Madhyamāgama
9. Kotbah tentang Tujuh Kereta
Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, bersama-sama dengan sekumpulan besar para bhikkhu yang menghabiskan pengasingan musim hujan di sana. [Pada waktu yang sama] Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sedang menghabiskan pengasingan musim hujan di daerah asal [Sang Buddha].
Kemudian, sejumlah bhikkhu yang telah menyelesaikan pengasingan musim hujan di daerah asal [Sang Buddha], setelah tiga bulan berakhir, setelah menambal jubah mereka, mereka mengenakan jubah mereka, membawa mangkuk mereka, dan meninggalkan daerah asal [Sang Buddha] menuju Rājagaha. Dengan mengadakan perjalanan secara bertahap, mereka tiba di Rājagaha, di mana mereka pergi berdiam di Hutan Bambu. Kemudian para bhikkhu dari daerah asal [Sang Buddha] itu mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan menjatuhkan kepala mereka, dan duduk pada satu sisi.
Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, dari manakah kalian datang, dan di tempat manakah kalian menghabiskan pengasingan musim hujan?”
Para bhikkhu dari daerah asal [Sang Buddha] menjawab: “Sang Bhagavā, kami datang dari daerah asal [Sang Bhagavā], setelah menghabiskan pengasingan musim hujan di sana.”
Sang Bhagavā bertanya kepada mereka:
“Di antara para bhikkhu yang tinggal di daerah asal[ku], siapakah bhikkhu yang dipuji oleh para bhikkhu lain [demikian]: Dengan diri sendiri memiliki sedikit keinginan dan merasa puas, ia berkata [kepada yang lain] memuji [perilaku] memiliki sedikit keinginan dan merasa puas; dengan diri sendiri tinggal dalam keterasingan, ia berkata memuji [perilaku] tinggal dalam keterasingan; dengan diri sendiri bersemangat, ia berkata memuji [perilaku] bersemangat; dengan diri sendiri memiliki perhatian benar, ia berkata memuji perhatian benar; dengan diri sendiri memiliki keterpusatan pikiran, ia berkata memuji keterpusatan pikiran; dengan diri sendiri memiliki kebijaksanaan, ia berkata memuji kebijaksanaan; dengan diri sendiri menghancurkan noda-noda, ia berkata memuji penghancuran noda-noda; dengan diri sendiri mendorong, menginspirasi, dan sepenuhnya menggembirakan [orang lain], ia berkata memuji [perilaku] mendorong, menginspirasi, dan sepenuhnya menggembirakan [orang lain].”
Para bhikkhu dari daerah asal [Sang Buddha] menjawab:
“Sang Bhagavā, para bhikkhu yang tinggal di daerah asal [Sang Bhagavā] memuji Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta [demikian]: Dengan diri sendiri memiliki sedikit keinginan dan merasa puas, ia berkata [kepada yang lain] memuji [perilaku] memiliki sedikit keinginan dan merasa puas; dengan diri sendiri tinggal dalam keterasingan, ia berkata memuji [perilaku] tinggal dalam keterasingan; dengan diri sendiri bersemangat, ia berkata memuji [perilaku] bersemangat; dengan diri sendiri memiliki perhatian benar, ia berkata memuji perhatian benar; dengan diri sendiri memiliki keterpusatan pikiran, ia berkata memuji keterpusatan pikiran; dengan diri sendiri memiliki kebijaksanaan, ia berkata memuji kebijaksanaan; dengan diri sendiri menghancurkan noda-noda, ia berkata memuji penghancuran noda-noda; dengan diri sendiri mendorong, menginspirasi, dan sepenuhnya menggembirakan [orang lain], ia berkata memuji [perilaku] mendorong, menginspirasi, dan sepenuhnya menggembirakan [orang lain].”
Pada waktu itu, Yang Mulia Sāriputta sedang duduk di antara perkumpulan itu. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir:
“Sang Bhagavā telah bertanya kepada para bhikkhu dari daerah asal [beliau] tentang hal ini dan para bhikkhu dari daerah asal [beliau] telah memberikan pujian tertinggi kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta [demikian]: Dengan diri sendiri memiliki sedikit keinginan dan merasa puas, ia berkata [kepada yang lain] memuji [perilaku] memiliki sedikit keinginan dan merasa puas; dengan diri sendiri tinggal dalam keterasingan, ia berkata memuji [perilaku] tinggal dalam keterasingan; dengan diri sendiri bersemangat, ia berkata memuji [perilaku] bersemangat; dengan diri sendiri memiliki perhatian benar, ia berkata memuji perhatian benar; dengan diri sendiri memiliki keterpusatan pikiran, ia berkata memuji keterpusatan pikiran; dengan diri sendiri memiliki kebijaksanaan, ia berkata memuji kebijaksanaan; dengan diri sendiri menghancurkan noda-noda, ia berkata memuji penghancuran noda-noda; dengan diri sendiri mendorong, menginspirasi, dan sepenuhnya menggembirakan [orang lain], ia berkata memuji [perilaku] mendorong, menginspirasi, dan sepenuhnya menggembirakan [orang lain].”
Yang Mulia Sāriputta berpikir lebih jauh: “Ketika aku dapat bertemu dengan Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, aku akan bertanya kepadanya beberapa hal. Ia mungkin akan mampu memahami [dan menjawab] pertanyaanku.”
Pada waktu itu Sang Bhagavā, yang telah menyelesaikan pengasingan musim hujan di Rājagaha, tiga bulan telah berakhir, setelah menambal jubahnya, mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya, meninggalkan Rājagaha menuju Sāvatthī. Dengan mengadakan perjalanan secara bertahap, beliau tiba di Sāvatthī, di mana beliau pergi berdiam di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
[Sementara itu,] setelah berdiam selama beberapa hari di Rājagaha, Yang Mulia Sāriputta dan para bhikkhu [yang telah datang] dari daerah asal [Sang Buddha] mengenakan jubah mereka, membawa mangkuk mereka, dan meninggalkan Rājagaha menuju Sāvatthī. Dengan mengadakan perjalanan secara bertahap, mereka tiba di Sāvatthī, di mana mereka pergi berdiam di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
Pada waktu itu Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, yang telah menyelesaikan pengasingan musim hujan di daerah asal [Sang Buddha], tiga bulan telah berakhir, setelah menambal jubahnya, mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan meninggalkan daerah asal [Sang Buddha] menuju Sāvatthī. Dengan mengadakan perjalanan secara bertahap, ia tiba di Sāvatthī, di mana ia pergi berdiam di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta mendekati Sang Buddha dan memberikan penghormatannya dengan menjatuhkan kepalanya. Kemudian ia membentangkan alas duduknya [pada beberapa jarak] di depan Sang Buddha dan duduk bersila.
Kemudian Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada beberapa bhikkhu lainnya: “Teman-teman yang mulia, apakah itu Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta?”
Para bhikkhu itu menjawab Yang Mulia Sāriputta: “Demikianlah. Yang mulia yang duduk di depan Sang Tathāgata, dengan kulit yang cerah dan hidung yang menonjol menyerupai paruh burung nuri, itulah beliau.”
Kemudian Yang Mulia Sāriputta, setelah mencatat penampilan wajah Puṇṇa Mantāṇiputta, menyimpan ingatan yang jelas tentangnya.
Ketika malam berakhir, pada saat fajar, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki Sāvatthī untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah memakan makan siangnya, ia meletakkan jubah dan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya, meletakkan alas duduknya di atas bahunya, dan pergi ke suatu tempat untuk meditasi jalan di Hutan Orang Buta. Yang Mulia Sāriputta juga, ketika malam berakhir, pada saat fajar, mengenakan jubahnya, mengambil mangkuknya dan memasuki Sāvatthī untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah memakan makan siangnya, ia meletakkan jubah dan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya, meletakkan alas duduknya di atas bahunya, dan pergi ke suatu tempat untuk meditasi jalan di Hutan Orang Buta.
Kemudian, ketika Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta telah tiba di Hutan Orang Buta, ia membentangkan alas duduknya di bawah sebuah pohon dan duduk bersila. Yang Mulia Sāriputta juga, ketika tiba di Hutan Orang Buta, membentangkan alas duduknya di bawah sebuah pohon tidak jauh dari Puṇṇa Mantāṇiputta, dan duduk bersila.
Pada sore hari, setelah bangkit dari duduk bermeditasi, Yang Mulia Sāriputta mendekati Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, bertukar salam ramah tamah, dan, dengan duduk pada satu sisi, bertanya kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta: “Apakah yang mulia seseorang yang menjalankan kehidupan suci di bawah pertapa Gotama?”
[Puṇṇa Mantāṇiputta] menjawab: “Demikianlah.”
[Sāriputta bertanya]: “Bagaimanakah, sahabat yang mulia, apakah engkau menjalankan kehidupan suci di bawah pertapa Gotama demi tujuan pemurnian moralitas?”
[Puṇṇa Mantāṇiputta] menjawab: “Bukan demikian.”
[Sāriputta bertanya lebih lanjut]:
“Apakah engkau menjalankan kehidupan suci di bawah pertapa Gotama demi tujuan pemurnian pikiran…, demi tujuan pemurnian pandangan…, demi tujuan pemurnian [dari] rintangan keragu-raguan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan dari [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan tentang jalan untuk meninggalkan?”
[Atas masing-masing pertanyaan Puṇṇa Mantāṇiputta] menjawab: “Bukan demikian.”
[Sāriputta bertanya lebih lanjut]:
“Sebelumnya, aku bertanya kepada yang mulia apakah beliau menjalankan kehidupan suci di bawah pertapa Gotama, dan beliau berkata bahwa demikianlah halnya. Sekarang aku bertanya kepada yang mulia apakah beliau menjalankan kehidupan suci di bawah pertapa Gotama demi tujuan pemurnian moralitas, dan beliau menjawab “Bukan demikian.” [Aku juga telah bertanya kepada yang mulia apakah] beliau menjalankan kehidupan suci di bawah pertapa Gotama demi tujuan pemurnian pikiran…, demi tujuan pemurnian pandangan…, demi tujuan pemurnian [dari] rintangan keragu-raguan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan dari [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan tentang jalan untuk meninggalkan; dan [terhadap masing-masing pertanyaan] beliau menjawab, “Bukan demikian.” Dalam hal itu, demi tujuan apakah engkau menjalankan kehidupan suci di bawah pertapa Gotama?”
[Puṇṇa Mantāṇiputta] menjawab: “Sabahat yang mulia, demi tujuan nirvana tanpa sisa.”
[Sāriputta] bertanya lebih jauh: “Bagaimanakah ini, kemudian, sahabat yang mulia? Apakah demi tujuan pemurnian moralitas sehingga pertapa Gotama menunjukkan nirvana tanpa sisa?”
[Puṇṇa Mantāṇiputta] menjawab: “Bukan demikian.”
[Sāriputta bertanya lebih jauh]:
“Apakah demi tujuan pemurnian pikiran…, demi tujuan pemurnian pandangan…, demi tujuan pemurnian [dari] rintangan keragu-raguan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan dari [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan tentang jalan untuk meninggalkan sehingga pertapa Gotama menunjukkan nirvana tanpa sisa?”
[Atas masing-masing pertanyaan Puṇṇa Mantāṇiputta] menjawab: “Bukan demikian.”
[Sāriputta bertanya lebih lanjut]:
“Baru saja, aku bertanya kepada yang mulia apakah demi tujuan pemurnian moralitas sehingga pertapa Gotama menunjukkan nirvana tanpa sisa, dan beliau menjawab “Bukan demikian.” [Dan aku bertanya] apakah demi tujuan pemurnian pikiran…, demi tujuan pemurnian pandangan…, demi tujuan pemurnian [dari] rintangan keragu-raguan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan dari [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan tentang jalan untuk meninggalkan sehingga pertapa Gotama menunjukkan nirvana tanpa sisa; dan [terhadap masing-masing pertanyaan] yang mulia menjawab “Bukan demikian.” Apakah makna dari apa yang dikatakan yang mulia? Bagaimanakah seseorang dapat memahaminya?”
[Puṇṇa Mantāṇiputta] menjawab:
“Sahabat yang mulia, jika Sang Bhagavā, pertapa Gotama, menunjukkan nirvana tanpa sisa demi tujuan pemurnian moralitas, maka itu akan memuliakan apa yang dengan sisa [kemelekatan] sebagai yang tanpa sisa [kemelekatan. Jika Sang Bhagavā, pertapa Gotama, menunjukkan nirvana tanpa sisa demi tujuan pemurnian pikiran…, demi tujuan pemurnian pandangan…, demi tujuan pemurnian [dari] rintangan keragu-raguan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan dari [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan…, demi tujuan pemurnian dengan pengetahuan tentang jalan untuk meninggalkan, maka itu akan memuliakan apa yang dengan sisa [kemelekatan] sebagai yang tanpa sisa [kemelekatan].
“[Sebaliknya,] sahabat yang mulia, jika Sang Bhagavā menunjukkan nirvana tanpa sisa terpisah dari hal-hal ini, maka seorang duniawi juga [dapat mencapai] nirvana tanpa sisa, karena seorang duniawi juga terpisah dari hal-hal ini.
“Alih-alih, sahabat yang mulia, [adalah] melalui pemurniaan moralitas, [sehingga] seseorang mencapai pemurnian pikiran; melalui pemurnian pikiran, seseorang mencapai pemurnian pandangan; melalui pemurnian pandangan, seseorang mencapai pemurniaan [dari] rintangan keragu-raguan; melalui pemurnian [dari] rintangan keragu-raguan, seseorang mencapai pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan; melalui pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan, seseorang mencapai pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan; melalui pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan, seseorang mencapai pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan jalan untuk meninggalkan; melalui pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan jalan untuk meninggalkan, Sang Bhagavā, pertapa Gotama, menunjukkan nirvana tanpa sisa.
“Sahabat yang mulia, dengarkanlah lebih lanjut. Suatu ketika Raja Pasenadi Kosala berada di Sāvatthī dan memiliki beberapa urusan [untuk dihadiri] di Sāketa. Ia berpikir, “Dengan menggunakan cara yang tepat apakah aku dapat mencapai Sāketa dari Sāvatthī dalam perjalanan satu hari?” Ia lebih lanjut berpikir, “Aku sekarang akan memerintahkan tujuh kereta yang diatur [di sepanjang jalan] dari Sāvatthī ke Sāketa.” Maka, ia memerintahkan tujuh kereta yang diatur [di sepanjang jalan] dari Sāvatthī ke Sāketa. Setelah mengatur tujuh kereta, ia berangkat dari Sāvatthī dalam kereta pertama. Dengan mengendarai kereta pertama, ia sampai di kereta kedua; dengan meninggalkan di belakang kereta pertama dan mengendarai kereta kedua, ia sampai di kereta ketiga; dengan meninggalkan di belakang kereta kedua dan mengendarai kereta ketiga, ia sampai di kereta keempat; dengan meninggalkan di belakang kereta ketiga dan mengendarai kereta keempat, ia sampai di kereta kelima; dengan meninggalkan di belakang kereta keempat dan mengendarai kereta kelima, ia sampai di kereta keenam; dengan meninggalkan di belakang kereta kelima dan mengendarai kereta keenam, ia sampai di kereta ketujuh; dengan meninggalkan di belakang kereta keenam dan mengendarai kereta ketujuh, ia sampai di Sāketa dalam satu hari.
“Ketika raja telah menyelesaikan urusan di Sāketa, orang-orang besar istana berkumpul dan mengelilingi raja, yang duduk di aula utama, dan dengan hormat berkata: “Raja Besar, apakah anda datang dalam satu hari dari Sāvatthī ke Sāketa?”
“Raja menjawab: “Demikianlah.”
“[Orang-orang istana bertanya]: “Apakah Raja Besar datang dalam satu hari dari Sāvatthī ke Sāketa dengan mengendarai kereta pertama?”
“Raja menjawab: “Bukan demikian.”
“[Orang-orang istana bertanya lebih lanjut]: “Apakah anda datang dari Sāvatthī ke Sāketa dengan mengendarai kereta kedua…, dengan kereta ketiga…, (dan seterusnya sampai dengan) dengan mengendarai kereta ketujuh?” [Dan terhadap masing-masing pertanyaan] raja menjawab: “Bukan demikian.”
“Apakah yang engkau katakan, sahabat yang mulia: dengan cara apa Raja Pasenadi Kosala seharusnya menjawab ketika ditanyakan hal ini oleh perkumpulan orang istana?
Sāriputta menjawab:
“Raja [seharusnya] menjawab perkumpulan orang istana: “Aku sedang berada di Sāvatthī dan aku memiliki beberapa urusan [untuk dihadiri] di Sāketa. Kemudian aku berpikir, “Dengan menggunakan cara yang tepat apakah aku dapat mencapai Sāketa dari Sāvatthī dalam perjalanan satu hari?” Aku lebih lanjut berpikir, ‘Aku sekarang akan memerintahkan tujuh kereta yang diatur [di sepanjang jalan] dari Sāvatthī ke Sāketa.’ Maka, aku memerintahkan tujuh kereta yang diatur [di sepanjang jalan] dari Sāvatthī ke Sāketa. Setelah mengatur tujuh kereta, aku berangkat dari Sāvatthī dalam kereta pertama. Dengan mengendarai kereta pertama, aku sampai di kereta kedua; dengan meninggalkan di belakang kereta pertama dan mengendarai kereta kedua, aku sampai di kereta ketiga; dengan meninggalkan di belakang kereta kedua dan mengendarai kereta ketiga, aku sampai di kereta keempat; dengan meninggalkan di belakang kereta ketiga dan mengendarai kereta keempat, aku sampai di kereta kelima; dengan meninggalkan di belakang kereta keempat dan mengendarai kereta kelima, aku sampai di kereta keenam; dengan meninggalkan di belakang kereta kelima dan mengendarai kereta keenam, aku sampai di kereta ketujuh; dengan meninggalkan di belakang kereta keenam dan mengendarai kereta ketujuh, aku sampai di Sāketa dalam satu hari.
“Demikianlah, sahabat yang mulia, [seharusnya] Raja Pasenadi Kosala menjawab pertanyaan yang diajukan dengan cara ini oleh perkumpulan orang istana.
Puṇṇa Mantāṇiputta berkata:
“Dengan cara yang sama, sahabat yang mulia, melalui pemurnian moralitas, seseorang mencapai pemurnian pikiran; melalui pemurnian pikiran, seseorang mencapai pemurnian pandangan; melalui pemurnian pandangan, seseorang mencapai pemurnian [dari] rintangan keragu-raguan; melalui pemurnian [dari] rintangan keragu-raguan, seseorang mencapai pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan; melalui pengetahuan dan penglihatan [apa yang merupakan] sang jalan dan [apa yang] bukan sang jalan, seseorang mencapai pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan; melalui pemurnian dengan pengetahuan dan penglihatan tentang sang jalan, seseorang mencapai pemurnian dengan pengetahuan tentang jalan untuk meninggalkan; melalui pengetahuan dengan pengetahuan tentang jalan untuk meninggalkan, Sang Bhagavā menunjukkan nirvana tanpa sisa.”
Kemudian Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta: “Siapakah nama yang mulia? Bagaimanakah para sahabat beliau dalam kehidupan suci memanggil yang mulia?”
Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta menjawab: “Sahabat yang mulia, aku bernama Puṇṇa dan ibuku bernama Mantāṇi, oleh karena itu, para sahabatku dalam kehidupan suci memanggilku Puṇṇa Mantāṇiputta.”
Yang Mulia Sāriputta menyatakan pujiannya:
“Mengagumkan, mengagumkan, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta! Seperti layaknya seorang siswa Sang Tathāgata, [yang mulia] telah menjelaskan dengan bijaksana, dengan kepandaian dan ketetapan hati, tenang dan tanpa ragu-ragu, sebagai seorang yang telah menyelesaikan latihan yang telah mencapai kefasihan berbicara yang mulia, telah mencapai bendera tanpa-kematian, dan berdiam setelah dirinya sendiri merealisasi unsur tanpa-kematian—karena yang mulia telah mampu, ketika ditanyai, menjawab dengan lengkap tentang hal yang mendalam. Teman-teman Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta dalam kehidupan suci akan memperoleh manfaat besar jika mereka bertemu dengan Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, untuk berkunjung dan memberikan penghormatan kepada beliau pada saat yang tepat. Sekarang aku juga telah memperoleh manfaat besar dengan mengunjungi dan memberikan penghormatan kepada beliau pada saat yang tepat [ini]. Manfaat besar akan diperoleh oleh teman-teman beliau dalam kehidupan suci jika mereka menggulung jubah mereka dan meletakkannya di atas kepala mereka untuk membawa Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta [di atas kepala mereka]. Sekarang aku juga telah memperoleh manfaat besar ketika mengunjungi dan memberikan penghormatan kepada beliau pada saat yang tepat [ini].”
Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Siapakah nama yang mulia? Bagaimanakah para sahabat beliau dalam kehidupan suci memanggil yang mulia?”
Yang Mulia Sāriputta menjawab: “Sahabat yang mulia, namaku adalah Upatissa dan nama ibuku adalah Sārī; oleh karena itu teman-temanku dalam kehidupan suci memanggilku Sāriputta.”
Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta menyatakan pujiannya:
“Hari ini, tanpa disadari, aku telah berdiskusi dengan seorang siswa Sang Bhagavā, tanpa disadari aku telah berdiskusi dengan yang kedua paling dihormati, tanpa disadari aku telah berdiskusi dengan jenderal Dharma, tanpa disadari aku telah berdiskusi dengan siswa yang menjaga roda Dharma berputar. Jika aku mengetahui bahwa ini adalah Yang Mulia Sāriputta, aku tidak akan dapat menjawab dengan bahkan satu kalimat, apalagi berdiskusi sangat mendalam! Mengagumkan, mengagumkan, Yang Mulia Sāriputta! Seperti layaknya seorang siswa Sang Tathāgata, [yang mulia] telah menjelaskan dengan bijaksana, dengan kepandaian dan ketetapan hati, tenang dan tanpa ragu-ragu, sebagai seorang yang telah menyelesaikan latihan yang telah mencapai kefasihan berbicara yang mulia, telah mencapai bendera tanpa-kematian, dan berdiam setelah dirinya sendiri merealisasi unsur tanpa-kematian—karena yang mulia telah mengajukan pertanyaan yang sangat mendalam. Teman-teman Yang Mulia Sāriputta dalam kehidupan suci akan memperoleh manfaat besar jika mereka bertemu dengan Yang Mulia Sāriputta, untuk berkunjung dan memberikan penghormatan kepada beliau pada saat yang tepat. Sekarang aku juga telah memperoleh manfaat besar dengan mengunjungi dan memberikan penghormatan kepada beliau pada saat yang tepat [ini]. Manfaat besar akan diperoleh oleh teman-teman beliau dalam kehidupan suci jika mereka menggulung jubah mereka dan meletakkannya di atas kepala mereka untuk membawa Yang Mulia Sāriputta [di atas kepala mereka].”
Dengan cara ini kedua orang yang mulia ini memuji satu sama lain. Setelah memuji satu sama lain, mereka bergembira dan mengingat [tanya jawab itu] dengan baik. Masing-masing bangkit dari tempat duduknya dan kembali ke tempat kediamannya [masing-masing].