Madhyamāgama

71. Kotbah kepada Pāyāsi

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Yang Mulia Kumāra Kassapa sedang berdiam di negeri Kosala. Bersama-sama dengan sekumpulan besar para bhikkhu, ia mendekati Setavyā, dan tinggal di sebelah utara desa di sebuah hutan kayu keras (simsapa).

Pada waktu itu di Setavyā terdapat seorang raja bernama Pāyāsi, yang sangat kaya, memiliki kekayaan yang tidak terbatas dan ternak dan harta kekayaan yang tidak terhitung, diberkahi dengan berbagai tanah dan manor. Manor, sumber mata air, kolam, rerumputan, dan pepohonan di Setavyā semuanya milik raja itu, yang telah diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi Kosala.

Kemudian para brahmana dan perumah tangga di Setavyā mendengar hal ini:

“Seorang pertapa bernama Kumāra Kassapa sedang berdiam di negeri Kosala bersama-sama dengan sekumpulan besar para bhikkhu; ia telah tiba di Setavyā dan sedang berdiam di sebelah utara desa di Hutan Kayu Keras (Simsapa). Pertapa Kumāra Kassapa memiliki nama baik yang besar, terkemuka di seluruh kesepuluh arah.

Demikianlah mereka berpikir:

“Kumāra Kassapa memiliki kepandaian berbicara yang tidak terhalangi dan apa yang ia katakan adalah mendalam. Ia adalah seorang Arahant terpelajar. Mereka yang mengunjungi Arahant ini, memberikan penghormatan kepadanya, dan melayaninya dengan hormat dengan cepat memperoleh manfaat yang baik. Marilah kita pergi dan menemui pertapa Kumāra Kassapa!”

[Maka] orang-orang Setavyā, dengan berjalan dalam kelompok, para brahmana dengan para brahmana, para perumah tangga dengan para perumah tangga, pergi bersama-sama keluar Setavyā menuju utara, menuju Hutan Kayu Keras (Simsapa).

Pada waktu itu Raja Pāyāsi, yang sedang berada di aula utama, melihat dari kejauhan orang-orang Setavyā, dengan berjalan dalam kelompok, para brahmana dengan para brahmana, para perumah tangga dengan para perumah tangga, pergi bersama-sama keluar Setavyā menuju utara, menuju Hutan Kayu Keras (Simsapa). Melihat hal ini, Raja Pāyāsi berkata kepada seorang pelayan:

“Mengapa orang-orang Setavyā, dengan berjalan dalam kelompok, para brahmana dengan para brahmana, para perumah tangga dengan para perumah tangga, pergi bersama-sama keluar Setavyā menuju utara, menuju Hutan Kayu Keras (Simsapa)?”

Pelayan itu menjawab:

“Yang mulia, para brahmana dan perumah tangga di Setavyā telah mendengar hal ini:

“Seorang pertapa bernama Kumāra Kassapa sedang berdiam di negeri Kosala bersama-sama dengan sekumpulan besar para bhikkhu; ia telah tiba di Setavyā dan sedang berdiam di sebelah utara desa di Hutan Kayu Keras (Simsapa).

“Yang mulia, pertapa Kumāra Kassapa memiliki nama baik yang besar, terkemuka secara luas di seluruh kesepuluh arah. [Demikianlah mereka berpikir]:

“Kumāra Kassapa memiliki kepandaian berbicara yang tidak terhalangi dan apa yang ia katakan adalah mendalam. Ia adalah seorang Arahant terpelajar. Mereka yang mengunjungi Arahant ini, memberikan penghormatan kepadanya, dan melayaninya dengan hormat dengan cepat memperoleh manfaat yang baik. Marilah kita pergi dan menemui pertapa Kumāra Kassapa!

“Karena alasan ini, yang mulia, orang-orang Setavyā, dengan berjalan dalam kelompok, para brahmana dengan para brahmana, para perumah tangga dengan para perumah tangga, pergi bersama-sama keluar Setavyā menuju utara, menuju Hutan Kayu Keras (Simsapa).”

Mendengar hal ini, Raja Pāyāsi berkata kepada pelayan itu:

“Pergilah kepada para brahmana dan perumah tangga Setavyā dan katakan kepada mereka: Raja Pāyāsi berkata kepada para brahmana dan perumah tangga Setavyā:

“Mohon tunggu, teman-teman. Biarlah aku pergi dengan kalian untuk menemui pertapa Kumāra Kassapa. Kalian adalah bodoh. Janganlah ditipu olehnya [dalam mempercayai bahwa] terdapat kehidupan mendatang, [bahwa] makhluk-makhluk terlahir kembali. Aku memegang pandangan ini, prinsip ini: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

Mengikuti perintah raja, pelayan itu mendekati para brahmana dan perumah tangga Setavyā dan berkata kepada mereka:

“Raja Pāyāsi berkata kepada para brahmana dan perumah tangga Setavyā:

“Mohon tunggu, teman-teman. Biarlah aku pergi dengan kalian untuk menemui pertapa Kumāra Kassapa. Kalian adalah bodoh. Janganlah ditipu olehnya [dalam mempercayai bahwa] terdapat kehidupan mendatang, [bahwa] makhluk-makhluk terlahir kembali. Aku memegang pandangan ini, prinsip ini: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

Setelah mendengar pesan ini, para brahmana dan perumah tangga Setavyā menjawab pelayan itu: “Kami akan menunggu seperti yang diperintahkan.”

Pelayan itu kembali dan melaporkan: “Saya telah menyampaikan perintah anda. Para brahmana dan perumah tangga Setavyā menunggu yang mulia. Semoga yang mulia mengetahui waktu yang tepat.”

Kemudian Raja Pāyāsi memerintahkan seorang kusir: “Persiapkanlah sebuah kereta secepatnya. Aku ingin pergi sekarang.”

Mengikuti perintah raja, kusir itu secepatnya mempersiapkan sebuah kereta dan kembali untuk berkata kepada raja: “Kereta telah siap. Ia siap digunakan yang mulia.”

Kemudian Raja Pāyāsi naik kereta dan berangkat. Mendekati para brahmana dan perumah tangga Setavyā, ia pergi dengan mereka ke Hutan Kayu Keras (Simsapa). Kemudian, ketika melihat dari kejauhan Yang Mulia Kumāra Kassapa di antara pepohonan di hutan itu, Raja Pāyāsi turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki menuju Yang Mulia Kumāra Kassapa.

Setelah bertukar salam dengan Yang Mulia Kumāra Kassapa, ia duduk pada satu sisi dan bertanya: “Kassapa, aku sekarang ingin bertanya suatu pertanyaan. Apakah anda akan mendengarkan?”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata, “Pāyāsi, tanyakanlah apa yang ingin engkau tanyakan. Setelah mendengarnya, aku akan mempertimbangkannya.”

Maka Raja Pāyāsi bertanya:

“Kassapa, aku memegang pandangan ini, prinsip ini: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.” Pertapa Kumāra Kassapa, apakah yang engkau pikirkan [tentang hal ini]?”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, aku akan bertanya kepada engkau, raja. Mohon jawablah seperti yang engkau lihat sesuai. Apakah yang engkau pikirkan, raja? Matahari dan bulan sekarang, apakah mereka [hanya] dalam kehidupan ini atau [juga dalam] kehidupan mendatang?”

Pāyāsi menjawab, “Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, prinsip ini: ‘Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali’.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata, “Pāyāsi, apakah engkau memiliki bantahan lain selain ini?”

Pāyāsi menjawab:

“Ya, Kassapa, aku memiliki bantahan lain. Kassapa, [suatu ketika] beberapa sanak keluargaku sakit parah, sehingga aku pergi ke tempat mereka. Setelah tiba di sana, aku berkata:

“Engkau seharusnya mengetahui bahwa aku memegang pandangan ini, prinsip ini: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.” [Tetapi], sanak keluarga, beberapa pertapa dan brahmana memegang pandangan ini, prinsip ini: “Terdapat kehidupan mendatang; makhluk-makhluk terlahir kembali.” Aku selalu tidak mempercayai apa yang mereka katakan.

“Mereka berkata lebih lanjut: “Jika laki-laki atau perempuan melakukan perbuatan jahat, jika mereka lamban, malas, lalai, iri hati, tamak, serakah, kikir, tidak baik, dan sangat melekat pada harta kekayaan, maka disebabkan pada sebab dan kondisi ini, saat hancurnya tubuhnya, setelah kematian, mereka pasti akan pergi ke alam kehidupan yang buruk dan terlahir kembali di neraka.”

“[Biarlah kita] menganggap bahwa apa yang dikatakan para pertapa dan brahmana itu adalah benar. Engkau, sanak keluargaku, telah melakukan perbuatan jahat, engkau telah lamban, malas, lalai, iri hati, tamak, serakah, kikir, tidak baik, dan sangat melekat pada harta kekayaan.

“Jika, saat hancurnya tubuh, setelah kematian, engkau [benar-benar] harus pergi ke alam kehidupan yang buruk dan terlahir kembali di neraka, maka kembalilah dan katakan kepadaku: “Pāyāsi, di neraka siksaannya adalah demikian dan demikian.” Jika itu terjadi, maka aku akan melihatnya pada masa sekarang.

“Mereka mendengar apa yang kukatakan, mereka menerima perintahku, tetapi tidak ada dari mereka yang kembali untuk berkata kepadaku: “Pāyāsi, di neraka siksaannya adalah demikian dan demikian.” Karena alasan ini, Kassapa, aku berpikir: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, aku akan bertanya kepadamu lagi. Silahkan jawab seperti yang engkau lihat sesuai. Seandainya orang-orang raja menangkap seorang penjahat dan membawanya ke hadapan raja, dengan berkata, “Yang mulia, orang ini telah melakukan suatu kejahatan. Raja seharusnya menghukumnya.” Raja berkata kepada mereka:

“Bawalah ia. Ikatlah tangannya di belakangnya dan atur ia pada seekor keledai. Pukullah genderang rusak yang mengeluarkan suara seperti ringkikan keledai. Setelah mengumumkan hukuman secara luas, bawalah ia keluar melalui pintu gerbang selatan, dudukkan ia di bawah sebatang papan penunjuk jalan, dan penggal ia.

“Mengikuti perintah raja, orang-orang raja mengikat tangan penjahat itu di belakangnya dan mengaturnya di atas seekor keledai. Mereka memukul genderang rusak yang mengeluarkan suara seperti ringkikan keledai. Setelah mengumumkan hukuman secara luas, mereka membawanya keluar melalui pintu gerbang selatan, mendudukkannya di bawah sebatang papan penunjuk jalan, dan akan memenggalnya. Orang ini, menjelang kematian, berkata kepada sang algojo, “Mohon tunggu sebentar. Aku ingin melihat orang tuaku, istri dan anak-anak, para pelayan laki-laki dan perempuanku dan para pesuruh. Biarkanlah aku pergi sementara.”

“Apakah yang engkau pikirkan, raja? Apakah sang algojo akan membebaskan penjahat itu dan membiarkannya pergi sementara?”

Pāyāsi menjawab, “Tidak, Kassapa.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, demikian juga halnya dengan sanak saudaramu yang telah melakukan perbuatan jahat, yang telah lamban, malas, lalai, iri hati, tamak, serakah, kikir, tidak baik, dan sangat melekat pada harta kekayaan, dan yang, disebabkan sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, pasti pergi ke alam kehidupan yang buruk dan terlahir kembali di neraka.

“Ketika para petugas neraka menangkap mereka dan menyiksa mereka, [seandainya bahwa] mereka berkata kepada para petugas neraka:

“Para petugas neraka, mohon tunggu sebentar dan berhenti menyiksaku. Aku ingin pergi sementara dan mengunjungi Raja Pāyāsi untuk berkata kepadanya: “Di neraka siksaannya adalah demikian dan demikian,” sehingga ia dapat melihatnya pada masa sekarang.

“Apakah yang engkau pikirkan, raja? Apakah para petugas neraka akan membebaskan sanak saudaramu dan membiarkan mereka [kembali] sementara?”

Pāyāsi menjawab, “Tidak, Kassapa.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, engkau seharusnya merenungkan kehidupan mendatang dengan cara ini, karena engkau tidak dapat melihatnya dengan mata fisikmu.

“Pāyāsi, jika seorang pertapa atau brahmana memotong dan meninggalkan keinginan, condong pada meninggalkan keinginan; jika ia memotong dan meninggalkan kebencian, condong pada meninggalkan kebencian; jika ia memotong dan meninggalkan delusi, condong pada meninggalkan delusi—maka dengan mata dewa yang dimurnikan, yang melampaui [penglihatan] manusia, ia melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, unggul atau tidak unggul, ketika mereka pergi dan kembali ke alam kehidupan yang baik atau buruk sesuai dengan perbuatan [masa lampau] mereka. Ia melihatnya sebagaimana adanya.”

Raja Pāyāsi berkata lagi, “Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, prinsip ini: ‘Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali’.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata: “Pāyāsi, apakah engkau memiliki bantahan lain selain ini?”

Pāyāsi menjawab:

“Ya, Kassapa. Aku memiliki bantahan lain. Kassapa, [suatu ketika] beberapa sanak keluargaku sakit parah, sehingga aku pergi ke tempat mereka. Setelah tiba di sana, aku berkata:

“Engkau seharusnya mengetahui bahwa aku memegang pandangan ini, prinsip ini: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.” [Tetapi,] sanak keluarga, beberapa pertapa dan brahmana memegang pandangan ini, prinsip ini: “Terdapat kehidupan mendatang; makhluk-makhluk terlahir kembali.” Aku selalu tidak mempercayai apa yang mereka katakan.

“Mereka berkata lebih lanjut, “Jika laki-laki atau perempuan melakukan perbuatan baik, jika mereka bersemangat, tekun, tidak lalai, tidak iri hati, tidak tamak, tidak serakah, bermurah hati, baik; jika mereka dengan bermurah hati melepaskan [kekayaan mereka] dan memberikannya kepada anak yatim piatu dan orang miskin, selalu menikmati menjalankan kedermawanan, dan tidak melekat pada harta kekayaan—maka disebabkan oleh sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti akan naik ke alam kehidupan yang baik, dan terlahir kembali di alam surga.”

“Biarlah kita menganggap bahwa apa yang dikatakan para pertapa dan brahmana itu adalah benar. Engkau, sanak keluargaku, telah melakukan perbuatan baik, engkau bersemangat, tekun, tidak lalai, tidak iri hati, tidak tamak atau serakah, bermurah hati; engkau telah dengan bermurah hati melepaskan [kekayaanmu] dan memberikannya kepada anak yatim piatu dan orang miskin, engkau selalu menikmati menjalankan kedermawanan, dan engkau tidak melekat pada harta kekayaan. Jika, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, engkau [benar-benar] naik ke alam kehidupan yang baik dan terlahir kembali di surga, maka kembalilah dan katakan kepadaku, “Pāyāsi, di surga kesenangan-kesenangannya adalah demikian dan demikian.” Jika itu terjadi, aku akan melihatnya pada masa sekarang.

“Mereka mendengar apa yang kukatakan, mereka menerima perintahku, tetapi tidak ada dari mereka pernah datang untuk berkata kepadaku, “Pāyāsi, di surga kesenangan-kesenangannya adalah demikian dan demikian.” Karena alasan ini, Kassapa, aku berpikir: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu suatu perumpamaan. Orang bijaksana, ketika mendengar suatu perumpamaan, memahami maksudnya. Seumpamanya, Pāyāsi, bahwa di luar sebuah desa atau kota terdapat sebuah lubang kotoran yang penuh dengan kotoran, sangat dalam sehingga seorang manusia dapat menyelam ke dalamnya sampai kepalanya. Seseorang telah jauh ke dalam lubang kotoran ini dan tenggelam ke dasarnya. Seumpamanya bahwa orang lain, yang mengasihaninya, mencari kemakmuran, manfaat, kedamaian, dan kebahagiaannya, menariknya dengan perlahan dari lubang kotoran itu, membersihkannya dengan sebatang bambu, menyikatnya dengan dedaunan, dan memandikannya dengan air hangat.

“Kemudian, setelah [orang pertama] dibersihkan dan dimandikan, wewangian dipakaikan pada tubuhnya. Ia naik ke aula utama, dan dihibur dengan kesenangan lima indera. Apakah yang engkau pikirkan, raja? Apakah orang itu menikmati mengingat kembali lubang kotoran itu, bergembira dalam memujinya, dan ingin mengunjunginya kembali?”

Pāyāsi menjawab:

“Tidak, Kassapa. Jika orang lain akan mengingatkan kembali lubang kotoran itu [kepadanya], bergembira dalam memujinya, dan ingin [ia] untuk mengunjunginya kembali, maka ia tidak menyayangi orang ini. Apalagi ia sendiri akan mengingat kembali lubang kotoran itu, bergembira dalam memujinya, dan ingin mengunjunginya kembali! Ini tidak mungkin.

Yang Mulia Kumāra Kassapa melanjutkan:

“Pāyāsi, jika sanak keluargamu melakukan perbuatan baik, jika mereka bersemangat, tekun, tidak lalai, tidak iri hati, tidak tamak atau serakah, bermurah hati, baik; jika mereka dengan bermurah hati melepaskan [kekayaan mereka] dan memberikannya kepada anak yatim piatu dan orang miskin, selalu menikmati menjalankan kedermawanan, dan tidak melekat pada harta kekayaan—maka disebabkan oleh sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti naik ke alam kehidupan yang baik, terlahir kembali di surga.

“Setelah terlahir kembali di surga, mereka akan menghibur diri mereka sendiri dengan kesenangan lima indera surgawi. Apakah yang engkau pikirkan, raja? Apakah para dewa itu di surga akan melepaskan kesenangan lima indera surgawi dan, dengan mengingat kembali kesenangan lima indera di alam manusia ini, bergembira dalam memujinya, dan ingin mengunjunginya kembali?”

Pāyāsi menjawab:

“Tidak, Kassapa. Mengapa demikian? Kesenangan lima indera di alam manusia ini adalah busuk, tidak bersih, sepenuhnya menjijikkan, tidak menarik, tidak diinginkan, kasar, dan tidak murni. Kassapa, dibandingkan dengan kesenangan lima indera di alam manusia ini, kesenangan lima indera surgawi adalah paling tinggi, tertinggi, terbaik, paling mengagumkan dan menakjubkan. Tidak dapat bahwa seorang dewa di surga akan melepaskan kesenangan lima indera surgawi, mengingat kembali kesenangan lima indera di alam manusia ini, bergembira dalam memujinya, dan ingin melihatnya lagi.

Yang Mulia Kumāra Kassapa melanjutkan:

“Pāyāsi, engkau seharusnya merenungkan kehidupan mendatang dengan cara ini, karena engkau tidak dapat melihatnya dengan mata fisikmu. Pāyāsi, jika seorang pertapa atau brahmana memotong dan meninggalkan keinginan, condong pada meninggalkan keinginan; jika ia memotong dan meninggalkan kebencian, condong pada meninggalkan kebencian; jika ia memotong dan meninggalkan delusi, condong pada meninggalkan delusi—maka dengan mata dewa yang dimurnikan, yang melampaui [penglihatan] manusia, ia melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, unggul atau tidak unggul, ketika mereka pergi dan kembali ke alam kehidupan yang baik atau buruk sesuai dengan perbuatan [masa lampau] mereka. Ia melihatnya sebagaimana adanya.”

Raja Pāyāsi berkata lagi, “Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, prinsip ini: ‘Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali’.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata: “Pāyāsi, apakah engkau memiliki bantahan lain selain ini?”

Pāyāsi menjawab:

“Ya, Kassapa. Aku memiliki bantahan lain. Kassapa, [suatu ketika] beberapa sanak keluargaku sakit parah, sehingga aku pergi ke tempat mereka. Setelah tiba di sana, aku berkata:

“Engkau seharusnya mengetahui bahwa aku memegang pandangan ini, prinsip ini: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.” [Tetapi,] sanak keluarga, beberapa pertapa dan brahmana memegang pandangan ini, prinsip ini: “Terdapat kehidupan mendatang; makhluk-makhluk terlahir kembali.” Aku selalu tidak mempercayai apa yang mereka katakan.

“Mereka berkata lebih lanjut, “Jika laki-laki atau perempuan melakukan perbuatan baik, jika mereka bersemangat, tekun, tidak lalai, tidak iri hati, tidak tamak, tidak serakah, bermurah hati, baik; jika mereka dengan bermurah hati melepaskan [kekayaan mereka] dan memberikannya kepada anak yatim piatu dan orang miskin, selalu menikmati menjalankan kedermawanan, dan tidak melekat pada harta kekayaan—maka disebabkan oleh sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti akan naik ke alam kehidupan yang baik, dan terlahir kembali di alam surga.”

“Biarlah kita menganggap bahwa apa yang dikatakan para pertapa dan brahmana itu adalah benar. Engkau, sanak keluargaku, telah melakukan perbuatan baik, engkau bersemangat, tekun, tidak lalai, tidak iri hati, tidak tamak atau serakah, bermurah hati; engkau telah dengan bermurah hati melepaskan [kekayaanmu] dan memberikannya kepada anak yatim piatu dan orang miskin, engkau selalu menikmati menjalankan kedermawanan, dan engkau tidak melekat pada harta kekayaan. Jika, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, engkau [benar-benar] naik ke alam kehidupan yang baik dan terlahir kembali di surga, maka kembalilah dan katakan kepadaku, “Pāyāsi, di surga kesenangan-kesenangannya adalah demikian dan demikian.” Di surga engkau mungkin berpikir demikian: “Apakah yang kuperoleh dengan kembali?” [Namun,] dalam rumah tangga Raja Pāyāsi terdapat banyak kekayaan. Aku akan memberikan [beberapa] kepadamu.

“Mereka mendengar apa yang kukatakan, mereka menerima perintahku, tetapi tidak ada dari mereka yang pernah kembali untuk berkata kepadaku, “Pāyāsi, di surga kesenangan-kesenangannya adalah demikian dan demikian.”

“Karena alasan ini, Kassapa, aku berpikir: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, masa kehidupan di surga adalah panjang, sedangkan masa kehidupan di alam manusia adalah pendek. Apa yang merupakan seratus tahun untuk para manusia adalah satu hari satu malam bagi para dewa tiga-puluh-tiga. Tiga puluh hari tiga puluh malam demikian menjadi satu bulan, dua bulan demikian menjadi satu tahun, dan seribu tahun demikian adalah masa kehidupan bagi para dewa tiga-puluh-tiga. Apakah yang engkau pikirkan, raja?

“Jika sanak keluargamu melakukan perbuatan baik, jika mereka bersemangat, tekun, tidak lalai, tidak iri hati, tidak tamak, tidak serakah, bermurah hati, baik; jika mereka dengan bermurah hati melepaskan [kekayaan mereka] dan memberikannya kepada anak yatim piatu dan orang miskin, selalu menikmati menjalankan kedermawanan, dan tidak melekat pada harta kekayaan—maka disebabkan oleh sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti naik ke alam kehidupan yang baik, terlahir kembali di surga.

“Setelah terlahir kembali di surga, mereka mungkin berpikir:

“Kita seharusnya pertama-tama menghibur diri kita sendiri dengan kesenangan lima indera surgawi selama satu hari satu malam, atau menghibur diri kita sendiri dengan kesenangan lima indera surgawi selama dua, tiga, empat, bahkan enam atau tujuh hari. Setelah itu kita akan pergi untuk mengatakan kepada Raja Pāyāsi bahwa kesenangan di surga adalah demikian dan demikian.

“Apakah yang engkau pikirkan, raja? Apakah engkau masih akan tetap hidup [ketika mereka kembali]?”

Pāyāsi bertanya:

“Kassapa, siapakah yang kembali dari kehidupan setelah kematiannya untuk berkata kepadamu: “Pertapa Kumāra Kassapa, masa kehidupan di surga adalah panjang, sedangkan masa kehidupan di alam manusia adalah pendek. Apa yang merupakan seratus tahun untuk para manusia adalah satu hari satu malam bagi para dewa tiga-puluh-tiga. Tiga puluh hari tiga puluh malam demikian menjadi satu bulan, dua bulan demikian menjadi satu tahun, dan seribu tahun demikian adalah masa kehidupan bagi para dewa tiga-puluh-tiga”?”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu suatu perumpamaan. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, bahwa seorang buta berkata seperti ini:

“Tidak ada objek hitam atau putih, ataupun tidak ada penglihatan objek hitam atau putih. Tidak ada objek panjang atau pendek, ataupun tidak ada penglihatan objek panjang atau pendek. Tidak ada objek dekat atau jauh, ataupun tidak ada penglihatan objek dekat atau jauh. Tidak ada objek kasar atau halus, ataupun tidak ada penglihatan objek kasar atau halus. Mengapa? Tidak ada objek-objek karena dari awal aku tidak pernah melihat atau mengetahuinya.

“[Jika] orang buta berkata seperti ini, apakah itu benar?”

Pāyāsi menjawab:

“Tidak, Kassapa. Mengapa demikian? Kassapa, terdapat objek hitam dan putih, dan juga terdapat penglihatan objek hitam dan putih. Terdapat objek panjang dan pendek, dan juga terdapat penglihatan objek hitam dan putih. Terdapat objek dekat dan jauh, dan juga terdapat penglihatan objek dekat dan jauh. Terdapat objek kasar dan halus, dan juga terdapat penglihatan objek kasar dan halus. Jika orang buta berkata “Tidak ada objek-objek karena dari awalnya aku tidak pernah melihat atau mengetahui mereka,” maka apa yang ia katakan adalah tidak benar.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Raja Pāyāsi, engkau juga seperti seorang buta jika engkau berkata:

“Kassapa, siapakah yang kembali dari kehidupan setelah kematiannya untuk berkata kepadamu: “Pertapa Kumāra Kassapa, masa kehidupan di surga adalah panjang, sedangkan masa kehidupan di alam manusia adalah pendek. Apa yang merupakan seratus tahun untuk para manusia adalah satu hari satu malam bagi para dewa tiga-puluh-tiga. Tiga puluh hari tiga puluh malam demikian menjadi satu bulan, dua bulan demikian menjadi satu tahun, dan seribu tahun demikian adalah masa kehidupan bagi para dewa tiga-puluh-tiga”?”

Raja Pāyāsi berkata:

“Pertapa Kumāra Kassapa, engkau tentunya tidak boleh dan tidak seharusnya berkata demikian. Mengapa demikian?

“Pertapa Kumāra Kassapa, engkau pergi sejauh membandingkanku dengan seorang buta. Kassapa, dengan menganggap diketahui olehku atau diketahui oleh sanak keluargaku yang melakukan perbuatan baik, yang bersemangat, tekun, tidak lalai, tidak iri hati, tidak tamak, tidak serakah, bermurah hati; yang dengan bermurah hati melepaskan [kekayaan mereka] dan memberikannya kepada anak yatim piatu dan orang miskin, selalu menikmati menjalankan kedermawanan, dan tidak melekat pada harta kekayaan, yang disebabkan oleh sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti akan naik ke alam kehidupan yang baik, dan terlahir kembali di surga—maka, Kassapa, aku akan sekarang menjalankan kedermawanan, melakukan perbuatan berjasa, menjalankan uposatha dan moralitas, dan kemudian melakukan bunuh diri dengan menggunakan pisau, atau meminum racun, atau melemparkan [diriku sendiri] ke dalam sebuah lubang atau sumur, atau menggantung diriku. Pertapa Kumāra Kassapa, engkau tidak seharusnya pergi sejauh membandingkanku dengan orang buta itu.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu suatu perumpamaan. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, bahwa seorang brahmana memiliki seorang istri muda yang baru saja hamil, dan bahwa ia telah memiliki seorang putra dari istri terdahulunya; dan kemudian di tengah-tengah hal ini brahmana itu tiba-tiba meninggal.

“Setelah kematiannya, putra istri terdahulunya berkata kepada ibu tirinya, “Ibu tiri, engkau seharusnya mengetahui bahwa semua harta kekayaan rumah tangga ini seharusnya sekarang milikku. Aku tidak melihat siapa pun lagi yang akan berbagi di dalamnya.” Ibu tirinya menjawab, “Aku sedang hamil sekarang. Jika aku melahirkan anak laki-laki, engkau seharusnya berbagi dengannya. Jika aku melahirkan anak perempuan, semua harta kekayaan milikmu.”

“Putra istri terdahulu berkata kepada ibu tirinya kedua dan ketiga kalinya, “Semua harta kekayaan rumah tangga ini seharusnya sekarang milikku. Aku tidak melihat siapa pun lagi yang akan berbagi di dalamnya.” Dan ibu tiri itu juga menjawab kedua dan ketiga kalinya, “Aku sedang hamil sekarang. Jika aku melahirkan anak laki-laki, engkau seharusnya berbagi dengannya. Jika aku melahirkan anak perempuan, semua harta kekayaan milikmu.”

“Kemudian ibu tiri itu, karena bodoh, tidak mengetahui, tidak memahami, tidak memiliki kebijaksanaan, [melalui] keinginan untuk melindungi kehidupannya, sebaliknya menyakiti dirinya sendiri. Ia memasuki sebuah ruangan bagian dalam, mengambil pisau tajam dan membelah perutnya, untuk melihat apakah bayinya seorang laki-laki atau perempuan. Karena bodoh, tidak mengetahui, tidak memahami, tidak memiliki kebijaksanaan, [melalui] keinginan untuk melindungi kehidupannya, ia sebaliknya menyakiti dirinya sendiri dan anak dalam perutnya.

“Harus diketahui bahwa Pāyāsi adalah juga demikian bodoh, tidak mengetahui, tidak memahami, tidak memiliki kebijaksanaan, karena [melalui] keinginan untuk melindungi kehidupannya, ia sebaliknya berpikir seperti ini:

“Kassapa, jika diketahui olehku atau diketahui oleh sanak keluargaku yang melakukan perbuatan baik, yang bersemangat, , tekun, tidak lalai, tidak iri hati, tidak tamak, tidak serakah, bermurah hati; yang dengan bermurah hati melepaskan [kekayaan mereka] dan memberikannya kepada anak yatim piatu dan orang miskin, selalu menikmati menjalankan kedermawanan, dan tidak melekat pada harta kekayaan, yang disebabkan oleh sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti akan naik ke alam kehidupan yang baik, dan terlahir kembali di surga—maka, Kassapa, aku akan sekarang menjalankan kedermawanan, melakukan perbuatan berjasa, menjalankan uposatha dan moralitas, dan kemudian melakukan bunuh diri dengan menggunakan pisau, atau meminum racun, atau melemparkan [diriku sendiri] ke dalam sebuah lubang atau sumur, atau menggantung diriku.

“[Dan Pāyāsi juga berkata:] “Pertapa Kumāra Kassapa, engkau tidak seharusnya pergi sejauh membandingkanku dengan orang buta itu.”

“Pāyāsi, jika seseorang yang bersemangat hidup lama, ia akan memperoleh jasa besar. Jika ia memperoleh jasa besar, ia akan terlahir kembali di surga dan menikmati usia panjang. Pāyāsi, engkau seharusnya merenungkan kehidupan mendatang demikian, [karena engkau] tidak bisa melihatnya dengan mata fisikmu.

“Pāyāsi, jika seorang pertapa atau brahmana memotong dan meninggalkan keinginan, condong pada meninggalkan keinginan; jika ia memotong dan meninggalkan kebencian, condong pada meninggalkan kebencian; jika ia memotong dan meninggalkan delusi, condong pada meninggalkan delusi—maka dengan mata dewa yang dimurnikan, yang melampaui [penglihatan] manusia, ia melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, unggul atau tidak unggul, ketika mereka pergi dan kembali ke alam kehidupan yang baik atau buruk sesuai dengan perbuatan [masa lampau] mereka. Ia melihatnya sebagaimana adanya.”

Raja Pāyāsi lagi berkata, “Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, prinsip ini: ‘Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali’.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata, “Pāyāsi, apakah engkau memiliki bantahan lain selain ini?”

Pāyāsi menjawab:

“Ya, Kassapa. Aku memiliki bantahan lain. Kassapa, [suatu ketika] beberapa sanak keluargaku sakit parah. Aku pergi ke tempat mereka untuk mengunjungi dan menyalami mereka, dan mereka juga mengunjungi dan menyalamiku. Ketika mereka meninggal, aku mengunjungi dan menyalami mereka lagi, tetapi mereka tidak mengunjungi dan menyalamiku lagi; sehingga aku tidak mengunjungi dan menyalami mereka. Kassapa, karena alasan ini aku berpikir, “Makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu perumpamaan lainnya. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, terdapat seorang peniup kulit kerang yang ahli. Ia pergi ke suatu tempat di mana tidak ada orang yang pernah mendengar suara kulit kerang. Ia naik ke sebuah bukit yang tinggi pada malam hari yang gelap, dan dengan semua kekuatannya ia meniup kulit kerang. Karena orang-orang tidak pernah mendengar suara kulit kerang, ketika mendengarnya, mereka berpikir, “Apakah suara yang sangat menakjubkan, sangat luar biasa, sangat menyenangkan, menyenangkan bagi telinga, dan menggembirakan hati ini?”

“Kemudian keramaian orang bersama-sama mendekati peniup kulit kerang yang ahli itu. Setelah tiba, mereka bertanya: “Apakah suara yang sangat menakjubkan, sangat luar biasa, sangat menyenangkan, menyenangkan bagi telinga, dan menggembirakan hati ini?”

“Peniup kulit kerang yang ahli itu menaruh kulit kerang di atas tanah dan berkata kepada keramaian orang: “Tuan-tuan, kalian seharusnya mengetahui bahwa itu adalah suara kuit kerang ini.”

“Setelah itu, orang-orang menendang kulit kerang itu, dengan berkata, “Keluarkanlah suara, kulit kerang! Keluarkanlah suara, kulit kerang!” Tetapi ia diam, tidak menghasilkan suara.

“Peniup kulit kerang yang ahli itu berpikir:

“Sekarang, orang-orang ini adalah bodoh, tidak mengetahui, tidak memahami, tidak memiliki kebijaksanaan. Mengapa demikian? Mereka mencari untuk memperoleh suara dari suatu benda mati.

“Kemudian peniup kulit kerang yang ahli itu mengambil kulit kerang itu, mencucinya dengan air, mengangkatnya ke mulutnya, dan meniupnya dengan semua kekuatannya. Mendengarnya, orang-orang dalam keramaian berpikir:

“Kulit kerang itu mengagumkan! Mengapa demikian? Karena dengan tangan, air, dan tiupan angin dari mulut ia menghasilkan suara yang bagus yang meliputi empat arah.

“Dengan cara yang sama, Pāyāsi, jika seseorang masih hidup, ia dapat berbicara dan menyalami orang lain. [Tetapi] ketika ia meninggal, ia tidak dapat berbicara atau menyalami orang lain.

“Pāyāsi, engkau seharusnya merenungkan kehidupan mendatang dengan cara ini, [karena engkau] tidak dapat melihatnya dengan mata fisikmu. Pāyāsi, jika seorang pertapa atau brahmana memotong dan meninggalkan keinginan, condong pada meninggalkan keinginan; jika ia memotong dan meninggalkan kebencian, condong pada meninggalkan kebencian; jika ia memotong dan meninggalkan delusi, condong pada meninggalkan delusi—maka dengan mata dewa yang dimurnikan, yang melampaui [penglihatan] manusia, ia melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, unggul atau tidak unggul, ketika mereka pergi dan kembali ke alam kehidupan yang baik atau buruk sesuai dengan perbuatan [masa lampau] mereka. Ia melihatnya sebagaimana adanya.”

Raja Pāyāsi lagi berkata, “Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, prinsip ini: ‘Makhluk-makhluk tidak terlahir kembali’.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata, “Pāyāsi, apakah engkau memiliki bantahan lain selain ini?”

Pāyāsi menjawab:

“Ya, Kassapa. Aku memiliki bantahan lainnya. Kassapa, [suatu ketika] para petugasku menangkap seorang penjahat dan membawanya ke hadapanku. Setelah tiba, mereka berkata, “Yang mulia, orang ini telah melakukan suatu kejahatan. Semoga yang mulia menghukumnya!” Aku berkata kepada mereka:

“Bawalah penjahat ini pergi dan timbang ia pada timbangan hidup-hidup. Setelah menimbangnya hidup-hidup, letakkan ia di atas tanah dan jerat lehernya dengan tali. Setelah membunuhnya, timbang ia lagi. Aku ingin mengetahui kapan orang ini ringan, lembut, dan memiliki penampilan yang berkilauan; ketika ia mati atau ketika ia masih hidup.

“Mengikuti perintahku, mereka membawa penjahat ini pergi dan menimbangnya pada timbangan hidup-hidup. Setelah melakukan demikian, mereka meletakkannya di atas tanah dan menjerat lehernya dengan tali. Setelah membunuhnya, mereka menimbangnya lagi. Ketika penjahat itu masih hidup, ia sangat ringan dan lembut, dengan penampilan yang berkilauan. Ketika ia mati, kulitnya menjadi tebal dan ia menjadi berat, kaku, tidak lembut, dan kehilangan penampilannya yang berkilauan. Karena alasan ini, Kassapa, aku berpikir, “Makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu perumpamaan lainnya. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, bahwa sebuah bola besi atau mata bajak besi dipanaskan dengan api sepanjang hari. Pada waktu itu, ia sangat ringan dan lembut, dengan penampilan yang berkilauan. [Tetapi] ketika api padam, ia perlahan-lahan menjadi dingin, menjadi padat, tebal, dan berat, dan menjadi kaku, tidak lembut, dan kehilangan penampilannya yang berkilauan.

“Dengan cara yang sama, Pāyāsi, jika seseorang masih hidup, tubuhnya sangat ringan dan lembut, dengan penampilan yang berkilauan. [Tetapi] ketika ia meninggal, ia menjadi tebal, berat, kaku, tidak lembut, dan kehilangan penampilannya yang berkilauan.

“Pāyāsi, engkau seharusnya merenungkan kehidupan mendatang dengan cara ini, [karena engkau] tidak dapat melihatnya dengan mata fisikmu. Pāyāsi, jika seorang pertapa atau brahmana memotong dan meninggalkan keinginan, condong pada meninggalkan keinginan; jika ia memotong dan meninggalkan kebencian, condong pada meninggalkan kebencian; jika ia memotong dan meninggalkan delusi, condong pada meninggalkan delusi—maka dengan mata dewa yang dimurnikan, yang melampaui [penglihatan] manusia, ia melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, unggul atau tidak unggul, ketika mereka pergi dan kembali ke alam kehidupan yang baik atau buruk sesuai dengan perbuatan [masa lampau] mereka. Ia melihatnya sebagaimana adanya.”

Raja Pāyāsi lagi berkata, “Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, prinsip ini: ‘Makhluk-makhluk tidak terlahir kembali’.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata, “Pāyāsi, apakah engkau memiliki bantahan lain selain ini?”

Pāyāsi menjawab:

“Ya, Kassapa. Aku memiliki bantahan lain.

“Kassapa, [suatu ketika] para petugasku menangkap seorang penjahat dan membawanya ke hadapanku. Setelah menangkapnya, mereka berkata, “Yang mulia, orang ini telah melakukan suatu kejahatan. Semoga yang mulia menghukumnya!” Aku berkata kepada mereka:

“Bawalah penjahat ini dan taruh ia menghadap ke bawah ke dalam suatu ketel besi atau ketel tembaga. Tutup mulutnya dan nyalakan api di bawahnya. Setelah menyalakan api, amati untuk melihat [apakah ada] makhluk yang masuk atau keluar, datang atau pergi, atau bergerak di sekelilingnya.

“Mengikuti perintahku, mereka membawa penjahat ini pergi dan menaruhnya menghadap ke bawah ke dalam suatu ketel besi atau ketel tembaga. Mereka menutup mulutnya dan menyalakan api di bawahnya. Setelah menyalakan api, mereka mengamati untuk melihat [apakah ada] makhluk yang masuk atau keluar, datang atau pergi, atau bergerak di sekelilingnya.

“Kassapa, dengan cara demikian aku tidak melihat kelahiran kembali makhluk apa pun. Atas alasan ini, Kassapa, aku berpikir: “Makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, aku akan bertanya kepadamu. Silahkan jawab seperti yang engkau lihat sesuai. Apakah yang engkau pikirkan? Apakah engkau ingat bahwa, ketika tidur siang di tempat tidurmu [setelah] makan makanan yang menakjubkan, lezat, engkau melihat dalam mimpi, taman hiburan, kolam mandi, hutan, bunga, buah-buahan, sumber air jernih, dan sungai panjang, dan melihat dirimu sendiri melakukan rekreasi di sana, dengan bergerak di sekeliling, datang dan pergi sesuai isi hati anda?”

Pāyāsi menjawab, “Ya, aku ingat demikian.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa bertanya lebih lanjut, “Ketika engkau tidur siang di tempat tidurmu [setelah] makan makanan yang menakjubkan, lezat, apakah ada para pelayan yang hadir?”

Ia menjawab, “Ya.”

Kassapa bertanya lebih lanjut:

“Ketika engkau tidur siang di tempat tidurmu [setelah] makan makanan yang menakjubkan, lezat, pada waktu itu apakah para pelayan di sisi kiri dan kanan[mu] melihat engkau masuk atau keluar, bergerak di sekeliling, atau datang dan pergi?”

Pāyāsi menjawab, “Bagaimana mungkin bahkan orang yang paling luar biasa melihat hal ini, apalagi para pelayan di sisi kiri dan kanan[ku]?”

Kassapa berkata:

“Pāyāsi, engkau seharusnya merenungkan kehidupan mendatang dengan cara ini, [karena engkau] tidak dapat melihatnya dengan mata fisikmu. Pāyāsi, jika seorang pertapa atau brahmana memotong dan meninggalkan keinginan, condong pada meninggalkan keinginan; jika ia memotong dan meninggalkan kebencian, condong pada meninggalkan kebencian; jika ia memotong dan meninggalkan delusi, condong pada meninggalkan delusi—maka dengan mata dewa yang dimurnikan, yang melampaui [penglihatan] manusia, ia melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, unggul atau tidak unggul, ketika mereka pergi dan kembali ke alam kehidupan yang baik atau buruk sesuai dengan perbuatan [masa lampau] mereka. Ia melihatnya sebagaimana adanya.”

Raja Pāyāsi lagi berkata, “Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, prinsip ini: ‘Makhluk-makhluk tidak terlahir kembali’.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata, “Pāyāsi, apakah engkau memiliki bantahan lain selain ini?”

Pāyāsi menjawab:

“Ya, Kassapa. Aku memiliki bantahan lain. Kassapa, [suatu ketika] para petugasku menangkap seorang penjahat dan membawanya ke hadapanku. Setelah ditangkap, mereka berkata, “Yang mulia, orang ini telah melakukan suatu kejahatan. Semoga yang mulia menghukumnya!” Aku berkata kepada mereka:

“Bawalah penjahat ini pergi. Kuliti kulitnya dan robek dagingnya. Potong uratnya dan hancurkan tulangnya sampai ke sumsum. Carilah makhluk yang akan terlahir kembali.

“Mengikuti perintahku, mereka membawa penjahat ini pergi, menguliti kulitnya, merobek dagingnya, memotong uratnya, dan menghancurkan tulangnya sampai ke sumsum, untuk mencari makhluk yang akan terlahir kembali. Kassapa, aku menggunakan cara demikian untuk mencari makhluk yang akan terlahir kembali, tetapi pada akhirnya aku tidak dapat melihat makhluk apa pun yang akan terlahir kembali. Karena alasan ini, Kassapa, aku berpikir: “Makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.”

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan perumpamaan lainnya. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, bahwa seorang brahmana berambut kusut pemuja api tinggal di dekat suatu jalan. Beberapa pedagang berdiam pada malam hari di suatu tempat tak jauh darinya. Kemudian, ketika malam telah berlalu dan fajar telah muncul, para pedagang itu berangkat dengan terburu-buru, dengan lupa meninggalkan di belakang seorang anak kecil.

“Kemudian brahmana berambut kusut pemuja api itu, setelah bangun pagi-pagi sekali, melihat ke sekeliling tempat di mana para pedagang berdiam dan melihat anak kecil yang ditinggalkan sendirian tanpa orang tuanya. Melihatnya, ia berpikir, “Anak kecil ini tidak memiliki siapa pun untuk bergantung padanya. Ia tentunya akan mati jika aku tidak menyokongnya.” Maka ia membawa anak kecil itu pergi, kembali ke tempatnya sendiri, dan mengasuhnya. Anak kecil itu tumbuh besar, diberkahi dengan semua inderanya.

“Kemudian brahmana berambut kusut pemuja api itu memiliki beberapa urusan kecil di mana ia harus pergi di antara orang-orang. Brahmana berambut kusut pemuja api itu oleh sebab itu mengajari anak itu:

“Aku memiliki beberapa urusan kecil di mana aku harus pergi di antara orang-orang. Engkau harus menjaga api dan berhati-hati agar tidak membiarkannya padam. Jika ia padam, gunakan kayu api ini untuk membuat api.

“Kemudian, setelah mengajarinya dengan baik, brahmana berambut kusut pemuja api itu pergi di antara orang-orang.

“Kemudian anak itu pergi untuk bermain, dan api menjadi padam. Ketika ia kembali ia berusaha membuat api. Ia mengambil kayu api dan memukul-mukulnya pada tanah, dengan berkata, “Muncullah, api! Muncullah, api!” Tetapi tidak ada api yang muncul. Ia berusaha lebih keras, memukulnya dengan sebuah batu, [dengan berkata,] “Muncullah, api! Muncullah, api!” Tetapi tidak ada api yang muncul. Karena tidak ada api yang muncul, ia mematahkan kayu api menjadi sepuluh dan bahkan seratus potong, melemparkan mereka, dan duduk di atas tanah, dengan cemas berkata, “Aku tidak dapat memperoleh api. Apakah yang seharusnya kulakukan?”

“Kemudian brahmana berambut kusut pemuja api itu, setelah menyelesaikan apa yang harus ia lakukan di antara orang-orang, kembali ke tempatnya sendiri. Setelah tiba, ia bertanya, “Nak, apakah engkau menjaga api tanpa bermain dan tidak membiarkannya padam?”

“Anak itu berkata:

“Yang mulia, aku pergi untuk bermain, dan api menjadi padam. Ketika aku kembali, aku berusaha membuat api. Aku mengambil kayu api dan memukul-mukul mereka di atas tanah, dengan berkata: “Muncullah, api! Muncullah, api!” Tetapi tidak ada api yang muncul, aku berusaha lebih keras, dengan memukul mereka dengan sebuah batu, [dengan berkata,] “Muncullah, api! Muncullah, api!” Tetapi tetap tidak ada api yang muncul. Karena tidak ada api yang muncul, aku mematahkan kayu api menjadi sepuluh dan bahkan seratus bagian, melemparkan mereka dan duduk di atas tanah. Yang mulia, aku telah berusaha seperti ini, tetapi tidak dapat memperoleh api. Apa yang seharusnya kulakukan?

“Kemudian brahmana berambut kusut pemuja api itu berpikir:

“Anak ini adalah bodoh, tidak mengetahui, tidak memahami, tidak memiliki kebijaksanaan. Mengapa demikian? Bagaimana mungkin seseorang memohon kayu api yang tidak dapat berpikir [dengan kata-kata] untuk membuat api?

“Brahmana berambut kusut pemuja api itu kemudian mengambil kayu kering untuk digunakan sebagai kayu api bagian atas dan bawah, menempatkannya di atas tanah dan, dengan menggosok-gosok, menyebabkan [percikan] api muncul, yang perlahan-lahan menjadi nyala api. Ia berkata kepada anak itu:

“Nak, ini adalah bagaimana seseorang seharusnya membuat api. Seseorang tidak seharusnya seperti kamu, yang bodoh, tidak mengetahui, tidak memahami, tidak memiliki kebijaksanaan, dan berusaha memohon kayu api yang tidak dapat berpikir untuk membuat api.

“Pāyāsi, ketahuilah bahwa engkau adalah juga demikian bodoh, tidak mengetahui, tidak memahami, dan tidak memiliki kebijaksanaan, dengan mencari dalam daging mati dan bahkan dalam sumsum suatu makhluk yang akan terlahir kembali.

“Pāyāsi, engkau seharusnya merenungkan kehidupan mendatang dengan cara ini, [karena engkau] tidak dapat melihatnya dengan mata fisikmu. Pāyāsi, jika seorang pertapa atau brahmana memotong dan meninggalkan keinginan, condong pada meninggalkan keinginan; jika ia memotong dan meninggalkan kebencian, condong pada meninggalkan kebencian; jika ia memotong dan meninggalkan delusi, condong pada meninggalkan delusi—maka dengan mata dewa yang dimurnikan, yang melampaui [penglihatan] manusia, ia melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, unggul atau tidak unggul, ketika mereka pergi dan kembali ke alam kehidupan yang baik atau buruk sesuai dengan perbuatan [masa lampau] mereka. Ia melihatnya sebagaimana adanya.”

Raja Pāyāsi lagi berkata:

“Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya. Mengapa demikian?

“Jika orang-orang lain di negeri-negeri lain mendengar hal ini, mereka akan berkata, “Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi ia telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa.” Karena alasan ini, Kassapa, aku memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu suatu perumpamaan. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, dua orang sahabat meninggalkan rumah untuk mencari penghidupan. Dalam perjalanan, mereka pertama melihat sejumlah besar rami tanpa pemilik. Ketika melihatnya, salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya:

“Engkau seharusnya mengetahui bahwa terdapat sejumlah besar rami di sini tanpa pemilik. Marilah kita mengambilnya, membuat muatan yang berat untuk masing-masing dari kita, dan membawanya pulang sebagai sumber penghidupan kita.

“Maka mereka membawa muatan berat mereka. Lebih lanjut, mereka melihat sejumlah besar benang kapas dan pakaian kapas tanpa pemilik. Lebi lanjut lagi, mereka melihat sejumlah besar perak tanpa pemilik. Ketika melihatnya, salah seorang dari mereka meletakkan muatan raminya, mengambil perak, dan memuat dirinya penuh dengannya. Lebih lanjut lagi mereka melihat sejumlah besar emas tanpa pemilik.

“Kemudian orang yang memuat perak berkata kepada orang yang memuat rami:

“Sekarang, engkau seharusnya mengetahui bahwa terdapat sejumlah besar emas di sini tanpa pemilik. Engkau membuang ramimu dan aku akan membuang perakku. Aku ingin engkau dan aku mengambil emas ini dan membawa muatan yang berat darinya ke rumah, sebagai sumber penghidupan kita.

“Orang yang memuat rami berkata kepada orang yang memuat perak:

“Muatan ramiku adalah bagus. Ia dibungkus dan diikat dengan baik, dan aku telah membawanya sepanjang jalan. Aku tidak dapat melepaskannya. Engkau mengetahui apa yang cocok bagimu. Jangan khawatir tentang diriku!

“Karena hal ini orang yang memuat perak mengambil muatan rami dengan paksa dan melemparkannya ke tanah, dengan merusaknya. Orang dengan [muatan] rami berkata kepada orang dengan [muatan] perak:

“Engkau telah merusak muatanku. Muatan ramiku diikat dengan baik, dan aku telah membawanya sepanjang jalan. Aku sendiri ingin membawa rami ini kembali ke rumah. Aku tidak akan pernah melepaskannya. Engkau mengetahui apa yang cocok untukmu. Jangan khawatir tentang diriku!

“Kemudian orang dengan muatan perak membuang muatannya, memuat dirinya sendiri dengan emas, dan pulang ke rumah. Ketika orang yang memuat emas mendekati rumahnya, ayah dan ibunya, yang melihatnya dari kejauhan kembali dengan muatan emas, berseru:

“Selamat datang, putra yang baik! Datanglah cepat, putra yang baik! Berkat emas ini, engkau akan membuat penghidupan yang baik, menyokong ayah dan ibu, dan menopang istrimu, anak-anak, pelayan laki-laki dan perempuanmu, dan para pesuruh. Lebih lanjut, engkau dapat memberikan persembahan kepada para pertapa dan brahmana, membuat jasa dan meningkatkan [dirimu sendiri], [mengalami] buah-buah kebaikan dan akibat baik, dengan terlahir kembali di surga dan menikmati usia panjang.

“[Tetapi ketika] orang yang memuat rami kembali ke rumahnya, ayah dan ibunya, yang melihatnya dari kejauhan kembali dengan muatan rami, memarahinya dengan berkata:

“Di sini engkau rupanya, penjahat! Di sini engkau rupanya, orang tanpa kebajikan! Dengan rami ini engkau tidak akan membuat penghidupan, atau menyokong ayah dan ibumu, atau menopang istrimu, anak-anak, para pelayan laki-laki dan perempuan, dan para pesuruh. Engkau tidak dapat memberikan persembahan kepada para pertapa dan brahmana, membuat jasa dan meningkatkan [dirimu sendiri], [mengalami] buah-buah kebaikan dan akibat baik, ataupun terlahir kembali di surga dan menikmati usia panjang.

“Pāyāsi, engkau seharusnya mengetahui bahwa demikian juga halnya dengan dirimu. Jika engkau memegang pandangan ini demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi, dan tidak melepaskannya, engkau akan jatuh dalam tak terhitung ketidakberuntungan dan dijauhi banyak orang.”

Raja Pāyāsi lagi berkata:

“Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya. Mengapa demikian? Jika orang-orang lain di negeri-negeri lain mendengar hal ini, mereka akan berkata, “Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi ia telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa.” Karena alasan ini, Kassapa, aku memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu suatu perumpamaan. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, beberapa pedagang dan kumpulan rekan, dengan seribu kereta, sedang mengadakan perjalan pada suatu jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka. Kumpulan itu memiliki dua orang pemimpin. Mereka berpikir: “Bagaimana kita dapat keluar dari kesulitan ini?” Mereka berpikir lebih lanjut: “Kumpulan ini seharusnya dibagi menjadi dua kelompok dengan lima ratus kereta masing-masing.” Maka para pedagang itu memisahkan diri menjadi dua kelompok dengan lima ratus kereta masing-masing.

“Kemudian salah seorang pemimpin dari para pedagang itu membawa lima ratus sepanjang jalan [melalui daerah] dengan persediaan langka. Pemimpin pedagang itu sering pergi maju [dengan sendiri]. Ia melihat seseorang datang dari sisi jalan dengan pakaiannya semuanya basah, dengan tubuh gelap, kepala kuning, dan dua mata merah yang tajam, dengan memakai kalungan bunga sepatu, dan menunggangi sebuah kereta keledai yang kedua rodanya terkena lumpur. Ketika melihatnya, pemimpin pedagang itu bertanya, “Apakah hujan turun di jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka? Apakah terdapat air, kayu bakar, dan rumput baru [di depan]?”

“Orang itu menjawab:

“Terdapat hujan deras di jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka. Terdapat banyak air, kayu bakar, dan rumput baru. Teman, buanglah air, kayu bakar, dan rumput yang telah engkau miliki, sehingga tidak membebani keretamu. Engkau akan menemukan air, kayu bakar bagus, dan rumput baru dengan segera.

“Mendengar hal ini, pemimpin pedagang itu kembali kepada para pedagang dan berkata:

“Ketika aku pergi maju, aku melihat seseorang datang dari sisi jalan dengan pakaian semuanya basah, dengan tubuh gelap, kepala kuning, dan dua mata merah yang tajam, dengan memakai kalungan bunga sepatu, dan menunggangi sebuah kereta keledai yang dua rodanya terkena lumpur. Aku bertanya kepadanya, “Apakah hujan turun di jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka? Apakah terdapat air, kayu bakar, dan rumput baru [di depan]?” Ia menjawabku, dengan berkata, “Terdapat hujan deras di jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka. Terdapat banyak air, kayu bakar, dan rumput baru. Teman, buanglah air, kayu bakar, dan rumput yang telah engkau miliki, sehingga tidak membebani keretamu. Engkau akan menemukan air, kayu bakar bagus, dan rumput baru dengan segera.”

“Para pedagang, marilah kita membuang air, kayu bakar, dan rumput yang telah kita miliki. Kita akan menemukan air, kayu bakar, dan rumput baru dengan segera. Marilah kita tidak membebani kereta kita!

“Maka para pedagang itu membuang air, kayu bakar, dan rumput yang telah mereka miliki. Setelah satu hari perjalanan, mereka tidak menemukan air, kayu bakar, atau rumput baru. Setelah dua hari … tiga hari … bahkan setelah tujuh hari perjalanan, mereka masih tidak menemukan air, kayu bakar, atau rumput baru. Setelah tujuh hari berlalu, mereka dibunuh oleh para hantu pemakan manusia.

“Pemimpin pedagang kedua berpikir, “Pemimpin pedagang pertama telah menyeberangi bahaya. Dengan cara apa kita dapat sekarang menaklukkan kesulitan?” Setelah berpikir demikian, pemimpin pedagang kedua berlanjut sepanjang jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka bersama-sama dengan lima ratus kereta. Pemimpin pedagang kedua pergi maju dengan sendiri. Ia melihat seseorang datang dari sisi jalan dengan pakaiannya semuanya basah, dengan tubuh gelap, kepala kuning, dan dua mata merah yang tajam, dengan memakai kalungan bunga sepatu, dan menunggangi sebuah kereta keledai yang dua rodanya terkena lumpur.

“Ketika melihatnya, pemimpin pedagang kedua bertanya, “Apakah hujan turun di jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka? Apakah terdapat air, kayu bakar, dan rumput baru [di depan]?” Orang itu menjawab:

“Terdapat hujan deras di jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka. Terdapat banyak air, kayu bakar, dan rumput baru. Teman, buanglah air, kayu bakar, dan rumput yang telah engkau miliki, sehingga tidak membebani keretamu. Engkau akan menemukan air, kayu bakar bagus, dan rumput baru dengan segera.

“Mendengar hal ini, pemimpin pedagang kedua kembali kepada para pedagang dan berkata:

“Ketika aku pergi maju, aku melihat seseorang datang dari sisi jalan dengan pakaian semuanya basah, dengan tubuh gelap, kepala kuning, dan dua mata merah yang tajam, dengan memakai kalungan bunga sepatu, dan menunggangi sebuah kereta keledai yang dua rodanya terkena lumpur. Aku bertanya kepadanya, “Apakah hujan turun di jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka? Apakah terdapat air, kayu bakar, dan rumput baru [di depan]?”

“Ia menjawabku, dengan berkata, “Terdapat hujan deras di jalan [melalui daerah] dengan perbekalan langka. Terdapat banyak air, kayu bakar, dan rumput baru. Teman, buanglah air, kayu bakar, dan rumput yang telah engkau miliki, sehingga tidak membebani keretamu. Engkau akan menemukan air, kayu bakar bagus, dan rumput baru dengan segera.”

“[Tetapi,] para pedagang, kita tidak dapat membuang air, kayu bakar, atau rumput yang telah kita miliki. Kita seharusnya membuangnya hanya jika kita menemukan air, kayu bakar, dan rumput baru.

“[Maka] mereka tidak membuang air, kayu bakar, dan rumput yang telah mereka miliki. Setelah satu hari perjalanan, mereka tidak menemukan air, kayu bakar, atau rumput baru. Setelah dua hari … tiga hari … bahkan setelah tujuh hari perjalanan, mereka masih tidak menemukan air, kayu bakar, atau rumput baru. Ketika pergi maju, pemimpin pedagang kedua menemukan bahwa pemimpin pedagang pertama dan para pedagangnya telah dibunuh oleh para hantu pemakan manusia.

“Melihat hal ini, pemimpin pedagang kedua berkata kepada para pedagang:

“Kalian lihat! Pemimpin pedagang pertama adalah bodoh, tidak mengetahui, tidak memahami, dan tidak memiliki kebijaksanaan. Ia sendiri telah terbunuh, dan semua orangnya juga telah terbunuh. Para pedagang, jika kalian ingin mengambil barang-barang milik kelompok pertama, lakukanlah sesuka hati!

“Pāyāsi, engkau seharusnya mengetahui bahwa demikian juga halnya dengan dirimu. Jika engkau memegang pandangan ini demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi, dan tidak melepaskannya, engkau akan jatuh dalam tak terhitung ketidakberuntungan dan dijauhi banyak orang, seperti halnya pemimpin pedagang pertama dan para pedagangnya.”

Raja Pāyāsi berkata lagi:

“Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya. Mengapa demikian? Jika orang-orang lain di negeri-negeri lain mendengar hal ini, mereka akan berkata, “Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi ia telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa.”

“Karena alasan ini, Kassapa, aku memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu suatu perumpamaan. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, bahwa dua orang ingin berjudi dengan padi-padian [sebagai mata uang taruhan]. Pemain pertama [ketika kalah] dengan diam-diam memakan padi-padian [tambahan] [yang menyebabkan lawannya kalah]: satu kali, dua kali, tiga kali, lagi dan lagi. Pemain kedua berpikir, “Aku bermain melawan orang ini, tetapi ia telah mencurangiku banyak kali, dengan diam-diam memakan padi-padian [tambahan]: satu kali, dua kali, tiga kali, lagi dan lagi.”

“Melihat hal ini, ia berkata kepada temannya, “Sekarang aku ingin beristirahat. Marilah kita melanjutkan permainan nanti.” Setelah itu pemain kedua meninggalkan tempat itu dan mengolesi padi-padian itu dengan racun. Setelah mengolesinya, ia kembali dan berkata kepada temannya, “Datanglah dan [lanjutkan] permainan denganku!” Maka ia datang dan mereka bermain bersama. Lagi pemain pertama dengan diam-diam memakan padi-padian: satu kali, dua kali, tiga kali, lagi dan lagi. Setelah memakan padi-padian, matanya menjadi kosong, ia mengeluarkan busa dari mulut, dan hampir meninggal.

“Kemudian pemain kedua mengucapkan syair ini kepada pemain pertama:

Padi-padian ini diolesi dengan racun.
Engkau memakannya dengan serakah tanpa memperhatikan.
Engkau mencurangiku dengan padi-padian,
Yang terikat untuk membuatmu menderita!

“Pāyāsi, engkau seharusnya mengetahui bahwa demikian juga halnya dengan dirimu. Jika engkau memegang pandangan ini demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi, dan tidak melepaskannya, engkau akan jatuh dalam tak terhitung ketidakberuntungan dan dijauhi banyak orang, seperti halnya pemain yang mencurangi orang lain demi padi-padian membawa bencana bagi dirinya sendiri.”

Raja Pāyāsi berkata lagi:

“Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya. Mengapa demikian? Jika orang-orang lain di negeri-negeri lain mendengar hal ini, mereka akan berkata, “Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi ia telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa.”

“Oleh karena itu, Kassapa, aku memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu perumpamaan lain. Orang bijaksana, ketika mendengarkan suatu perumpamaan, memahami maksudnya.

“Seumpamanya, Pāyāsi, seorang peternak babi, ketika berjalan sepanjang jalan, melihat sejumlah besar kotoran hewan tanpa pemilik. Ia berpikir, “Kotoran hewan ini dapat memberi makan banyak babi. Biarlah aku mengambilnya, memuatnya, dan pergi.” Maka ia mengambilnya dan pergi.

“Dalam perjalanan ia bertemu hujan deras. Kotoran hewan itu, yang larut dan mengalir dengan perlahan, mengotori tubuhnya, tetapi ia tetap membawanya, tidak pernah membuangnya. Akibatnya ia mengalami tak terhitung ketidakberuntungan dan dijauhi oleh banyak orang.

“Pāyāsi, engkau seharusnya mengetahui bahwa demikian juga halnya dengan dirimu. Jika engkau memegang pandangan ini demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi, dan tidak melepaskannya, engkau akan jatuh dalam tak terhitung ketidakberuntungan dan dijauhi banyak orang, seperti halnya peternak babi itu.”

Raja Pāyāsi berkata lagi:

“Walaupun apa yang dikatakan pertapa Kumāra Kassapa, aku tetap memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya. Mengapa demikian? Jika orang-orang lain di negeri-negeri lain mendengar hal ini, mereka akan berkata, “Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi ia telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa.”

“Oleh karena itu, Kassapa, aku memegang pandangan ini, demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi; aku sama sekali tidak dapat melepaskannya.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, dengarkanlah ketika aku mengatakan kepadamu sebuah perumpamaan terakhir. Akan baik jika engkau dapat memahaminya. Jika tidak, aku tidak akan mengajarkanmu Dharma lagi.

“Seumpamanya, Pāyāsi, seekor babi besar, raja dari lima ratus ekor babi, ketika sedang berjalan sepanjang jalan berbahaya, bertemu dengan seekor macan dalam perjalanan.

“Ketika melihat macan itu, babi itu berpikir:

“Jika aku berkelahi dengan macan ini, ia pasti akan membunuhku. Jika aku melarikan diri dengan ketakutan, para sanak keluargaku akan merendahkanku. Dengan cara apakah aku dapat keluar dari kesulitan ini?

“Setelah berpikir demikian, ia berkata kepada macan itu, “Jika engkau ingin berkelahi, aku dapat berkelahi denganmu. Jika tidak, maka biarkanlah aku lewat.” Mendengar hal ini, macan itu berkata kepada babi itu, “Aku mengizinkanmu untuk berkelahi denganku. Aku tidak akan membiarkanmu lewat.”

“Babi itu berkata lebih lanjut, “Macan, tunggulah sebentar, seraya aku mengenakan pakaian perang dari masa kakekku, dan kemudian aku akan kembali untuk berkelahi.” Mendengar hal ini, macan itu berpikir, “Ia tidak dapat menandingi diriku, apalagi dengan pakaian perang dari masa kakeknya.” Maka ia berkata kepada babi itu, “Lakukanlah seperti yang engkau sukai!” Kemudian babi itu kembali ke lubang lumpurnya dan berguling-guling dalam kotoran, melumuri tubuhnya dengan kotoran sampai ke mata. Kemudian ia pergi menemui macan itu dan mengatakan, “Jika engkau ingin berkelahi, aku dapat berkelahi denganmu. Jika tidak, biarkanlah aku lewat.”

“Ketika melihat babi itu, macan itu berpikir, “Aku tidak pernah bahkan memakan makanan yang memiliki cacing di dalamnya, untuk melindungi gigiku, sehingga aku pasti tidak akan mendekati babi yang kotor ini.” Berpikir demikian, macan itu berkata kepada babi itu, “Aku akan membiarkan engkau lewat alih-alih berkelahi denganmu.” Setelah lewat, babi itu mengucapkan sebuah syair kepada macan itu:

Macan, engkau memiliki empat kaki.
Aku juga memiliki empat kaki.
Datanglah dan berkelahi denganku!
Apakah yang engkau takutkan sehingga engkau menjauh?

“Kemudian, ketika mendengar hal ini, macan itu juga mengucapkan sebuah syair untuk menjawab babi itu:

Bulumu berdiri tegak seperti hutan lebat,
Engkau terendah di antara para binatang!
Pergilah, babi! Dengan cepat!
Bau busuk kotoranmu tidak tertahankan.

“Kemudian babi itu, dengan menyombongkan diri, mengucapkan syair lain:

[Para penduduk] dua negeri Magadha dan Aṅga
Akan mendengar bahwa aku berkelahi denganmu.
Datanglah dan berkelahilah denganku!
Apakah yang engkau takutkan sehingga engkau menjauh?

“Mendengar hal ini, macan mengucapkan syair lain:

Dengan semua bulu pada tubuhmu yang bau,
Bau busukmu mencekikku, babi.
Jika engkau ingin berkelahir untuk kemenangan,
Aku sekarang mengakui kemenanganmu.

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, engkau seharusnya mengetahui bahwa demikian juga halnya dengan dirimu. Jika engkau memegang pandangan ini demi keinginan, keengganan, ketakutan, dan delusi, dan tidak melepaskannya, engkau akan jatuh dalam tak terhitung ketidakberuntungan dan dijauhi banyak orang, seperti halnya macan yang mengakui kemenangan babi.”

Setelah mendengar hal ini, Raja Pāyāsi berkata:

“Ketika yang mulia mengatakan perumpamaan pertama, tentang matahari dan bulan, aku memahaminya ketika mendengarnya dan bergembira menerimanya dengan hormat. Namun, aku ingin memperoleh ajaran lebih lanjut yang menakjubkan dan bijaksana dari Yang Mulia Kumāra Kassapa, dan karena alasan ini aku bertanya kepada anda lagi dan lagi. Aku sekarang pergi berlindung kepada Yang Mulia Kumāra Kassapa.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata, “Pāyāsi, engkau tidak seharusnya pergi berlindung kepadaku. Aku pergi berlindung kepada Sang Buddha. Engkau juga seharusnya pergi berlindung kepada beliau.”

Raja Pāyāsi berkata:

“Yang mulia, aku sekarang pergi berlindung kepada Buddha, Dharma dan komunitas para bhikkhu. Semoga Yang Mulia Kumāra Kassapa menerimaku, atas nama Sang Buddha, sebagai seorang pengikut awam. Sejak hari ini sampai akhir hidupku aku mengambil perlindungan. Yang Mulia Kumāra Kassapa, sejak hari ini aku akan melakukan kedermawanan dan berbuat jasa.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa bertanya, “Pāyāsi, engkau ingin melakukan kedermawanan dan berbuat jasa, tetapi berapa banyak orang yang akan engkau beri? Dan berapa lama ia akan berlangsung?”

Raja Pāyāsi berkata, “Aku akan memberi kepada seratus orang atau bahkan seribu orang, selama satu hari, dua hari, atau bahkan tujuh hari.”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Raja, jika engkau melakukan kedermawanan dan berbuat jasa dengan memberi kepada seratus orang atau bahkan seribu orang, selama satu hari, dua hari, atau bahkan tujuh hari, maka para pertapa dan brahmana dalam berbagai arah semuanya akan mendengar bahwa Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi [sekarang] telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa.

“Mendengar hal ini, orang-orang di berbagai arah semuanya akan datang dari jauh. Tetapi jika dalam tujuh hari itu, beberapa tidak dapat makan makanan yang diberikan raja dengan keyakinan, maka raja tidak akan berbuat jasa dan tidak akan mengalami kebahagiaan yang bertahan lama.

“Seumpamanya, Raja Pāyāsi, [bahwa terdapat] benih-benih yang tidak pecah juga tidak busuk, tidak retak juga tidak rusak, tidak dirusak oleh angin, matahari, atau air, dan yang telah disimpan dengan aman sejak musim gugur; dan seumpamanya bahwa seorang perumah tangga dengan seksama membajak ladang yang subur. Setelah dengan seksama mempersiapkan lahan, ia menyemai benih-benih itu pada waktu yang tepat, tetapi tidak ada hujan yang tepat waktu atau persediaan air lainnya. Apakah yang engkau pikirkan, Pāyāsi? Apakah benih-benih itu akan berkecambah dan tumbuh?”

Ia menjawab, “Mereka tidak akan [tumbuh].”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, demikian juga halnya dengan dirimu jika engkau melakukan kedermawanan untuk menghasilkan jasa dengan memberi kepada seratus orang, atau bahkan seribu orang, selama satu hari, dua hari, atau bahkan tujuh hari.

“Para pertapa dan brahmana di berbagai arah semuanya akan mendengar bahwa Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi [sekarang] telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa. Mendengar hal ini, orang-orang di berbagai arah semuanya akan datang dari jauh. Tetapi jika dalam tujuh hari itu, beberapa tidak dapat makan makanan yang diberikan raja dengan keyakinan, maka raja tidak akan berbuat jasa dan tidak akan mengalami kebahagiaan yang bertahan lama.”

Raja Pāyāsi bertanya lebih lanjut, “Yang mulia, apakah yang seharusnya kulakukan?”

Yang Mulia Kumāra Kassapa menjawab:

“Pāyāsi, engkau seharusnya melakukan kedermawanan dan berbuat jasa dengan menyediakan dana makanan terus-menerus. Jika, Raja Pāyāsi, engkau melakukan kedermawanan dan berbuat jasa dengan menyediakan dana makanan terus-menerus, maka para pertapa dan brahmana di berbagai arah semuanya akan mendengar bahwa Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi [sekarang] telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa. Mendengar hal ini, orang-orang di berbagai arah semuanya akan datang dari jauh, dan akan dapat menerima dana makanan yang diberikan raja dengan keyakinan. Kemudian raja akan berbuat jasa dan mengalami kebahagiaan yang bertahan lama.

“Seumpamanya, Raja Pāyāsi, [bahwa terdapat] benih-benih yang tidak pecah juga tidak busuk, tidak retak juga tidak rusak, tidak dirusak oleh angin, matahari, atau air, dan yang telah disimpan dengan aman sejak musim gugur; dan seumpamanya bahwa seorang perumah tangga dengan seksama membajak ladang yang subur. Setelah dengan seksama mempersiapkan lahan, ia menyemai benih-benih itu pada waktu yang tepat, dan terdapat hujan yang tepat waktunya atau beberapa persediaan air lainnya. Apakah yang engkau pikirkan, Pāyāsi? Apakah benih-benih itu akan berkecambah dan tumbuh?”

Ia menjawab, “Mereka akan [tumbuh].”

Yang Mulia Kumāra Kassapa berkata:

“Pāyāsi, demikian juga halnya dengan dirimu. Jika engkau melakukan kedermawanan dan berbuat jasa dengan menyediakan dana makanan terus-menerus, maka para pertapa dan brahmana di berbagai arah semuanya akan mendengar bahwa Raja Pāyāsi memegang pandangannya selama waktu yang lama, tetapi [sekarang] telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh pertapa Kumāra Kassapa. Mendengar hal ini, orang-orang di berbagai arah semuanya akan datang dari jauh, dan akan dapat menerima dana makanan yang diberikan raja dengan keyakinan. Kemudian raja akan berbuat jasa dan mengalami kebahagiaan yang bertahan lama.”

Setelah itu Raja Pāyāsi berkata, “Yang mulia, sejak saat ini aku akan melakukan kedermawanan dan berbuat jasa dengan menyediakan dana makanan terus-menerus.”

Kemudian dengan tak terhitung cara terampil, Yang Mulia Kumāra Kassapa mengajarkan Dharma kepada Raja Pāyāsi dan kepada para brahmana dan perumah tangga Setavyā, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakan mereka. Setelah dengan tak terhitung cara terampil mengajarkan mereka Dharma, setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakan mereka, ia berdiam diri.

Kemudian, setelah Yang Mulia Kumāra Kassapa telah mengajarkan Dharma kepada Raja Pāyāsi dan para brahmana dan perumah tangga Setavyā, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakan mereka, mereka bangkit dari tempat duduk mereka, memberikan penghormatan kepada Yang Mulia Kumāra Kassapa, mengelilinginya tiga kali, dan pergi.

Walaupun Raja Pāyāsi melakukan kedermawanan dan berbuat jasa, [dana makanannya termasuk] bubur kacang dan sayuran yang sangat buruk, kasar, dan rendah mutunya, dan hanya sepotong jahe. Ia juga memberikan jubah yang kasar dan rendah mutunya. Pengawas dapur pada waktu itu bernama Uttara. Ketika melakukan kedermawanan untuk menghasilkan jasa atas nama Raja Pāyāsi, ia memohon kepada beberapa bhikkhu senior untuk membuat aspirasi ini: “Jika kedermawanan ini memberikan akibat jasa, semoga Raja Pāyāsi tidak mengalaminya dalam kehidupan ini atau berikutnya.”

Raja Pāyāsi mendengar bahwa Uttara, ketika melakukan kedermawanan dan berbuat jasa, selalu memohon kepada beberapa bhikkhu senior untuk membuat aspirasi ini: “Jika kedermawanan ini memberikan akibat jasa, semoga Raja Pāyāsi tidak mengalaminya dalam kehidupan ini atau berikutnya.” Setelah mendengar hal ini, ia memanggil Uttara dan bertanya:

“Uttara, apakah benar bahwa ketika melakukan kedermawanan untuk berbuat jasa atas namaku engkau memohon kepada beberapa bhikkhu senior untuk membuat aspirasi ini, “Jika kedermawanan ini memberikan akibat jasa, semoga Raja Pāyāsi tidak mengalaminya dalam kehidupan ini atau berikutnya.”?”

Uttara menjawab:

“Ya, yang mulia. Mengapa demikian? Walaupun yang mulia melakukan kedermawanan dan berbuat jasa, [dana makanannya termasuk] bubur kacang dan sayuran yang sangat buruk, kasar, dan rendah mutunya, dan hanya sepotong jahe. Yang mulia, makanan demikian bahkan tidak dapat disentuh oleh tangan, apalagi dimakan. [Juga] yang mulia memberikan jubah yang kasar dan rendah mutunya. Yang mulia, jubah demikian bahkan tidak dapat dipijak dengan kaki seseorang, apalagi dipakai. Aku menghormati yang mulia alih-alih apa yang diberikan.

“Oleh sebab itu, yang mulia, aku tidak ingin yang mulia mengalami akibat dari dana yang demikian rendah mutunya.”

Ketika mendengar hal ini, Raja Pāyāsi berkata, “Uttara, sejak saat ini engkau seharusnya menyediakan makanan seperti yang kumakan dan memberikan jubah seperti yang kupakai.” Maka, sejak saat itu Uttara menyediakan makanan seperti yang dimakan raja dan memberikan jubah seperti yang dipakai raja.

Kemudian, karena pengawasannya atas pelaksanaan kedermawanan untuk Raja Pāyāsi, Utara terlahir kembali ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, di antara empat raja dewa. Raja Pāyāsi, karena pelaksanaan kedermawanan tanpa keikhlasan, terlahir kembali ketika hancurnya tubuh, setelah kematian, di istana kosong Hutan Akasia. Yang Mulia Gavampati sering berkelana dekat istana kosong Hutan Akasia. Yang Mulia Gavampati melihat Raja Pāyāsi dari kejauhan dan bertanya, “Siapakah engkau?”

Raja Pāyāsi menjawab, “Yang Mulia Gavampati, apakah anda pernah mendengar bahwa di benua Jambudīpa terdapat seorang raja dari Setavyā bernama Pāyāsi?”

Yang Mulia Gavampati menjawab, “Aku pernah mendengar bahwa di benua Jambudīpa terdapat seorang raja dari Setavyā bernama Pāyāsi.”

Raja Pāyāsi berkata, “Yang Mulia Gavampati, aku adalah ia, yang mulanya bernama Pāyāsi.”

Yang Mulia Gavampati bertanya lebih lanjut:

“Raja Pāyāsi memegang pandangan ini, prinsip ini: “Tidak ada kehidupan mendatang; makhluk-makhluk tidak terlahir kembali.” Karena alasan apakah ia terlahir kembali di sini di istana kecil yang kosong di Hutan Akasia bergantung pada empat raja dewa?”

Raja Pāyāsi berkata:

“Yang Mulia Gavampati, aku memang memegang pandangan ini, tetapi aku telah dibantah, dikalahkan, dan dibuat untuk meninggalkannya oleh Yang Mulia Pertapa Kumāra Kassapa. Jika, Yang Mulia Gavampati, anda kembali ke benua Jambudīpa, mohon beritahukan kepada orang-orang di benua Jambudīpa bahwa ketika melakukan kedermawanan untuk berbuat jasa, mereka seharusnya memberi dengan keikhlasan, memberi dengan tangannya sendiri, memberi dengan pergi ke sana sendiri, memberi dengan keyakinan yang kokoh, memberi dengan pemahaman atas perbuatan dan akibat perbuatan.

“Mengapa? Agar mereka tidak mengalami akibat kedermawanan [yang dilakukan dengan salah], dengan cara Raja Pāyāsi dari Setavyā. Raja Pāyāsi adalah seorang praktisi kedermawanan, tetapi karena ia memberi tanpa keikhlasan, ia terlahir kembali di istana kecil yang kosong di Hutan Akasia, bergantung pada empat raja dewa.”

Kemudian Yang Mulia Gavampati menyetujui dengan tetap berdiam diri.

Setelah itu, ketika ia turun secara berkala ke benua Jambudīpa, Yang Mulia Gavampati memberitahukan orang-orang seluruh benua Jambudīpa:

“Memberilah dengan ketulusan, memberilah dengan tanganmu sendiri, memberilah dengan pergi ke sana sendiri, memberilah dengan keyakinan yang kokoh, memberilah dengan pemahaman atas perbuatan dan akibat perbuatan. Mengapa? Agar kalian tidak mengalami akibat kedermawanan [yang dilakukan dengan salah], dengan cara Raja Pāyāsi dari Setavyā. Raja Pāyāsi adalah seorang praktisi kedermawanan, tetapi karena ia memberi tanpa keikhlasan, ia terlahir kembali [hanya] di istana kecil yang kosong di Hutan Akasia, bergantung pada empat raja dewa.”

Ini adalah apa yang dikatakan Yang Mulia Kumāra Kassapa. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Kumāra Kassapa, Raja Pāyāsi, para brahmana dan perumah tangga dari Setavyā, dan para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.