Madhyamāgama
28. Kotbah tentang Mengajar [Anāthapiṇḍika] yang Sakit
Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
Pada waktu itu, perumah tangga Anāthapiṇḍika sedang sakit parah. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika berkata kepada seorang utusan tertentu:
“Pergilah menemui Sang Buddha dan, atas namaku, berikan penghormatan pada kaki beliau. Tanyakan tentang kesejahteraannya, dengan bertanya: “Sang Bhagavā, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?” Kemudian katakan kepada beliau: “Perumah tangga Anāthapiṇḍika memberikan penghormatan pada kaki Sang Bhagavā. Ia menanyakan tentang kesejahteraan anda [dengan perkataan]: ‘Sang Bhagavā, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?’”
“Setelah engkau telah, atas namaku, menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada Sang Buddha, pergilah menemui Yang Mulia Sāriputta. Berikan penghormatan pada kaki beliau atas namaku, dan tanyakan tentang kesejahteraan beliau dengan bertanya: “Yang Mulia, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?” Kemudian katakan kepada beliau: “Perumah tangga Anāthapiṇḍika memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Sāriputta. Ia menanyakan tentang kesejahteraan yang mulia [dengan perkataan]: ‘Apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?’” [Kemudian juga katakan kepada beliau:] “Yang Mulia Sāriputta, perumah tangga Anāthapiṇḍika sedang sakit parah dan berada dalam kondisi yang kritis. Perumah tangga Anāthapiṇḍika sangat berkeinginan untuk menemui Yang Mulia Sāriputta. Tetapi dalam kondisi fisiknya yang memburuk, ia terlalu lemah untuk datang dan mengunjungi Yang Mulia Sāriputta. Akan baik jika Yang Mulia Sāriputta, demi belas kasih, mengunjungi perumah tangga Anāthapiṇḍika di rumahnya.”
Kemudian, setelah menerima perintah perumah tangga Anāthapiṇḍika, utusan itu mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan pada kaki beliau, ia duduk pada satu sisi dan berkata:
“Sang Bhagavā, perumah tangga Anāthapiṇḍika memberikan penghormatan pada kaki anda. Ia menanyakan tentang kesejahteraan anda: “Sang Bhagavā, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada utusan itu:
“Semoga perumah tangga Anāthapiṇḍika menemukan kesejahteraan dan kebahagiaan. Semoga semua dewa, manusia, asura, pemusik surgawi, setan, dan semua bentuk kehidupan lainnya menemukan kesejahteraan dan kebahagiaan!”
Utusan itu mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, dan mengingatnya dengan baik. Kemudian, setelah memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha dan mengelilingi beliau tiga kali, ia mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah memberikan penghormatan pada kakinya, ia duduk pada satu sisi dan berkata:
“Yang Mulia Sāriputta, perumah tangga Anāthapiṇḍika memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Sāriputta. Ia menanyakan tentang kesejahteraan anda: “Yang Mulia, apakah anda sehat dan kuat? Apakah anda nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah anda berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan anda seperti biasanya?” [Juga] “Yang Mulia Sāriputta, perumah tangga Anāthapiṇḍika sedang sakit parah dan berada dalam kondisi yang kritis. Perumah tangga Anāthapiṇḍika sangat berkeinginan untuk menemui Yang Mulia Sāriputta. Tetapi dalam kondisi fisiknya yang buruk, ia terlalu lemah untuk mengunjungi Yang Mulia Sāriputta. Akan baik jika Yang Mulia Sāriputta, demi belas kasih, mengunjungi perumah tangga Anāthapiṇḍika di rumahnya.”
Yang Mulia Sāriputta menyetujui dengan tetap berdiam diri. Kemudian, memahami bahwa Yang Mulia Sāriputta telah menyetujui dengan tetap berdiam diri, utusan itu bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan pada kaki [Sāriputta], mengelilinginya tiga kali, dan pergi.
Ketika malam berakhir, saat fajar, Yang Mulia Sāriputta mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan mendekati rumah perumah tangga Anāthapiṇḍika. Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekati dari kejauhan, perumah tangga Anāthapiṇḍika berusaha untuk membangkitkan dirinya sendiri dari tempat tidurnya.
Melihat perumah tangga Anāthapiṇḍika berusaha untuk membangkitkan dirinya sendiri dari tempat tidurnya, Yang Mulia Sāriputta menghentikan beliau, dengan berkata: “Tetaplah berbaring, perumah tangga! Jangan bangun! Terdapat tempat tidur lainnya di sini. Aku akan duduk di sana.”
Kemudian, setelah duduk pada tempat tidur lainnya, Yang Mulia Sāriputta: “Bagaimanakah penyakitmu sekarang, perumah tangga? Berapa banyak engkau makan dan minum? Apakah rasa sakitmu berkurang, tidak meningkat?”
Perumah tangga itu menjawab: “Penyakitku semakin kritis. Aku tidak dapat makan atau minum. Rasa sakitku meningkat, tidak berkurang.”
Yang Mulia Sāriputta berkata:
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang bodoh yang tidak memiliki keyakinan, dengan hancurnya tubuh pada saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, memiliki keyakinan saat ini; alih-alih, engkau berkeyakinan besar. Dan dengan [mengingat] keyakinan besar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] keyakinan besar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang bodoh yang tidak memiliki moralitas, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, memiliki moralitas; alih-alih, engkau kuat dalam moralitas. Dan dengan [mengingat] moralitas kuat[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] moralitas kuat[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang bodoh yang tidak banyak mempelajari [tentang Dharma], dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, bukan seseorang yang tidak banyak mempelajari [tentang Dharma]; alih-alih, engkau terpelajar [sehubungan dengan Dharma]. Dan dengan [mengingat] pembelajaran[mu] yang besar [dalam Dharma], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pembelajaran[mu] yang besar, perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang bodoh yang kikir dan serakah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak kikir dan serakah; alih-alih, engkau seorang pendana yang dermawan. Dan dengan [mengingat] kedermawanan[mu] sebagai seorang pendana, perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] kedermawanan[mu] sebagai seorang pendana, perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki kebijaksanaan yang cacat, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki kebijaksanaan yang cacat; alih-alih, engkau diberkahi dengan kebijaksanaan yang bermanfaat. Dan dengan [mengingat] kebijaksanaan[mu] yang bermanfaat, perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] kebijaksanaan[mu] yang bermanfaat, perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki pandangan salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki pandangan salah; alih-alih, engkau memiliki pandangan benar. Dan dengan [mengingat] pandangan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pandangan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki kehendak salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki kehendak salah; alih-alih, engkau memiliki kehendak benar. Dan dengan [mengingat] kehendak benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] kehendak benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki pemahaman salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki pemahaman salah; alih-alih, engkau memiliki pemahaman benar. Dan dengan [mengingat] pemahaman benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pemahaman benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki [jenis] pembebasan yang salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki [jenis] pembebasan yang salah; alih-alih, engkau memiliki [tingkat pertama dari] [jenis] pembebasan yang benar. Dan dengan [mengingat] pembebasan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pembebasan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.
“Janganlah takut, perumah tangga. Janganlah takut, perumah tangga. Mengapa jangan [takut]? Dalam hal orang duniawi biasa yang memiliki pengamatan salah, dengan hancurnya tubuh saat kematian mereka pergi menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Tetapi engkau, perumah tangga, tidak memiliki pengamatan salah; alih-alih, engkau memiliki pengamatan benar. Dan dengan [mengingat] pengamatan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat memadamkan rasa sakitmu dan memunculkan kebahagiaan. Dengan [mengingat] pengamatan benar[mu], perumah tangga, engkau dapat mencapai buah sekali-kembali atau [bahkan] buah tidak-kembali, karena engkau telah mencapai [kesucian] pemasuk-arus.”
Kemudian, penyakit perumah tangga itu lenyap dan kondisinya kembali menjadi normal. Ia membangkitkan dirinya sendiri ke posisi duduk di tempat tidur, dan memuji Yang Mulia Sāriputta:
“Bagus sekali! Bagus sekali! Pengajaran Dharma anda kepada orang sakit adalah mengagumkan, sangat khusus! Yang Mulia Sāriputta, ketika mendengar pengajaran Dharma anda untuk orang sakit, rasa sakitku telah padam dan kebahagiaan muncul. Yang Mulia Sāriputta, penyakitku sekarang telah lenyap dan kondisiku kembali menjadi normal.
“Yang Mulia Sāriputta, suatu ketika, pada masa lampau, ketika berada di Rājagaha untuk beberapa urusan atau lainnya, aku berdiam di rumah seorang perumah tangga di sana. Pada waktu itu perumah tangga itu sedang mempersiapkan makanan untuk Sang Buddha dan komunitas para bhikkhu pada hari berikutnya. Ketika malam telah jauh berlalu dan fajar mendekat, perumah tangga itu memanggil anak-anak, cucu-cucu, para pelayan, dan para pembantunya, dengan berkata: “Bangunlah! Cepat! Kita semua harus mempersiapkan makanan.” Masing-masing menerima perintahnya dan bersama-sama mereka mengatur dapur dan mulai mempersiapkan semua jenis makanan dan minuman yang bergizi dan lezat. Perumah tangga itu secara pribadi mengatur sebuah tempat duduk yang ditinggikan [untuk Sang Buddha], dengan menghiasinya dengan tak terhitung hiasan.
“Yang Mulia Sāriputta, ketika melihat hal ini, aku berpikir: “Apakah perumah tangga itu sedang mempersiapkan suatu pernikahan? Apakah ini merupakan resepsi untuk seorang menantu perempuan baru? Atau apakah raja telah diundang? Atau beberapa orang menteri senior? Atau apakah ini untuk upacara besar persembahan makanan?”
“Yang Mulia Sāriputta, setelah berpikir dengan cara ini, aku bertanya kepada perumah tangga itu, “Apakah engkau sedang mempersiapkan suatu pernikahan? Apakah ini merupakan resepsi untuk seorang menantu perempuan baru? Atau apakah raja telah diundang? Atau beberapa orang menteri senior? Atau apakah ini untuk upacara besar persembahan makanan?”
“Perumah tangga itu menjawab: “Kami tidak sedang mempersiapkan suatu pernikahan. Ini bukan resepsi untuk seorang menantu perempuan baru. Bukan raja yang diundang, ataupun beberapa orang menteri senior. Tetapi ini benar untuk upacara besar persembahan makanan. Kami sedang mempersiapkan makanan untuk Sang Buddha dan komunitas para bhikkhu besok hari.”
“Yang Mulia Sāriputta, sampai saat itu aku belum pernah mendengar kata “Buddha.” Ketika aku mendengarnya, rambut tubuhku berdiri tegak. Maka aku bertanya: “Perumah tangga, engkau mengatakan tentang ‘Sang Buddha’. Siapakah ia sehingga disebut ‘Sang Buddha’?”
“Kemudian perumah tangga itu menjawab: “Tidakkah engkau pernah mendengar? Terdapat seorang putra dari suku Sakya yang telah meninggalkan ikatan keluarga Sakya-nya. Beliau mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan, demi keyakinan, meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi seorang yang tanpa-rumah, untuk berlatih sang jalan. Beliau mencapai pencerahan sempurna yang tertinggi; oleh sebab itu beliau disebut ‘Buddha’ [Yang Tercerahkan].”
“Aku bertanya kepadanya lebih lanjut: “Engkau juga menyebutkan ‘komunitas’ [Sangha]. Apakah komunitas ini?”
“Perumah tangga itu menjawab lagi: “Para anggota berbagai keluarga dan suku telah [juga] mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan, demi keyakinan, meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi seorang yang tanpa-rumah, untuk berlatih dalam jalan Sang Buddha. [Para bhikkhu] ini merupakan komunitas [Sangha] beliau. Adalah Sang Buddha dan komunitas [Sangha] beliau yang telah kami undang.
“Yang Mulia Sāriputta, aku bertanya lagi kepada perumah tangga itu: “Di manakah Sang Bhagavā sedang berdiam sekarang? Aku ingin pergi dan mengunjungi beliau.”
“Perumah tangga itu menjawab: “Sang Bhagavā sekarang sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai. Engkau dapat pergi ke sana jika engkau menginginkannya.”
“Yang Mulia Sāriputta, aku berpikir: “Hari akan segera subuh. Biarlah aku dengan cepat pergi dan menemui Sang Buddha.” Yang Mulia Sāriputta, keinginanku untuk pergi dan menemui Sang Buddha sedemikian mendesak, walaupun masih malam aku tiba-tiba memiliki persepsi kecemerlangan siang hari. Maka aku berangkat dari rumah perumah tangga itu dan pergi ke gerbang kota. Pada waktu itu, gerbang kota dijaga oleh dua orang penjaga. Salah seorang penjaga berdiri menjaga selama setengah malam hari pertama, dengan mengizinkan orang-orang masuk tanpa halangan. Yang lainnya menjaga selama setengah malam hari kedua, dengan mengizinkan orang-orang keluar tanpa halangan.”
“Yang Mulia Sāriputta, aku berpikir: “Malam belum berakhir. Mengapa? [Karena] gerbang kota [masih] dijaga oleh [salah satu dari] dua orang penjaga. Salah seorang penjaga berdiri menjaga selama setengah malam hari pertama, dengan mengizinkan orang-orang masuk tanpa halangan. Yang lainnya menjaga selama setengah malam hari kedua, dengan mengizinkan orang-orang keluar tanpa halangan.”
“Yang Mulia Sāriputta, tidak lama setelah aku telah melewati gerbang kota, [persepsi] kecemerlangan [siang hari] tiba-tiba lenyap dan semuanya menjadi gelap lagi. Yang Mulia Sāriputta, pada waktu itu aku menjadi takut dan rambut tubuhku berdiri tegak. [Aku berpikir]: “Semoga tidak ada manusia atau makhluk tidak tampak yang menggangguku!”
“Pada waktu itu, suatu makhluk dewa di gerbang kota memancarkan cahaya mengagumkan yang menjangkau dari Rājagaha sampai Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai. [Makhluk dewa itu] datang dan berkata kepadaku:
“Janganlah takut, perumah tangga! Janganlah takut, perumah tangga! Mengapa jangan [takut]? Pada kehidupan lampau aku adalah seorang temanmu, bernama Bejana Madu. Kita sangat menyayangi dan dekat satu sama lain pada masa muda kita.
“Perumah tangga, pada masa lampau aku telah mengunjungi Yang Mulia Mahā Moggallāna. Setelah memberikan penghormatan pada kakinya, aku duduk pada satu sisi. Yang Mulia Mahā Moggallāna memberikanku suatu ajaran. Beliau menasehati, mendorong, dan menggembirakanku, dan dengan tak terhitung cara terampil menjelaskan Dharma kepadaku. Setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakanku, beliau mengizinkanku mengambil tiga perlindungan dan lima aturan moralitas. Perumah tangga, karena telah mengambil tiga perlindungan dan lima aturan moralitas, dengan hancurnya tubuh saat kematian aku terlahir kembali di surga empat raja besar, dan sekarang berdiam di pintu kota ini. Pergilah secepatnya, perumah tangga! Pergilah secepatnya, perumah tangga! Adalah lebih baik untuk pergi daripada berdiam di sini.
“Untuk mendorongku maju, makhluk dewa itu mengucapkan syair-syair berikut:
Perolehan seratus ekor kuda, menteri, dan wanita,
Dan seratus kereta yang dipenuhi dengan permata
Tidak menyamai seperenambelas [nilai]
Dari satu langkah maju mengunjungi Sang Buddha.Bahkan seratus ekor gajah putih yang mengagumkan,
Dengan pelana emas dan perak,
Tidak menyamai seperenambelas [nilai]
Dari satu langkah maju mengunjungi Sang Buddha.Seratus orang wanita cantik,
Tubuh mereka dihiasi dengan permata dan bunga,
Tidak menyamai seperenambelas [nilai]
Dari satu langkah maju mengunjungi Sang Buddha.Harta karun wanita berharga yang tertinggi,
Yang dicintai oleh raja pemutar-roda,
Tidak menyamai seperenambelas [nilai]
Dari satu langkah maju mengunjungi Sang Buddha.
“Setelah mengucapkan syair-syair ini, makhluk dewa itu mendorongku lebih lanjut, dengan berkata: “Pergilah dengan cepat, perumah tangga! Pergilah dengan cepat, perumah tangga! Adalah lebih baik untuk pergi daripada berdiam di sini.”
“Yang Mulia Sāriputta, aku berpikir: “Sang Buddha adalah layak dihormati, Dharma dan komunitas para bhikkhu adalah layak dihormati. Mengapa? Bahkan suatu makhluk dewa berharap aku untuk pergi dan mengunjungi mereka.”
“Yang Mulia Sāriputta, dibantu oleh cahaya [makhluk dewa itu], aku tiba di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai. Pada waktu itu, malam sedang berlalu, menuju fajar, Sang Bhagavā telah bangkit dari gubuk meditasinya dan sedang berlatih meditasi jalan di udara terbuka, menunggu diriku. Yang Mulia Sāriputta, dari kejauhan aku melihat penampilan Sang Buddha yang mulia, dengan sempurna bercahaya bagaikan rembulan yang cemerlang di antara bintang-bintang, mempesona bagaikan sebuah gunung emas, yang diberkahi dengan ciri-ciri [Manusia Besar], menakjubkan dan mengagumkan. Indera-inderanya tenang dan tanpa halangan, dengan terampil dijinakkan dan terkendali, pikirannya tenang dan damai.
“Melihat Sang Buddha, aku sangat gembira dan mendekati beliau. Setelah memberikan penghormatan pada kakinya, aku mengikuti Sang Buddha dalam meditasi jalan. Sesuai dengan kebiasaan para perumah tangga, aku menyalami beliau dengan syair ini:
Apakah Sang Bhagavā tidur dengan damai,
setelah tertidur dengan cepat?
Beliau menjawab:
Bagaikan seorang “brahmana” [sejati], aku telah mencapai pembebasan,
Tidak ternoda oleh keinginan-keinginan,
Setelah memadamkan semua hasrat,
Aku mencapai kedamaian,
Dengan semua demam pikiran yang dilenyapkan,
[Oleh karenanya] aku telah tidur dengan baik dan berbahagia.
“Kemudian, Sang Bhagavā, setelah mencapai akhir dari jalur untuk berjalan, duduk bersila pada alas duduk yang disediakan. Yang Mulia Sāriputta, aku memberikan penghormatan [lagi] pada kaki beliau, dan duduk pada satu sisi. [Kemudian] Sang Bhagavā mengajarkanku Dharma, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakanku, dengan menggunakan tak terhitung cara terampil untuk menjelaskannya. Beliau menasehati, menginspirasi, dan menggembirakanku ketika beliau memberikan ajaran semua Buddha.
“Pertama, ia mengajarkan Dharma yang indah yang memuliakan mereka yang mendengarkannya, dengan mengatakan tentang kedermawanan, tentang moralitas, tentang cara untuk terlahir kembali di alam surga, tentang meninggalkan keinginan sebagai yang berbahaya, dan tentang lingkaran kelahiran kembali sebagai yang menjijikkan. Beliau memuji ketanpakeinginan sebagai faktor jalan mulia, dan sebagai kemurnian. Setelah menguraikan ajaran-ajaran ini kepadaku, Sang Bhagavā mengetahui bahwa pikiranku bergembira, bahwa ia telah menjadi senang, lunak, maju, terkonsentrasi, bebas dari keragu-raguan, bebas dari rintangan, memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menerima Dharma sejati—yaitu, prinsip-prinsip utama ajaran semua Buddha.
“Sang Bhagavā mengajarkanku tentang penderitaan, munculnya, lenyapnya, dan jalan [menuju lenyapnya]. Ketika aku duduk di sana, Yang Mulia Sāriputta, aku melihat empat kebenaran mulia: penderitaan, munculnya, lenyapnya, dan jalan. Seperti halnya sehelai kain putih dengan mudah menyerap bahan celup, demikian juga aku [menyerap ajaran itu]. Ketika aku duduk di sana, aku melihat empat kebenaran mulia: penderitaan, munculnya, lenyapnya, dan jalan.
“Yang Mulia Sāriputta, [dengan cara ini] aku melihat Dharma, mencapai Dharma, tercerahkan dalam Dharma sejati. Keragu-raguan telah dilenyapkan; kebingungan [sehubungan dengan Dharma] telah terlampaui. Aku tidak akan menghormati [guru] lain, tidak pernah mengikuti yang lain. Aku tanpa ketidakpastian, dengan berkembang dalam realisasi buah [pemasuk-arus]. Sehubungan dengan ajaran-ajaran Sang Bhagavā aku mencapai pembebasan dari kebimbangan.
“Kemudian aku bangkit dari tempat dudukku, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, [dan berkata]:
“Sang Bhagavā, oleh karenanya aku mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan komunitas para bhikkhu. Semoga Sang Bhagavā menerimaku sebagai seorang pengikut awam. Sejak hari ini aku mengambil perlindungan seumur hidupku, sampai aku meninggal.
“Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, aku menyatukan telapak tanganku dan berkata: “Sang Bhagavā, izinkan aku untuk mengundang anda dan perkumpulan para bhikkhu untuk menghabiskan pengasingan musim hujan di Sāvatthī.”
“Kemudian Sang Buddha bertanya kepadaku: “Siapakah namamu? Bagaimana orang-orang Sāvatthī memanggilmu?”
“Aku menjawab: “Namaku adalah Sudatta; tetapi karena aku secara teratur membantu dan memberi orang-orang yang membutuhkan dan anak yatim, orang-orang Sāvatthī memanggilku Anāthapiṇḍika [Pemberi Orang-Orang yang Membutuhkan dan Anak Yatim].”
“Kemudian, Sang Bhagavā bertanya kepadaku lebih lanjut: “Apakah terdapat tempat kediaman [untuk para bhikkhu] di Sāvatthī?”
“Aku menjawab: “Tidak ada [pada saat ini] tempat kediaman [untuk para bhikkhu] di Sāvatthī.”
“Kemudian Sang Bhagavā berkata: “Ketahuilah, perumah tangga, bahwa jika terdapat tempat kediaman [untuk mereka], para bhikkhu akan dapat berkunjung dan tinggal di [Sāvatthī].”
“Aku kemudian menanggapi: “Tentu saja, Sang Bhagavā. Aku akan membangun tempat kediaman, sehingga para bhikkhu dapat berkunjung dan tinggal di Sāvatthī. Semoga Sang Bhagavā menunjuk seseorang untuk membantuku!” Dan Sang Bhagavā menunjuk dan mengirimkan [anda], Yang Mulia Sāriputta, untuk membantuku.
“Kemudian, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha dan mengingatnya, aku bangkit dari tempat dudukku, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, dan, setelah mengelilingi beliau tiga kali, pergi. Setelah menyelesaikan apa yang harus kulakukan di Rājagaha. Aku berangkat ke Sāvatthī, bersama dengan Yang Mulia Sāriputta. Tanpa memasuki [kota] Sāvatthī atau kembali ke rumahku, kita melanjutkan langsung [untuk memeriksa] tanah-tanah di luar kota, [dengan mencari] suatu lokasi yang memiliki jalan masuk yang baik; yang tidak ramai pada siang hari dan damai pada malam hari; yang tanpa nyamuk, serangga pengganggu, lalat, dan kutu; dan yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas; [di mana] seseorang dapat membangun tempat kediaman untuk Sang Buddha dan komunitas [Sangha] beliau.
“Yang Mulia Sāriputta, pada waktu itu kita melihat Hutan Pangeran Jeta adalah satu-satunya [lokasi] yang memiliki jalan masuk yang baik; yang tidak ramai pada siang hari dan damai pada malam hari; yang tanpa nyamuk, serangga pengganggu, lalat, dan kutu; dan yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas. Setelah melihat hal ini, aku berpikir: “Ini satu-satunya tempat di mana kediaman untuk Sang Buddha dan komunitas [Sangha] beliau dapat dibangun.”
“Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, aku memasuki Sāvatthī. Masih tanpa kembali ke rumah, aku pertama-tama mendekati Pangeran Jeta, dengan berkata: “Pangeran, apakah engkau akan menjual kepadaku hutan ini?” Pangeran menjawab: “Ketahuilah hal ini, tetua! Aku tidak akan menjual hutan itu.” Kedua dan ketiga kalinya aku mengulangi permintaanku: “Pangeran, apakah engkau akan menjual kepadaku hutan ini?” Dan kedua dan ketiga kalinya pangeran menjawab: “Aku tidak akan menjual hutan itu, tidak bahkan jika engkau membayarku berjuta-juta [keping emas, yang cukup] untuk menutupi seluruh permukaan [hutan].”
“Aku menjawab: “Pangeran, engkau baru saja menetapkan harga! Aku akan pergi dan membawakan emasnya.” Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, pangeran dan aku berdebat apakah ia sudah menetapkan harga atau belum, dan akhirnya kami mendekati hakim kepala di Sāvatthī untuk menyelesaikan masalah itu. Hakim kepala di Sāvatthī berkata kepada Pangeran Jeta: “Pangeran, engkau telah menetapkan harga. Sekarang terimalah emasnya!”
“Kemudian, Yang Mulia Sāriputta, aku kembali ke rumahku di Sāvatthī untuk mengambil uang. Gajah-gajah, kuda-kuda, dan kereta-kereta digunakan untuk mengangkutnya. Kemudian berjuta-juta keping emas dikeluarkan [dan digunakan] untuk menutupi tanah [hutan itu]. Tetapi sebagian kecil tanah itu tidak tertutupi.
“Yang Mulia Sāriputta, aku berpikir: “Dari harta karunku manakah, yang tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, seharusnya kuambil, sehingga bagian yang tersisa dapat ditutupi?”
“Kemudian Pangeran Jeta berkata kepadaku: “Tetua, jika engkau menyesal, engkau dapat mengambil kembali pembayarannya dan aku akan tetap memiliki hutan itu.”
“Aku berkata kepada pangeran: “Aku tentu saja tidak menyesal. Aku hanya berpikir: Dari harta karunku manakah, yang tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, seharusnya kuambil sehingga bagian yang tersisa dapat ditutupi?”
“Kemudian Pangeran Jeta berpikir: “Sang Buddha pasti layak dihormati, dan Dharma dan komunitas para bhikkhu pasti juga layak dihormati. Mengapa? [Karena mereka] telah menggerakkan tetua ini untuk membuat persembahan sedemikian besar, untuk menghabiskan kekayaannya dengan cara demikian. Aku sekarang akan alih-alih membangun sebuah pagar dengan gerbang pada [bagian yang tersisa dari] tanah ini dan mempersembahkannya kepada Buddha dan komunitas [Sangha] beliau.”
“Kemudian Pangeran Jeta berkata kepadaku: “Cukup, tetua! Jangan membawakan emas lagi untuk menutup bagian tanah [yang tersisa] ini. Aku akan membangun sebuah pagar dengan gerbang di sini dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha dan komunitas [Sangha] beliau.”
“Yang Mulia Sāriputta, demi belas kasih aku memberikan bagian tanah ini kepada Pangeran Jeta. Yang Mulia Sāriputta, pada musim panas itu juga, aku membangun [dalam hutan itu] enam belas tempat kediaman yang luas dan enam puluh gudang penyimpanan. Yang Mulia Sāriputta membantuku selama waktu itu.
“[Sehubungan dengan saat ini,] ceramah Dharma yang Yang Mulia Sāriputta berikan kepada orang sakit ini adalah menakjubkan, sangat khusus. Setelah mendengar ceramah Dharma yang diberikan untuk orang sakit ini, aku sembuh dari sakit parah itu, dan berbahagia. Yang Mulia Sāriputta, aku sekarang telah sembuh dari penyakitku, dan menemukan kedamaian dan kenyamanan. Yang Mulia Sāriputta, terimalah makanan [dariku]!”
Yang Mulia Sāriputta menyetujui dengan tetap berdiam diri. Perumah tangga [Anāthapiṇḍika], setelah memahami bahwa Yang Mulia Sāriputta telah menyetujui dengan tetap berdiam diri, bangkit dari tempat duduknya, secara pribadi [membawakan] air untuk membersihkan [tangannya], dan mempersembahkan berbagai jenis hidangan yang baik, lezat, banyak, dan mudah dicerna. Setelah makan, ia membawakan lagi tempat air, dan kemudian duduk di tempat duduk kecil pada satu sisi untuk mendengarkan Dharma. Ketika Anāthapiṇḍika duduk, Yang Mulia Sāriputta menguraikan Dharma kepadanya, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, dengan menggunakan tak terhitung cara terampil untuk menjelaskan Dharma. Setelah menasehati, menginspirasi, dan menggembirakan [Anāthapiṇḍika], [Sāriputta] bangkit dari tempat duduk dan pergi.
Pada waktu itu, Sang Bhagavā sedang mengajar, dikelilingi oleh banyak sekali pengikut. Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekat dari kejauhan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu [dalam perkumpulan itu]:
“Bhikkhu Sāriputta diberkahi dengan kebijaksanaan yang cemerlang, kebijaksanaan yang cepat, kebijaksanaan yang lincah, kebijaksanaan yang tajam, kebijaksanaan yang luas, kebijaksanaan yang mendalam, kebijaksanaan yang membawa pembebasan, kebijaksanaan yang menembus, kebijaksanaan yang mengesankan. Bhikkhu Sāriputta telah mencapai kebijaksanaan sejati. Mengapa [aku mengatakan hal ini]? Sehubungan dengan empat faktor pemasuk-arus yang diajarkan secara singkat olehku, bhikkhu Sāriputta telah menguraikannya dengan sepuluh penjelasan yang berbeda untuk perumah tangga Anāthapiṇḍika.”
Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.