Madhyamāgama

62. Kotbah tentang Raja Bimbisāra Bertemu Sang Buddha

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha, yang sedang berdiam di negeri Magadha dengan sejumlah besar bhikkhu—seribu orang bhikkhu, semuanya bebas dari kemelekatan, yang telah mencapai kebenaran, sebelumnya para pertapa berambut-kusut—sedang mendekati Rājagaha, kota Magadha.

Kemudian, raja Magadha, Bimbisāra, mendengar bahwa Sang Bhagavā, yang sedang berdiam di negeri Magadha dengan sejumlah besar bhikkhu—seribu orang bhikkhu, semuanya bebas dari kemelekatan, yang telah mencapai kebenaran, sebelumnya para pertapa berambut-kusut—telah datang ke Rājagaha, kota Magadha.

Setelah mendengar hal itu, Bimbisāra, raja Magadha, mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, yaitu, pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kaki. Setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, ia pergi mengunjungi Sang Buddha ditemani oleh tak terhitung orang, [suatu kumpulan yang] panjangnya satu liga.

Kemudian Sang Bhagavā, yang melihat dari jauh bahwa Bimbisāra, raja Magadha, datang, meninggalkan jalan dan pergi ke sebatang pohon banyan kerajaan yang berkembang dengan baik, menempatkan alas duduknya di bawahnya, dan duduk bersila, bersama-sama dengan kumpulan para bhikkhu.

Bimbisāra, raja Magadha, melihat dari jauh Sang Bhagavā di antara pepohonan hutan, yang dimuliakan dan indah, bagaikan rembulan di tengah-tengah bintang-bintang, dengan cahaya yang cemerlang, bercahaya bagaikan sebuah gunung emas, diberkahi dengan penampilan yang gagah dan keagungan yang mulia, dengan indera-indera yang tenang, bebas dari halangan, sempurna dan terdisiplinkan, dengan pikirannya yang tenang dan damai. Melihat hal ini, [raja] turun dari keretanya.

Seperti raja khattiya yang telah [dinobatkan dengan] percikan air pada kepalanya, yang adalah penguasa orang-orangnya dan berkuasa atas seluruh negeri, ia dilengkapi dengan lima lencana kerajaan: pertama, sebilah pedang; kedua, sebuah payung; ketiga, sebuah hiasan kepala kerajaan; keempat, sebuah kipas dengan pegangan yang berhiaskan permata; dan kelima, sandal berhiasan. Setelah melepaskan semua ini dan meninggalkan armada pasukannya yang berunsur empat di belakang, ia mendekati Sang Buddha dengan berjalan kaki.

Tiba di sana, ia memberikan penghormatan dan tiga kali mengumumkan namanya, “Sang Bhagavā, aku raja Magadha, Seniya Bimbisāra.” [Ia mengatakan] ini tiga kali.

Kemudian, Sang Bhagavā berkata, “Raja besar, sesungguhnya, sesungguhnya, engkau adalah Seniya Bimbisāra, raja Magadha.”

Kemudian Seniya Bimbisāra, raja Magadha, setelah mengumumkan namanya tiga kali, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan duduk pada satu sisi. Beberapa di antara para penduduk Magadha memberikan penghormatan [dengan kepala mereka] pada kaki Sang Buddha dan kemudian duduk pada satu sisi; beberapa bertukar salam dengan Sang Buddha dan kemudian duduk pada satu sisi; beberapa menyalami Sang Buddha dengan telapak tangan disatukan [untuk menghormat] dan kemudian duduk di satu sisi; dan beberapa, setelah melihat Sang Buddha dari jauh, duduk dengan berdiam diri.

Pada waktu itu, Yang Mulia Uruvela Kassapa sedang duduk di antara kumpulan [para bhikkhu]. Yang Mulia Uruvela Kassapa dengan baik diingat oleh penduduk Magadha, diingat oleh mereka sebagai seorang guru besar dan dihormati dan seorang Manusia Sejati, bebas dari kemelekatan.

Kemudian para penduduk Magadha berpikir:

“Apakah pertapa Gotama berlatih dalam kehidupan suci di bawah Uruvela Kassapa atau apakah Uruvela Kassapa berlatih dalam kehidupan suci di bawah pertama Gotama?”

Pada waktu itu Sang Bhagavā, mengetahui apa yang dipikirkan penduduk Magadha, membacakan suatu syair kepada Yang Mulia Uruvela Kassapa:

Uruvela [Kassapa], apakah yang engkau lihat
Bahwa engkau berhenti [menyembah] api dan datang ke sini?
Katakan kepadaku, Kassapa,
Mengapa engkau tidak lagi [mengadakan] pengorbanan api?

Uruvela Kassapa menjawab:

Aku menyembah api demi keinginan
Untuk makanan dan minuman dengan berbagai rasa.
[Tetapi] penglihatan atas jalan [tengah] muncul, seperti ini,
Oleh karena itu, aku tidak lagi bergembira dalam pengorbanan [demikian].

Sang Buddha bertanya lebih lanjut:

Kassapa, [walaupun] pikiranmu tidak bergembira
Dalam makanan dan minuman dengan berbagai rasa,
Katakan kepadaku, Kassapa,
Mengapa engkau tidak bergembira dalam [menjadi] penghuni di surga?

Uruvela Kassapa menjadi:

[Karena] melihat kedamaian, lenyapnya,
Dan yang tidak berkondisi, aku tidak menginginkan kelangsungan [apa pun],
Paling kecil dari semua [adalah] surga yang dihormati.
Oleh karena itu, aku tidak lagi mengadakan pengorbanan api

Sang Bhagavā adalah yang tertinggi,
Sang Bhagavā tidak memiliki pikiran salah,
Beliau telah merealisasi dan tercerahkan pada semua hal.
Aku telah menerima Dharma tertinggi [beliau].

Kemudian Sang Bhagavā berkata, “Kassapa, engkau seharusnya mempertunjukkan kekuatan batin[mu], untuk membangkitkan keyakinan dan kegembiraan dalam perkumpulan.”

Kemudian Yang Mulia Uruvela Kassapa melakukan suatu pertunjukan kekuatan batin sehingga ia menghilang dari tempat duduknya dan muncul di timur, melayang melalui udara seraya mempertunjukkan empat posisi tubuh, di mana yang pertama adalah berjalan, kedua adalah berdiri, ketiga adalah duduk, dan keempat adalah berbaring.

Lagi, ia memasuki konsentrasi pada [unsur] api. Ketika Yang Mulia Uruvela Kassapa telah memasuki konsentrasi pada [unsur] api, muncul dari tubuhnya nyala api dengan berbagai warna: biru, kuning, merah, dan putih, dan di tengah-tengahnya air jernih. Ketika api muncul dari bagian bawah tubuhnya, air muncul dari bagian atas tubuhnya; ketika api muncul dari bagian atas tubuhnya, air muncul dari bagaian bawah tubuhnya.

Dengan cara yang sama [ia muncul] di selatan … di barat … di utara, melayang melalui udara seraya mempertunjukkan empat posisi tubuh, di mana yang pertama adalah berjalan, kedua adalah berdiri, ketiga adalah duduk, dan keempat adalah berbaring.

Lagi, ia memasuki konsentrasi pada [unsur] api. Ketika Yang Mulia Uruvela Kassapa telah memasuki konsentrasi pada [unsur] api, muncul dari tubuhnya nyala api dengan berbagai warna: biru, kuning, merah, dan putih, dan di tengah-tengahnya air jernih. Ketika api muncul dari bagian bawah tubuhnya, air muncul dari bagian atas tubuhnya; ketika api muncul dari bagian atas tubuhnya, air muncul dari bagaian bawah tubuhnya.

Kemudian Yang Mulia Uruvela Kassapa, setelah menyelesaikan pertunjukan kekuatan batinnya, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan berkata:

“Sang Bhagavā, Sang Buddha adalah guruku; aku adalah siswa Sang Buddha. Sang Buddha memiliki pengetahuan yang meliputi segalanya; aku tidak memiliki pengetahuan yang meliputi segalanya.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata, “Demikianlah, Kassapa; demikianlah, Kassapa. Aku memiliki pengetahuan yang meliputi segalanya; engkau tidak memiliki pengetahuan yang meliputi segalanya.”

Pada waktu itu, Yang Mulia Uruvela Kassapa membacakan suatu syair tentang dirinya sendiri:

Pada masa lampau ketika aku tidak mengetahui,
Aku memberikan pengorbanan kepada api agar terbebaskan.
Walaupun sudah tua, aku bagaikan terlahir buta.
Aku memiliki [pandangan] salah dan tidak melihat kebenaran tertinggi.

Sekarang aku melihat jalan tertinggi
Yang diajarkan sang nāga yang tertinggi:
Yang tidak berkondisi, pembebasan akhir dari penderitaan.
Ketika itu terlihat, kelahiran dan kematian diakhiri.

Setelah menyaksikan hal ini, para penduduk Magadha berpikir:

“Pertapa Gotama tidak berlatih dalam kehidupan suci di bawah Uruvela Kassapa; Uruvela Kassapa berlatih dalam kehidupan suci di bawah pertapa Gotama.”

Sang Bhagavā, mengetahui bahwa pikiran para penduduk Magadha, kemudian mengajarkan Dharma kepada Seniya Bimbisāra, raja Magadha, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya.

Setelah dengan berbagai cara terampil mengajarkannya Dharma, setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, [beliau melakukan] seperti yang dilakukan semua Buddha ketika pertama kali mengajarkan Dharma sejati untuk menggembirakan para pendengarnya: beliau mengajarkannya tentang kedermawanan, jasa, kelahiran kembali di surga, kerugian keinginan indera, dan kekotoran dari kelahiran dan kematian [yang berulang], dengan memuji kebosanan dan kemurnian dari unsur-unsur sang jalan. Sang Bhagavā memberikan raja besar itu ajaran-ajaran demikian.

Sang Buddha mengetahui bahwa pikiran [raja] bergembira, siap, lunak, dapat menahan, ringan, terpusat, bebas dari keragu-raguan, bebas dari rintangan, [memiliki] kemampuan dan kekuatan untuk menerima Dharma sejati, sesuai dengan ajaran pokok semua Buddha. Sang Bhagavā kemudian mengajarkannya tentang penderitaan, munculnya, lenyapnya dan jalan [menuju lenyapnya]:

“Raja besar, bentuk materi muncul dan lenyap. Engkau seharusnya mengetahui muncul dan lenyapnya bentuk materi. Raja besar, perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran muncul dan lenyap. Engkau seharusnya mengetahui muncul dan lenyapnya kesadaran. Raja besar, seperti halnya ketika hujan turun dengan deras, gelembung-gelembung muncul dan lenyap di permukaan air, demikianlah, raja besar, muncul dan lenyapnya bentuk materi. Raja besar, perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran muncul dan lenyap. Engkau seharusnya mengetahui muncul dan lenyapnya kesadaran.

“Raja besar, jika seorang anggota keluarga mengetahui muncul dan lenyapnya bentuk materi, maka ia mengetahui bahwa tidak akan ada kemunculan kembali bentuk materi [yang sama] pada masa yang akan datang.

“Raja besar, jika seorang anggota keluarga mengetahui muncul dan lenyapnya perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran, maka ia mengetahui bahwa tidak akan ada kemunculan kembali kesadaran [yang sama] pada masa yang akan datang.

“Raja besar, jika seorang anggota keluarga [dengan cara ini] mengetahui bentuk materi sebagaimana adanya, maka ia tidak melekat pada bentuk materi, tidak berspekulasi tentang bentuk materi, tidak terkotori [oleh] bentuk materi, tidak berdiam dalam bentuk materi, dan tidak bergembira dalam bentuk materi sebagai “aku adalah ini.”

“Raja besar, jika seorang anggota keluarga [dengan cara ini] mengetahui perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran sebagaimana adanya, maka ia tidak melekat pada kesadaran, tidak berspekulasi tentang kesadaran, tidak terkotori [oleh] kesadaran, tidak berdiam dalam kesadaran, dan tidak bergembira dalam kesadaran sebagai “aku adalah ini.”

“Raja besar, jika seorang anggota keluarga tidak melekat pada bentuk materi, tidak berspekulasi tentang bentuk materi, tidak terkotori [oleh] bentuk materi, tidak berdiam dalam bentuk materi, dan tidak bergembira dalam bentuk materi sebagai “aku adalah ini,” maka ia tidak akan lagi melekat pada bentuk pada masa yang akan datang.

“Raja besar, jika seorang anggota keluarga tidak melekat pada perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran sebagaimana adanya, maka ia tidak melekat pada kesadaran, tidak berspekulasi tentang kesadaran, tidak terkotori [oleh] kesadaran, tidak berdiam dalam kesadaran, dan tidak bergembira dalam kesadaran sebagai “aku adalah ini,” maka ia tidak akan lagi melekat pada kesadaran pada masa yang akan datang.

“Raja besar, seorang anggota keluarga demikian telah menjadi tidak terukur, tidak terhitung, tidak terbatas. Ia telah mencapai kedamaian. Jika ia telah menjadi tidak melekat dari lima kelompok unsur kehidupan, ia tidak akan lagi melekat pada kelompok unsur kehidupan apa pun.”

Kemudian para penduduk Magadha berpikir:

“Jika bentuk materi tidak kekal, perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran tidak kekal, maka siapakah yang menjalani dan yang mengalami penderitaan dan kebahagiaan?”

Sang Bhagavā, mengetahui pikiran para penduduk Magadha, berkata kepada para bhikkhu:

“Seorang duniawi yang bodoh, yang tidak terpelajar, menganggap dirinya sebagai “aku adalah diri” dan melekat pada diri. Namun, tidak ada diri; tidak ada yang menjadi milik diri; [semua ini] adalah kosong dari diri dan kosong dari apa pun yang menjadi milik diri. Ketika fenomena muncul, mereka muncul; ketika fenomena lenyap, mereka lenyap. Semua ini [hanyalah] gabungan sebab dan kondisi, yang memunculkan penderitaan. Jika sebab dan kondisi tidak ada, maka semua penderitaan akan lenyap. Adalah karena gabungan sebab dan kondisi sehingga makhluk-makhluk hidup berlanjut dan semua fenomena muncul. Sang Tathāgata, setelah melihat semua makhluk hidup terus-menerus muncul, menyatakan: Terdapat kelahiran dan terdapat kematian. Dengan mata dewa, yang dimurnikan dan melampaui [penglihatan] manusia, aku melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, bagus atau tidak bagus, ketika mereka datang dan pergi di antara alam-alam kehidupan yang baik atau buruk, sesuai dengan perbuatan mereka [sebelumnya]. Aku melihat ini sebagaimana adanya. Jika makhluk-makhluk hidup ini berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan dan pikiran, jika mereka tidak menghina para orang mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan perbuatan [berdasarkan] pandangan benar, maka karena sebab dan kondisi ini, saat hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti akan pergi ke alam kehidupan yang baik, [bahkan] ke alam surga.

“Mengetahui bahwa ini adalah demikian, aku tidak mengatakan kepada mereka, “Adalah diri yang dapat merasakan, dapat berbicara, yang memberikan ajaran-ajaran, yang melakukan pengembangan, yang mengajarkan pengembangan, yang mengalami buah perbuatan baik atau buruk di sini dan di sana.” Dalam hal ini, seseorang mungkin berpikir, “Ini tidak sesuai; ini tidak dapat dipertahankan.”

“[Tetapi walaupun mereka keberatan] proses ini yang terjadi sesuai dengan Dharma: Karena ini, itu muncul; jika sebab ini tidak muncul, itu tidak muncul. Karena ini ada, itu ada; jika ini lenyap, itu lenyap. Dengan kata lain: dengan ketidaktahuan sebagai kondisi terdapat bentukan kehendak; (dan seterusnya sampai dengan) dengan kelahiran sebagai kondisi terdapat usia tua dan kematian. Jika ketidaktahuan lenyap, bentukan kehendak lenyap (dan seterusnya sampai dengan) jika kelahiran lenyap, usia tua dan kematian lenyap.”

[Sang Buddha berkata:] “Raja besar, apakah yang engkau pikirkan? Apakah bentuk materi kekal atau tidak kekal?”

[Raja] menjawab, “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi, “Jika ia tidak kekal, apakah ia adalah penderitaan atau bukan penderitaan?”

[Raja] menjawab, “Ia adalah penderitaan [karena] ia berubah, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi, “Jika ia tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar menganggapnya sebagai ‘Ini adalah aku, ini adalah milikku, aku milik itu’?”

[Raja] menjawab, “Tidak, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Raja besar, apakah yang engkau pikirkan? Apakah perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran kekal atau tidak kekal?”

[Raja] menjawab, “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi, “Jika ia tidak kekal, apakah ia adalaah penderitaan atau bukan penderitaan?”

[Raja] menjawab, “Ia adalah penderitaan [karena] ia berubah, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi, “Jika ia tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar menganggapnya sebagai: ‘Ini adalah aku, ini adalah milikku, aku milik itu’?”

[Raja] menjawab, “Tidak, Sang Bhagavā.”

Sang Buddha berkata:

“Oleh karena itu, engkau seharusnya berlatih dengan cara ini:

“Apa pun bentuk materi di sana, apakah masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, baik atau buruk, jauh atau dekat, semua itu bukan aku, semua itu bukan milikku, dan aku bukan milik itu.

“Engkau seharusnya dengan bijaksana merenungkannya dan mengetahuinya sebagaimana adanya.

“Raja besar, “Apa pun perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran di sana, apakah masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, baik atau buruk, jauh atau dekat, semua itu bukan aku, semua itu bukan milikku, dan aku bukan milik itu.” Engkau seharusnya dengan bijaksana merenungkannya dan mengetahuinya sebagaimana adanya.

“Raja besar, jika seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan dengan cara ini, maka ia menjadi kecewa dengan bentuk materi, kecewa dengan perasaan … dengan persepsi … dengan bentukan kehendak … dengan kesadaran. Setelah menjadi kecewa, ia menjadi bosan. Setelah menjadi bosan, ia mencapai pembebasan. Setelah mencapai pembebasan, ia mengetahui bahwa ia terbebaskan. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain.”

Ketika Sang Buddha menyampaikan ajaran ini, [pikiran] Seniya Bimbisāra, raja Magadha, menjadi bebas dari kekotoran-kekotoran, dan [sehubungan] dengan semua fenomena, mata Dharma muncul [dalam dirinya]; dan [pikiran] delapan puluh ribu dewa dan dua belas ribu orang penduduk Magadha menjadi bebas dari kekotoran-kekotoran, dan [sehubungan] dengan semua fenomena, mata Dharma muncul [dalam diri mereka].

Kemudian Seniya Bimbisāra, raja Magadha, melihat Dharma, mencapai Dharma, merealisasi Dharma yang sangat murni; ia meninggalkan keragu-raguan, mengatasi kebingungan; ia tidak akan mengambil guru lain, tidak akan pernah mengikuti [guru] lain; ia tanpa ketidakpastian.

Setelah mencapai buah realisasi dan mencapai ketanpagentaran dalam Dharma Sang Bhagavā, [raja] bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan [dengan kepalanya] pada kaki Sang Buddha, dan berkata:

“Sang Bhagavā, aku sekarang mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan komunitas para bhikkhu. Semoga Sang Bhagavā sudi menerimaku sebagai seorang pengikut awam; sejak hari ini sampai kehidupan berakhir, aku mengambil perlindungan [kepada Tiga Permata] selama hidupku.”

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, Seniya Bimbisāra, raja Magadha, delapan puluh ribu dewa, dua belas ribu orang penduduk Magadha, dan seribu orang bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.