan mendengarnya [lagi].”
Sang Buddha melanjutkan:
“Lagi, kepala desa, seseorang mungkin juga melihat bahwa seorang penjahat ditangkap oleh raja, tangannya diikat di belakangnya dan, dengan genderang dipukul dan [hukuman] diumumkan, ia dibawa melalui pintu gerbang selatan kota, didudukkan di bawah sebuah papan arah, dipenggal, dan kepalanya diletakkan untuk diperlihatkan. Kemudian seseorang bertanya: “Apakah kejahatan yang dilakukan orang ini sehingga ia dihukum oleh raja?” Seseorang menjawab: “Orang ini berbohong dalam kesaksian di hadapan raja. Dengan kebohongan ia berusaha menipu raja. Karena alasan ini raja memerintahkan hukuman ini.”
“Kepala desa, apakah engkau pernah melihat sesuatu seperti ini, atau mendengar sesuatu seperti ini?”
Ia menjawab: “Ya, Gotama. aku telah melihatnya. Aku telah mendengarnya, dan aku [berharap aku] akan mendengarnya [lagi].”
Sang Buddha:
“Kepala desa, jika seorang pertapa atau brahmana memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini: “Jika seseorang mengatakan kebohongan, mereka akan memperoleh keseluruhan akibatnya pada masa kehidupan ini; dan karena hal itu, dukacita dan penderitaan akan muncul,” apakah mereka mengatakan apa yang benar atau apakah mereka mengatakan apa yang salah?”
Ia menjawab: “Ini dikatakan dengan salah, Gotama.”
“Jika mereka mengatakan apa yang salah, apakah engkau akan memiliki keyakinan terhadap mereka?”
Ia menjawab: “Tidak, aku tidak akan memiliki keyakinan, Gotama.”
Sang Bhagavā memujinya, dengan berkata: “Bagus sekali, kepala desa! Bagus sekali!”
Kemudian Pāṭaliya, sang kepala desa, bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya sehingga memperlihatkan satu bahu dan, dengan menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Sang Buddha, berkata kepada Sang Bhagavā:
“Mengagumkan! Apa yang dikatakan Gotama adalah menakjubkan, dengan perumpamaan-perumpamaan yang baik dan bukti yang baik. Gotama, aku membangun sebuah aula beratap tinggi di desa Uttara, yang disediakan dengan tempat duduk dan tempat tidur, dan mengatur kendi-kendi air dan pelita besar yang cemerlang. Jika para pertapa atau brahmana yang tekun datang berdiam dalam aula beratap tinggi ini, aku menyediakan apa yang mereka butuhkan sesuai dengan kemampuanku.
“[Suatu ketika] empat orang guru, yang memegang pandangan yang berbeda-beda dan bertentangan berkumpul di aula beratap tinggi. Di antara mereka terdapat seorang guru yang memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini:
“Tidak ada persembahan, tidak ada pengorbanan, tidak ada mantra-mantra; tidak ada perbuatan bermanfaat atau tidak bermanfaat, tidak ada akibat perbuatan bermanfaat atau tidak bermanfaat; tidak ada dunia ini ataupun dunia lain, tidak ada ayah dan ibu; tidak ada para Manusia Sejati di dunia yang menuju pencapaian tertinggi, yang pergi dengan baik dan diarahkan dengan baik, yang dengan diri mereka sendiri mengetahui dan merealisasi dunia ini dan dunia lain, yang telah dengan diri mereka sendiri secara langsung merealisasi dan menyempurnakannya dan berdiam di sana.
“Guru kedua memiliki pandangan benar. Berlawanan dengan pandangan dan pengetahuan guru pertama, ia memegang pandangan ini dan membuat pernyataan:
“Terdapat persembahan, terdapat pengorbanan, terdapat mantra-mantra; terdapat perbuatan bermanfaat atau tidak bermanfaat, terdapat akibat perbuatan bermanfaat atau tidak bermanfaat; terdapat dunia ini ataupun dunia lain, terdapat ayah dan ibu; terdapat para Manusia Sejati di dunia yang menuju pencapaian tertinggi, yang pergi dengan baik dan diarahkan dengan baik, yang dengan diri mereka sendiri mengetahui dan merealisasi dunia ini dan dunia lain, yang telah dengan diri mereka sendiri secara langsung merealisasi dan menyempurnakannya dan berdiam di sana.
“Guru ketiga memegang pandangan ini dan membuat pernyataan:
“Ia yang berbuat atau mengajarkan orang lain untuk berbuat; ia yang menghancurkan atau mengajarkan orang lain untuk menghancurkan; ia yang menyiksa atau mengajarkan orang lain untuk menyiksa, [yang menyebabkan] kesengsaraan, kekesalan, kesedihan, pemukulan dada, keputusasaan, ratap tangis, dan kebingungan; seseorang yang membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, terlibat dalam perilaku seksual yang salah, mengatakan kebohongan, meminum minuman keras, merusak tembok untuk membuka gudang, menyusup ke dalam wilayah orang lain, menghancurkan desa dan kota kecil, memusnahkan kota besar dan kerajaan-kerajaan—seseorang yang melakukan dengan cara ini tidak melakukan kejahatan.
“Lagi, jika dengan menggunakan roda besi setajam pisau cukur, seseorang dalam satu hari, memotong menjadi potongan-potongan dan membunuh semua makhluk hidup di bumi ini, mengirisnya menjadi potongan-potongan dan menjadikan mereka menjadi tumpukan daging; ini tidak sama dengan “perbuatan jahat”, dan perbuatan jahat tidak akan memiliki akibat. Jika seseorang pergi ke tepi selatan sungai Gangga dengan membunuh, menghancurkan, dan menyiksa, dan kembali sepanjang tepi utara sungai Gangga dengan membuat persembahan, mengadakan pengorbanan, dan melantunkan mantra-mantra; maka tidak ada pelanggaran dan tidak ada jasa karena hal ini, tidak ada akibat pelanggaran atau jasa karena hal ini.
“Memberikan persembahan, menjinakkan [diri sendiri], menjaga [diri sendiri], mengendalikan [diri sendiri], dengan menghormat, memberi manfaat, kedermawanan, berkata menyenangkan, melakukan kebajikan, dan membagikan keuntungan, seseorang tidak [memperoleh] jasa karena hal ini, tidak ada akibat jasa karena hal ini.
“Guru keempat memiliki pandangan benar. Berlawanan dengan pemahaman dan pandangan guru ketiga, ia memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini:
“Ia yang berbuat atau mengajarkan orang lain berbuat; ia yang menghancurkan atau mengajarkan orang lain untuk menghancurkan; ia yang menyiksa atau mengajarkan orang lain untuk menyiksa, [yang menyebabkan] kesengsaraan, kekesalan, kesedihan, pemukulan dada, keputusasaan, ratap tangis, dan kebingungan; seseorang yang membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, terlibat dalam perilaku seksual yang salah, mengatakan kebohongan, meminum minuman keras, merusak tembok untuk membuka gudang, menyusup ke dalam wilayah orang lain, menghancurkan desa dan kota kecil, memusnahkan kota besar dan kerajaan-kerajaan—seseorang yang melakukan dengan cara ini melakukan kejahatan.
“Lagi, jika dengan menggunakan roda besi setajam pisau cukur, seseorang dalam satu hari, memotong menjadi potongan-potongan dan membunuh semua makhluk hidup di bumi ini, mengirisnya menjadi potongan-potongan dan menjadikan mereka menjadi tumpukan daging; ini sama dengan “perbuatan jahat”, dan perbuatan jahat akan memiliki akibat. Jika seseorang pergi ke tepi selatan sungai Gangga dengan membunuh, menghancurkan, dan menyiksa, dan kembali sepanjang tepi utara sungai Gangga dengan membuat persembahan, mengadakan pengorbanan, dan melantunkan mantra-mantra; maka terdapat pelanggaran atau jasa karena hal ini, terdapat akibat pelanggaran atau jasa karena hal ini.
“Memberikan persembahan, menjinakkan [diri sendiri], menjaga [diri sendiri], mengendalikan [diri sendiri], dengan menghormat, memberi manfaat, kedermawanan, berkata menyenangkan, melakukan kebajikan, dan membagikan keuntungan, terdapat jasa karena hal ini, terdapat akibat jasa karena hal ini.
“Gotama, setelah mendengar hal ini, aku menjadi ragu-ragu. Dari para pertapa dan brahmana ini, siapakah yang mengatakan kebenaran, dan siapakah yang mengatakan ketidakbenaran?”
Sang Bhagavā berkata kepadanya:
“Kepala desa, janganlah membiarkan keragu-raguan muncul dalam dirimu. Mengapa tidak? Disebabkan keragu-raguan, kebimbangan muncul. Kepala desa, engkau sendiri tidak memiliki pengetahuan murni tentang apakah terdapat kehidupan berikunya atau tidak ada kehidupan berikutnya. Juga, kepala desa, engkau tidak memiliki pengetahuan murni sehubungan dengan mana cara berbuat yang jahat dan mana cara berbuat yang bermanfaat. Kepala desa, terdapat suatu meditasi Dharma yang disebut peninggalan. Melalui meditasi ini engkau dapat mencapai perhatian benar, engkau dapat mencapai keterpusatan pikiran. Dengan cara ini engkau dapat melenyapkan keragu-raguan pada masa kehidupan ini dan mencapai kemajuan.”
Kemudian, Pāṭaliya sang kepala desa, bangkit lagi dari tempat duduknya, mengatur pakaiannya sehingga memperlihatkan satu bahu dan, dengan menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Sang Buddha, berkata kepada Sang Bhagavā:
“Gotama, apakah meditasi Dharma yang disebut peninggalan, yang melaluinya aku dapat mencapai perhatian benar dan dapat mencapai keterpusatan pikiran, dan dengan cara itu dapat memotong pada masa kehidupan ini dan mencapai kemajuan?”
Sang Bhagavā berkata kepadanya:
“Kepala desa, seorang siswa mulia yang terpelajar menghindari diri dari pembunuhan dan meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan … perilaku seksual yang salah … ucapan salah … (dan seterusnya sampai dengan) meninggalkan pandangan salah dan mencapai pandangan benar. Selama siang hari ia mengajarkan orang-orang untuk bertani dan mengolah lahan, dan ketika sore hari datang, ia beristirahat dari hal ini dan pergi ke dalam rumah untuk bermeditasi. Ketika malam telah berakhir, saat fajar, ia berpikir:
“Aku telah menghindari diri dari pembunuhan dan meninggalkan pembunuhan, aku telah meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan … perilaku seksual yang salah … ucapan salah … (dan seterusnya sampai dengan) meninggalkan pandangan salah dan mencapai pandangan benar.
“Kemudian ia memeriksa dirinya sendiri: “Aku telah meninggalkan sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat, dan telah menyadari sepuluh jalan perbuatan bermanfaat.” Ketika ia melihat sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat ini ditinggalkan dalam dirinya sendiri dan sadar terhadap sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, sukacita muncul dalam dirinya; dengan sukacita yang telah muncul, kegembiraan muncul; dengan kegembiraan yang telah muncul, tubuh menjadi tenang; dengan tubuh yang telah menjadi tenang, ia mengalami kenikmatan dengan tubuh; dengan tubuh yang telah mengalami kenikmatan, ia mencapai keterpusatan pikiran.
“Kepala desa, seorang siswa mulia yang telah mencapai keterpusatan pikiran, memenuhi pikirannya dengan cinta-kasih dan berdiam [dengan pikiran] meliputi satu arah, seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih, bebas dari belenggu-belenggu dan kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.
“Kemudian ia merenungkan demikian: “Terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini:”
“Tidak ada persembahan, tidak ada pengorbanan, tidak ada mantra-mantra; tidak ada perbuatan bermanfaat atau tidak bermanfaat, tidak ada akibat perbuatan bermanfaat atau tidak bermanfaat; tidak ada dunia ini ataupun dunia lain, tidak ada ayah dan ibu; tidak ada para Manusia Sejati di dunia yang menuju pencapaian tertinggi, yang pergi dengan baik dan diarahkan dengan baik, yang dengan diri mereka sendiri mengetahui dan merealisasi dunia ini dan dunia lain, yang telah dengan diri mereka sendiri secara langsung merealisasi dan menyempurnakannya dan berdiam di sana.
“Jika para pertapa dan brahmana ini mengatakan kebenaran, maka aku tidak berbuat kesalahan terhadap yang menakutkan ataupun yang tanpa ketakutan di dunia. Aku selalu memiliki belas kasih dan empati terhadap seluruh dunia. Terhadap [semua] makhluk pikiranku telah bebas dari perselisihan, tidak ternoda, dan bergembira.
“Sekarang aku telah mencapai Dharma dari yang tiada bandingnya (yaitu, Sang Buddha), mencapai kemajuan dan suatu kediaman yang membahagiakan; ini disebut meditasi Dharma peninggalan. Apakah yang dikatakan para pertapa dan brahmana ini mungkin benar atau salah; tetapi [apakah] ini benar atau salah, aku telah mencapai ketenangan pikiran internal.
“Kepala desa, ini adalah meditasi Dharma yang disebut peninggalan. Melalui meditasi ini engkau dapat mencapai perhatian benar, engkau dapat mencapai keterpusatan pikiran. Dengan cara ini engkau dapat memotong keragu-raguan pada masa kehidupan ini dan mencapai kemajuan.
“Lagi, kepala desa, seorang siswa mulia yang terpelajar menghindari diri dari pembunuhan dan meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan … perilaku seksual yang salah … ucapan salah … (dan seterusnya sampai dengan) meninggalkan pandangan salah dan mencapai pandangan benar. Selama siang hari ia mengajarkan orang-orang untuk bertani dan mengolah lahan, dan ketika sore hari datang, ia beristirahat dari hal ini dan pergi ke dalam rumah untuk bermeditasi. Ketika malam telah berakhir, saat fajar, ia berpikir:
“Aku telah menghindari diri dari pembunuhan dan meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan … perilaku seksual yang salah … ucapan salah … (dan seterusnya sampai dengan) meninggalkan pandangan salah dan mencapai pandangan benar.
“Kemudian ia memeriksa dirinya sendiri: “Aku telah meninggalkan sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat dan telah menyadari sepuluh jalan perbuatan bermanfaat.” Ketika ia melihat sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat ini ditinggalkan dalam dirinya sendiri dan sadar terhadap sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, sukacita muncul dalam dirinya; dengan sukacita yang telah muncul, kegembiraan muncul; dengan kegembiraan yang telah muncul, tubuh menjadi tenang; dengan tubuh yang telah menjadi tenang, ia mengalami kenikmatan dengan tubuh; dengan tubuh yang telah mengalami kenikmatan, ia mencapai keterpusatan pikiran.
“Kepala desa, seorang siswa mulia yang telah mencapai keterpusatan pikiran memenuhi pikirannya dengan belas kasih dan berdiam [dengan pikiran] meliputi satu arah, seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasih, bebas dari belenggu-belenggu dan kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.
“Kemudian ia merenungkan demikian:
“Terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini: Terdapat persembahan, terdapat pengorbanan, terdapat mantra-mantra; terdapat perbuatan bermanfaat atau tidak bermanfaat, terdapat akibat perbuatan bermanfaat atau tidak bermanfaat; terdapat dunia ini dan dunia lain, terdapat ayah dan ibu; terdapat para Manusia Sejati di dunia yang menuju pencapaian tertinggi, yang pergi dengan baik dan diarahkan dengan baik, yang dengan diri mereka sendiri mengetahui dan merealisasi dunia ini dan dunia lain, yang telah dengan diri mereka sendiri secara langsung merealisasi dan menyempurnakannya dan berdiam di sana.
“Jika para pertapa dan brahmana itu mengatakan kebenaran, maka aku tidak berbuat salah terhadap yang menakutkan ataupun yang tanpa ketakutan di dunia. Aku selalu memiliki belas kasih dan empati terhadap seluruh dunia. Terhadap [semua] makhluk pikiranku telah bebas dari perselisihan, tidak ternoda, dan bergembira. Sekarang aku telah mencapai Dharma dari yang tiada bandingnya, mencapai kemajuan dan suatu kediaman yang membahagiakan; ini disebut meditasi Dharma peninggalan. Apakah yang dikatakan para pertapa dan brahmana ini mungkin benar atau salah; tetapi [apakah] ini benar atau salah, aku telah mencapai ketenangan pikiran internal.
“Kepala desa, ini adalah meditasi Dharma yang disebut peninggalan. Melalui meditasi ini engkau dapat mencapai perhatian benar, engkau dapat mencapai keterpusatan pikiran. Dengan cara ini engkau dapat memotong keragu-raguan pada masa kehidupan ini dan mencapai kemajuan.
“Lagi, kepala desa, seorang siswa mulia yang terpelajar menghindari diri dari pembunuhan dan meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan … perilaku seksual yang salah … ucapan salah … (dan seterusnya sampai dengan) meninggalkan pandangan salah dan mencapai pandangan benar. Selama siang hari ia mengajarkan orang-orang untuk bertani dan mengolah lahan dan, ketika sore hari datang, ia beristirahat dari hal ini dan pergi ke dalam rumah untuk bermeditasi. Ketika malam telah berakhir, saat fajar, ia berpikir:
“Aku telah menghindari diri dari pembunuhan dan meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan … perilaku seksual yang salah … ucapan salah … (dan seterusnya sampai dengan) meninggalkan pandangan salah dan mencapai pandangan benar.
“Kemudian ia memeriksa dirinya sendiri: “Aku telah meninggalkan sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat dan telah menyadari sepuluh jalan perbuatan bermanfaat.” Ketika ia melihat sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat ini ditinggalkan dalam dirinya sendiri dan sadar terhadap sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, sukacita muncul dalam dirinya; dengan sukacita yang telah muncul, kegembiraan muncul; dengan kegembiraan yang telah muncul, tubuh menjadi tenang; dengan tubuh yang telah menjadi tenang, ia mengalami kenikmatan dengan tubuh; dengan tubuh yang telah mengalami kenikmatan, ia mencapai keterpusatan pikiran.
“Kepala desa, seorang siswa mulia yang telah mencapai keterpusatan pikiran, memenuhi pikirannya dengan kegembiraan empatik dan berdiam [dengan pikiran] meliputi satu arah, seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan empatik, bebas dari belenggu-belenggu dan kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.
“Kemudian ia merenungkan demikian:
“Terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini: Ia yang berbuat atau mengajarkan orang lain untuk berbuat; ia yang menghancurkan atau mengajarkan orang lain untuk menghancurkan; ia yang menyiksa atau mengajarkan orang lain untuk menyiksa, [yang menyebabkan] kesengsaraan, kekesalan, kesedihan, pemukulan dada, keputusasaan, ratap tangis, dan kebingungan; seseorang yang membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, terlibat dalam perilaku seksual yang salah, mengatakan kebohongan, meminum minuman keras, merusak tembok untuk membuka gudang, menyusup ke dalam wilayah orang lain, menghancurkan desa dan kota kecil, memusnahkan kota besar dan kerajaan-kerajaan—seseorang yang melakukan dengan cara ini tidak melakukan kejahatan.
“Lagi, jika dengan menggunakan roda besi setajam pisau cukur, seseorang dalam satu hari, memotong menjadi potongan-potongan dan membunuh semua makhluk hidup di bumi ini, mengirisnya menjadi potongan-potongan dan menjadikan mereka menjadi tumpukan daging; tidak ada karma buruk karena hal ini, tidak ada akibat karma buruk karena hal ini. Jika seseorang pergi ke tepi selatan sungai Gangga dengan membunuh, menghancurkan, dan menyiksa, dan kembali sepanjang tepi utara sungai Gangga dengan membuat persembahan, mengadakan pengorbanan, dan melantunkan mantra-mantra; maka tidak ada pelanggaran dan tidak ada jasa karena hal ini, tidak ada akibat pelanggaran atau jasa karena hal ini. Membuat persembahan, menjinakkan [diri sendiri], menjaga [diri sendiri], mengendalikan [diri sendiri], dengan menghormati, memberi manfaat, kedermawanan, berkata menyenangkan, melakukan kebajikan, dan membagikan keuntungan, tidak ada jasa karena hal ini, tidak ada akibat jasa karena hal ini.
“Jika para pertapa dan brahmana itu mengatakan kebenaran, maka aku tidak berbuat salah terhadap yang menakutkan ataupun yang tanpa ketakutan di dunia. Aku selalu memiliki belas kasih dan empati terhadap seluruh dunia. Terhadap [semua] makhluk pikiranku telah bebas dari perselisihan, tidak ternoda, dan bergembira. Sekarang aku telah mencapai Dharma dari yang tiada bandingnya, mencapai kemajuan dan suatu kediaman yang membahagiakan; ini disebut meditasi Dharma peninggalan. Apakah yang dikatakan para pertapa dan brahmana ini mungkin benar atau salah; tetapi [apakah] ini benar atau salah, aku telah mencapai ketenangan pikiran internal.
“Kepala desa, ini adalah meditasi Dharma yang disebut peninggalan. Melalui meditasi ini engkau dapat mencapai perhatian benar, engkau dapat mencapai keterpusatan pikiran. Dengan cara ini engkau dapat memotong keragu-raguan pada masa kehidupan ini dan mencapai kemajuan.
“Lagi, kepala desa, seorang siswa mulia yang terpelajar menghindari diri dari pembunuhan dan meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan … perilaku seksual yang salah … ucapan salah … (dan seterusnya sampai dengan) meninggalkan pandangan salah dan mencapai pandangan benar. Selama siang hari ia mengajarkan orang-orang untuk bertani dan mengolah lahan dan, ketika sore hari datang, ia beristirahat dari hal ini dan pergi ke dalam rumah untuk bermeditasi. Ketika malam telah berakhir, saat fajar, ia berpikir:
“Aku telah menghindari diri dari pembunuhan dan meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan … perilaku seksual yang salah … ucapan salah … (dan seterusnya sampai dengan) meninggalkan pandangan salah dan mencapai pandangan benar.
“Kemudian ia memeriksa dirinya sendiri: “Aku telah meninggalkan sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat dan telah menyadari sepuluh jalan perbuatan bermanfaat.” Ketika ia melihat sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat ini ditinggalkan dalam dirinya sendiri dan sadar terhadap sepuluh jalan perbuatan bermanfaat, sukacita muncul dalam dirinya; dengan sukacita yang telah muncul, kegembiraan muncul; dengan kegembiraan yang telah muncul, tubuh menjadi tenang; dengan tubuh yang telah menjadi tenang, ia mengalami kenikmatan dengan tubuh; dengan tubuh yang telah mengalami kenikmatan, ia mencapai keterpusatan pikiran.
“Kepala desa, seorang siswa mulia yang telah mencapai keterpusatan pikiran, memenuhi pikirannya dengan keseimbangan dan berdiam [dengan pikiran] meliputi satu arah, seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, bebas dari belenggu-belenggu dan kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.
“Kemudian ia merenungkan demikian:
“Terdapat para pertapa dan brahmana yang memegang pandangan ini dan membuat pernyataan ini: Ia yang berbuat atau mengajarkan orang lain untuk berbuat; ia yang menghancurkan atau mengajarkan orang lain untuk menghancurkan; ia yang menyiksa atau mengajarkan orang lain untuk menyiksa, [yang menyebabkan] kesengsaraan, kekesalan, kesedihan, pemukulan dada, keputusasaan, ratap tangis, dan kebingungan; seseorang yang membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, terlibat dalam perilaku seksual yang salah, mengatakan kebohongan, meminum minuman keras, merusak tembok untuk membuka gudang, menyusup ke dalam wilayah orang lain, menghancurkan desa dan kota kecil, memusnahkan kota besar dan kerajaan-kerajaan—seseorang yang melakukan dengan cara ini melakukan kejahatan.
“Lagi, jika dengan menggunakan roda besi setajam pisau cukur, seseorang dalam satu hari, memotong menjadi potongan-potongan dan membunuh semua makhluk hidup di bumi ini, mengirisnya menjadi potongan-potongan dan menjadikan mereka menjadi tumpukan daging; terdapat karma buruk karena hal ini, terdapat akibat karma buruk karena hal ini. Jika seseorang pergi ke tepi selatan sungai Gangga dengan membunuh, menghancurkan, dan menyiksa, dan kembali sepanjang tepi utara sungai Gangga dengan membuat persembahan, mengadakan pengorbanan, dan melantunkan mantra-mantra; maka terdapat pelanggaran dan terdapat jasa karena hal ini, tidak ada akibat pelanggaran atau jasa karena hal ini. Membuat persembahan, menjinakkan [diri sendiri], menjaga [diri sendiri], mengendalikan [diri sendiri], dengan menghormati, memberi manfaat, kedermawanan, berkata menyenangkan, melakukan kebajikan, dan membagikan keuntungan, terdapat jasa karena hal ini, terdapat akibat jasa karena hal ini.
“Jika para pertapa dan brahmana itu mengatakan kebenaran, maka aku tidak berbuat salah terhadap yang menakutkan ataupun yang tanpa ketakutan di dunia. Aku selalu memiliki belas kasih dan empati terhadap seluruh dunia. Terhadap [semua] makhluk pikiranku telah bebas dari perselisihan, tidak ternoda, dan bergembira. Sekarang aku telah mencapai Dharma dari yang tiada bandingnya, mencapai kemajuan dan suatu kediaman yang membahagiakan; ini disebut meditasi Dharma peninggalan. Apakah yang dikatakan para pertapa dan brahmana ini mungkin benar atau salah; tetapi [apakah] ini benar atau salah, aku telah mencapai ketenangan pikiran internal.
“Kepala desa, ini adalah meditasi Dharma yang disebut peninggalan. Melalui meditasi ini engkau dapat mencapai perhatian benar, engkau dapat mencapai keterpusatan pikiran. Dengan cara ini engkau dapat memotong keragu-raguan pada masa kehidupan ini dan mencapai kemajuan.”
Ketika Dharma ini diajarkan, mata Dharma yang tidak ternoda dan murni sehubungan dengan semua fenomena muncul dalam diri Pāṭaliya sang kepala desa. Pāṭaliya sang kepala desa melihat Dharma, mencapai Dharma, merealisasi Dharma yang cemerlang dan murni; ia memotong keragu-raguan dan pergi melampaui kebingungan; ia tidak bergantung pada para guru lainnya; ia tidak akan pernah mengikuti orang lain; dan ia bebas dari kebimbangan. Setelah mengembangkan pencapaian buah, ia mencapai keberanian dalam Dharma yang diajarkan Sang Bhagavā. Ia bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, dan berkata:
“Sang Bhagavā, aku sekarang pergi berlindung kepada Buddha, Dharma, dan komunitas para bhikkhu. Semoga Sang Bhagavā menerimaku sebagai seorang pengikut awam! Sejak hari ini sampai kehidupan berakhir aku pergi berlindung [kepada beliau].”
Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, kepala desa Pāṭaliya dan para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.