Madhyamāgama

63. Kotbah di Vebhaḷiṅga

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Kosala. Pada waktu itu Sang Bhagavā sedang berjalan di sebuah jalan bersama-sama dengan sekumpulan besar para bhikkhu. Dalam perjalanan beliau tersenyum dengan penuh kebahagiaan.

Yang Mulia Ānanda, ketika melihat Sang Bhagavā tersenyum, menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Sang Buddha dan berkata:

“Sang Bhagavā, apakah alasan atas senyum ini? Para Buddha dan Tathāgata, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, tidak tersenyum dengan sembarangan, tanpa alasan. Semoga aku mendengar makna [dari senyuman ini]”

Kemudian Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, di tempat ini Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, duduk dan mengajarkan para siswa[nya] Dharma.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda mempersiapkan sebuah tempat duduk di tempat itu dan, dengan menyatukan telapak tangan [untuk menghormat] kepada Sang Buddha, berkata:

“Sang Bhagavā, semoga Sang Bhagavā juga duduk di tempat ini dan mengajarkan para siswanya Dharma! Dengan cara ini, tempat ini akan telah digunakan oleh dua orang Tathāgata, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna.”

Kemudian Sang Bhagavā duduk pada tempat duduk yang dipersiapkan di tempat itu oleh Yang Mulia Ānanda. Setelah duduk, beliau berkata:

“Ānanda, di tempat ini terdapat aula pertemuan Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Duduk di tempat itu, Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengajarkan para siswanya Dharma.

“Ānanda, pada masa lampau tempat ini terdapat sebuah kota bernama Vebhaḷiṅga, yang sangat makmur dan menyenangkan, dengan banyak penduduk.

“Ānanda, di kota Vebhaḷiṅga terdapat seorang perumah tangga brahmana besar bernama Tanpa-kemarahan, yang sangat kaya dan makmur, dengan tak terhitung harta kekayaan, dan memiliki berlimpah-limpah semua jenis ternak, tanah, bawahan, dan manor.

“Ānanda, perumah tangga brahmana besar Tanpa-kemarahan memiliki seorang putra bernama Uttara, seorang brahmana muda. Ia lahir dari orang tua dengan keturunan murni. Selama tujuh generasi pada sisi ayah dan ibu terdapat kelangsungan kelahiran yang tidak terputus tanpa cacat. Ia telah mempelajari banyak hal dan mengingatnya, dan dapat mengulanginya. Ia menguasai empat Veda, dengan kosakata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah sebagai yang kelima.

“Ānanda, pemuda Uttara memiliki seorang teman baik bernama Nandipāla, yang adalah seorang pembuat tembikar. Pemuda Uttara selalu menyayanginya. Mereka bergembira ketika bertemu [satu sama lain], tidak pernah lelah karenanya.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar telah mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan komunitas para bhikkhu. Ia bebas dari keragu-raguan terhadap Tiga Permata, dan ia tidak memiliki kebingungan sehubungan dengan penderitaan, munculnya, lenyapnya, dan jalan [menuju lenyapnya]. Ia telah mencapai keyakinan, menjaga moralitas, banyak belajar, dermawan, dan sempurna dalam kebijaksanaan.

“[Nandipāla] menghindari diri dari pembunuhan, meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pisau dan gada. Ia memiliki [rasa] malu dan segan, dan pikiran [yang penuh dengan] cinta-kasih dan belas kasih, [yang berharap untuk] memberi manfaat kepada semua [makhluk], termasuk serangga. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan pembunuhan makhluk hidup.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari pengambilan apa yang tidak diberikan, telah meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan. Ia mengambil [hanya] apa yang diberikan dan bergembira dalam mengambil [hanya] apa yang diberikan. Ia selalu gemar berderma, bergembira di dalamnya, tanpa kekikiran, dan tidak mengharapkan imbalan. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan pengambilan apa yang tidak diberikan.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari aktivitas seksual, telah meninggalkan aktivitas seksual. Ia dengan tekun menjalankan kehidupan selibat, bersemangat dalam perilaku baik ini, murni, tanpa cacat, dengan menghindari dari dari keinginan seksual, meninggalkan keinginan seksual. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan aktivitas seksual.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari ucapan salah, telah meninggalkan ucapan salah. Ia mengatakan kebenaran, bergembira dalam kebenaran, dengan tidak tergoyahkan berkembang dalam kebenaran, sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak akan menipu [orang lain di] dunia. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan ucapan salah.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari ucapan yang bersifat memecah belah, telah meninggalkan ucapan yang bersifat memecah belah. Ia tidak terlibat dalam ucapan yang bersifat memecah belah, tidak bermaksud menyakiti orang lain. Mendengar sesuatu dari orang ini ia tidak mengatakannya kepada orang itu, untuk menyakiti orang ini; mendengar sesuatu dari orang itu ia tidak mengatakannya kepada orang ini, untuk menyakiti orang itu. Ia memiliki keinginan untuk menyatukan mereka yang terpecah belah, bergembira dalam persatuan. Ia tidak termasuk kelompok mana pun dan tidak bergembira dalam atau memuji pengelompokan. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan ucapan yang bersifat memecah belah.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari ucapan kasar, telah meninggalkan ucapan kasar. Ia telah meninggalkan jenis ucapan yang terdiri atas kata-kata yang kasar dan tidak sopan dalam nada, kata-kata yang menyakitkan hati yang menjengkelkan bagi telinga, yang tidak dinikmati atau diinginkan orang-orang, yang menyebabkan orang lain menderita dan kesal, dan yang tidak mendukung pada konsentrasi.

“Ia mengucapkan jenis ucapan yang terdiri dari kata-kata yang murni, damai, lembut, dan bermanfaat, yang menyenangkan bagi telinga dan memasuki telinga, yang dinikmati dan diinginkan, yang memberikan orang lain kebahagiaan, kata-kata yang mengandung makna, yang tidak membuat orang lain takut, dan yang mendukung orang lain dalam mencapai konsentrasi. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan ucapan kasar.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari ucapan omong kosong, telah meninggalkan ucapan omong kosong. Ia berkata pada waktu [yang tepat], mengatakan apa yang benar, apa yang merupakan Dharma, apa yang bermakna, apa yang menenangkan, bergembira dalam mengatakan apa yang menenangkan. [Sehubungan dengan] hal [apa pun] ia akan mengajar dengan baik dan menasehati dengan baik, sesuai dengan waktu [yang tepat] dan dengan cara yang tepat. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan ucapan omong kosong.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari mencari keuntungan, telah meninggalkan pencarian keuntungan. Ia telah meninggalkan timbangan dan pengukuran, meninggalkan menerima barang-barang, ia tidak mengikat orang-orang, tidak berusaha berbuat curang dengan pengukuran, atau ia menipu orang lain demi tujuan beberapaan keuntungan kecil. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan pencarian keuntungan.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima para janda atau gadis, telah meninggalkan menerima para janda atau gadis. Ia memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima para janda atau gadis.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima para pelayan laki-laki atau perempuan, telah meninggalkan menerima para pelayan laki-laki dan perempuan. Ia memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima para pelayan laki-laki atau perempuan.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba, telah meninggalkan menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima ayam atau babi, telah meninggalkan menerima ayam atau babi. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima ayam atau babi.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari tanah pertanian atau toko, telah meninggalkan menerima tanah pertanian atau toko. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima tanah pertanian atau toko.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak, telah meninggalkan menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari minuman keras, telah meninggalkan minuman keras. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan minuman keras.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari [penggunaan] tempat tidur yang tinggi atau lebar, telah meninggalkan [penggunaan] tempat tidur yang tinggi atau lebar. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan tempat tidur yang tinggi atau lebar.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari [penggunaan] kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan, telah meninggalkan [penggunaan] kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan. Ia memurnikan pikirannya sehubungan dengan kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari bernyanyi, menari, dan berperan [dalam pertunjukan drama], dan dari pergi melihat atau mendengarnya; ia telah meninggalkan nyanyian, tarian, dan peran [dalam pertunjukan drama] dan pergi melihat atau mendengarnya. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan nyanyian, tarian, dan peran [dalam pertunjukan drama], dan pergi melihat atau mendengarnya.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima emas dan perak, telah meninggalkan menerima emas dan perak. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima emas dan perak.

“Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari makan setelah tengah hari, telah meninggalkan makan setelah tengah hari. Ia selalu memakan [hanya] satu kali makan [setiap hari], tidak makan pada malam hari, dengan berlatih makan [hanya] pada waktu [yang tepat]. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan makan setelah tengah hari.

“Ānanda, seumur hidupnya Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari mengambil sekop dengan tangannya. Ia tidak menyenangi menggali tanah sendiri atau menyuruh orang lain melakukannya. Jika air telah membersihkan suatu tepi sungai sehingga ia longsor, atau jika tikus telah merusak tanah, ia akan mengambil [tanah] itu dan menggunakannya untuk membuat pot-potnya. Pot-pot ini akan ia letakkan pada satu sisi dan mengatakan kepada para pelanggan: “Jika kalian memiliki kacang polong, beras, gandum, biji rami, kacang bi, atau biji moster, letakkan mereka [sebagai pembayaran] dan ambil pot mana pun yang kalian suka.”

“Ānanda, seumur hidupnya Nandipāla sang pembuat tembikar telah merawat ayah dan ibunya, yang buta. Mereka sepenuhnya bergantung pada orang lain, sehingga ia merawat mereka.

“Ānanda, ketika malam telah berakhir, saat fajar, Nandipāla sang pembuat tembikar mendekati Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Tiba di sana, ia memberikan penghormatan dan duduk pada satu sisi. Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengajarkannya Dharma, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya. Setelah, dengan tak terhitung cara terampil, mengajarkannya Dharma, setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, [Tathāgata Kassapa] tetap berdiam diri.

“Kemudian, Ānanda, Nandipāla sang pembuat tembikar, setelah diajarkan Dharma oleh Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, setelah dinasehati, didorong, dan digembirakan, bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan pada kaki Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengelilinginya tiga kali dan pergi.

“Pada waktu itu, ketika malam telah berakhir, saat fajar, brahmana muda Uttara mengendarai sebuah kereta [yang ditarik oleh] kuda putih dan meninggalkan kota Vebhaḷiṅga ditemani oleh lima ratus orang brahmana muda. Ia sedang mendekati suatu tempat yang terpencil dengan maksud mengajar para siswanya, yang telah datang dari beberapa negeri yang berbeda, [dengan maksud] mengajarkan [mereka dalam] pengulangan kitab-kitab brahmanis.

“Kemudian brahmana muda Uttara melihat dari jauh bahwa Nandipāla sang pembuat tembikar datang. Melihatnya, ia bertanya, “Nandipāla, dari manakah engkau datang?”

“Nandipāla menjawab, “Aku datang dari memberikan penghormatan kepada Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Uttara, pergilah denganku dan dekatilah Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, dan berikan penghormatanmu!”

“Kemudian brahmana muda Uttara menjawab, “Nandipāla, aku tidak ingin menemui pertapa berkepala gundul itu. Pertapa berkepala gundul itu tidak mengetahui bagaimana mencapai sang jalan, karena sang jalan sulit untuk dicapai.”

“Kemudian Nandipāla sang pembuat tembikar memegang ujung simpul rambut brahmana muda Uttara dan memaksanya untuk turun dari kereta.

“Kemudian brahmana muda Uttara berpikir: “Pembuat tembikar Nandipāla ini tidak pernah bercanda dan ia tidak gila atau bodoh; pastilah terdapat alasan mengapa ia sekarang memegang ujung simpul rambutku.”

“Setelah berpikir demikian, ia berkata, “Nandipāla, aku akan pergi denganmu, aku akan pergi denganmu.”

“Nandipāla bergembira dan berkata, “Pergi [denganku dan menemui Tathāgata Kassapa] adalah sangat baik.”

“Kemudian Nandipāla sang pembuat tembikar dan Uttara sang brahmana muda mendekati Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, dan ketika tiba di sana, memberikan penghormatan mereka dan duduk pada satu sisi.

“Nandipāla sang pembuat tembikar berkata kepada Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna:

“Sang Bhagavā, ini adalah temanku, brahmana muda Uttara, yang selalu menyayangiku dan tak kenal lelah bergembira ketika melihatku. Ia tidak memiliki keyakinan atau penghormatan kepada Sang Bhagavā. Semoga Sang Bhagavā mengajarkannya Dharma dengan baik, sehingga ia menjadi gembira dan memiliki keyakinan dan penghormatan.

“Kemudian Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengajarkan Dharma kepada Nandipāla sang pembuat tembikar dan brahmana muda Uttara, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakan mereka. Setelah, dengan tak terhitung cara terampil, mengajarkan mereka Dharma, setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakan mereka, [Tathāgata Kassapa] tetap berdiam diri.

“Kemudian, [setelah] Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah mengajarkan mereka Dharma, menasehati, mendorong, dan menggembirakan mereka, pembuat tembikar Nandipāla dan brahmana muda Uttara bangkit dari tempat duduk mereka, memberikan penghormatan pada kaki Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengelilinginya tiga kali, dan pergi.

“Kemudian, ketika mereka belum berjalan jauh dalam perjalanan kembali, brahmana muda Uttara bertanya:

“Nandipāla, setelah mendengarkan Dharma yang mulia ini dari Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengapa engkau tetap berada di rumah, [mengapa engkau] tidak dapat meninggalkan [kehidupan berumah tangga] dan berlatih dalam jalan mulia?

“Kemudian Nandipāla sang pembuat tembikar menjawab:

“Uttara, engkau sendiri mengetahui bahwa seumur hidupku aku telah merawat ayah dan ibuku, yang buta dan sepenuhnya bergantung pada orang lain. Adalah karena aku menyokong dan merawat ayah dan ibuku [sehingga aku tidak dapat meninggalkan kehidupan berumah tangga].

“Kemudian brahmana muda Uttara bertanya:

“Nandipāla, apakah aku dapat meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk berlatih sang jalan, dengan mengikuti Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna? Apakah aku dapat menerima penahbisan penuh, menjadi seorang bhikkhu, dan berlatih kehidupan suci?

“Kemudian pembuat tembikar Nandipāla dan brahmana muda Uttara langsung meninggalkan tempat itu dan mendekati Tathāgata Kassapa lagi, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Setelah tiba di sana dan memberikan penghormatan mereka, mereka duduk pada satu sisi.

“Nandipāla sang pembuat tembikar berkata kepada Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna:

“Sang Bhagavā, ketika kami belum berjalan jauh dalam perjalanan kembali kami, brahmana muda Uttara ini bertanya kepadaku, “Nandipāla, setelah mendengarkan Dharma yang mulia ini dari Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengapa engkau tetap berada di rumah? [Mengapa engkau] tidak dapat meninggalkan [kehidupan berumah tangga] dan berlatih dalam jalan mulia?

“Sang Bhagavā, aku menjawab, “Uttara, engkau sendiri mengetahui bahwa seumur hidupku aku telah merawat ayah dan ibuku, yang buta dan sepenuhnya bergantung pada orang lain. Adalah karena aku menyokong dan merawat ayah dan ibuku [sehingga aku tidak dapat meninggalkan kehidupan berumah tangga].”

“Kemudian Uttara bertanya kepadaku lebih lanjut:

“Nandipāla, apakah aku dapat meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk berlatih sang jalan, dengan mengikuti Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna? Apakah aku dapat menerima penahbisan penuh, menjadi seorang bhikkhu, dan berlatih kehidupan suci?

“Semoga Sang Bhagavā mengizinkannya meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk berlatih dalam sang jalan dengan memberikannya [sehingga ia dapat] menjadi seorang bhikkhu dan berlatih kehidupan suci.

“Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, menyetujui [permintaan] Nandipāla dengan tetap berdiam diri.

“Kemudian Nandipāla sang pembuat tembikar, memahami bahwa Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah menyetujui dengan tetap berdiam diri, bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan dengan kepalanya, mengelilinginya tiga kali dan pergi.

“Kemudian, segera setelah Nandipāla pergi, Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengizinkan pemuda Uttara meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk berlatih dalam sang jalan dengan memberikannya penahbisan penuh.

“Setelah [mengizinkannya] meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk berlatih dalam sang jalan, dan setelah memberikannya penahbisan penuh, [Tathāgata Kassapa] berdiam selama beberapa hari, sesuai dengan keinginannya, di kota Vebhaḷiṅga. [Kemudian] beliau membawa jubah dan mangkuknya dan, dengan sekumpulan besar para bhikkhu, pergi berkelana dengan tujuan pergi ke Benares, sebuah kota di negeri Kāsi. Dengan mengadakan perjalanan perlahan-lahan, mereka tiba di Benares, sebuah kota di negeri Kāsi. Di Benares mereka berdiam di Taman Rusa, Tempat Para Pertapa.

“Kemudian Raja Kiki [dari Benares] mendengar bahwa Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, yang sedang berkelana di negeri Kāsi dengan sekumpulan besar para bhikkhu, telah tiba di Benares dan sedang berdiam di Taman Rusa, Tempat Para Pertapa.

“Mendengar hal ini, Raja Kiki berkata kepada kusirnya, “Persiapkan kereta, aku sekarang ingin mendekati Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna.”

“Kemudian kusir itu, setelah menerima perintah raja, segera mempersiapkan kereta. Setelah mempersiapkan kereta, [ia] kembali dan berkata kepada raja, “Kereta-kereta yang bagus telah dipersiapkan. Mereka sudah bisa yang mulia gunakan.”

“Kemudian Raja Kiki, setelah mengendarai sebuah kereta yang bagus, berangkat dari Benares dan menuju Taman Rusa, Tempat Para Pertapa. Kemudian Raja Kiki melihat dari jauh Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, di antara pepohonan, yang dimuliakan dan indah, bagaikan rembulan di tengah-tengah bintang-bintang, bersinar bagaikan gunung emas, diberkahi dengan penampilan yang gagah dan kemuliaan yang agung, dengan indera-indera yang tenang, bebas dari halangan, sempurna dan terdisiplinkan, dengan pikirannya yang tenang dan damai.

“Melihat hal ini, [raja] turun dari keretanya dan dengan berjalan kaki mendekati Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Setelah tiba di sana, [raja] memberikan penghormatan dan duduk pada satu sisi. Setelah Raja Kiki duduk pada satu sisi, Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengajarkannya Dharma, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya. Setelah dengan tak terhitung cara terampil mengajarkannya Dharma, setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, [Tathāgata Kassapa] tetap berdiam diri.

“Kemudian, setelah Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah mengajarkannya Dharma, menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, Raja Kiki bangkit dari tempat duduknya, mengatur pakaiannya sehingga memperlihatkan satu bahu, menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, dan berkata: “Semoga Sang Bhagavā bersama-sama dengan kumpulan para bhikkhu menerima undanganku [untuk makan] besok.”

“Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, menerima undangan Raja Kiki dengan tetap berdiam diri.

“Kemudian Raja Kiki, yang memahami bahwa Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah menerima undangannya dengan tetap berdiam diri, memberikan penghormatan dengan kepalanya, mengelilinginya tiga kali, dan pergi. Setelah pulang ke rumah, selama malam hari semua jenis hidangan yang sangat indah, segar, dan bagus sekali disiapkan dengan berlimpah untuk dimakan, dikecap, dan dicerna. Ketika persiapan malam telah diselesaikan, menuju fajar, tempat duduk diatur [dan pesan dikirimkan:] “Sang Bhagavā, waktunya sekarang telah tiba; makanan telah siap. Semoga Sang Bhagavā datang menurut waktunya!”

“Kemudian ketika malam telah berakhir, saat fajar, Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya. Bersama-sama dengan kumpulan para bhikkhu, Sang Bhagavā pergi ke rumah Raja Kiki dan duduk pada tempat duduk yang telah disiapkan di hadapan kumpulan para bhikkhu.

“Kemudian Raja Kiki, melihat bahwa Sang Buddha dan kumpulan para bhikkhu telah duduk, secara pribadi mempersembahkan air untuk mencuci. Dengan tangannya sendiri, ia menghidangkan semua jenis hidangan yang sangat indah, segar, dan baik, dengan memastikan terdapat cukup [makanan] untuk dimakan, dikecap, dan dicerna.

“Setelah selesai makan, peralatan-peralatan [makan] dibersihkan, dan air untuk mencuci telah dipersembahkan, [Raja Kiki] mempersiapkan sebuah tempat duduk yang rendah dan duduk pada satu sisi untuk mendengarkan Dharma.

“Ketika Raja Kiki duduk, Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengajarkannya Dharma, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya. Setelah dengan tak terhitung cara terampil mengajarkannya Dharma, setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, [Tathāgata Kassapa] tetap berdiam diri.

“Kemudian, setelah Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah mengajarkannya Dharma, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, Raja Kiki bangkit dari tempat duduknya, mengatur pakaiannya sehingga memperlihatkan satu bahu, menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, dan berkata:

“Semoga Sang Bhagavā, bersama-sama dengan kumpulan para bhikkhu, menerima undanganku untuk menghabiskan pengasingan musim hujan di sini di Benares!

“Aku akan mempersiapkan lima ratus kamar dan lima ratus tempat tidur dan selimut untuk Sang Bhagavā; dan aku akan mempersiapkan, untuk Sang Bhagavā dan kumpulan para bhikkhu, nasi putih seperti ini dan makanan dengan berbagai rasa sama dengan apa yang dimakan raja.

“Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, berkata kepada Raja Kiki, “Raja besar, mohon berhenti, mohon berhenti! Walaupun hatiku senang dan puas [dengan persembahanmu yang baik].”

“Kedua dan ketiga kalinya Raja Kiki menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, dan berkata:

“Semoga Sang Bhagavā, bersama-sama dengan kumpulan para bhikkhu, menerima undanganku untuk menghabiskan pengasingan musim hujan di sini di Benares!

“Aku akan mempersiapkan lima ratus kamar dan lima ratus tempat tidur dan selimut untuk Sang Bhagavā; dan aku akan mempersiapkan, untuk Sang Bhagavā dan kumpulan para bhikkhu, nasi putih seperti ini dan makanan dengan berbagai rasa sama dengan apa yang dimakan raja.

“Dan kedua dan ketiga kalinya Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, berkata kepada Raja Kiki, “Raja besar, mohon berhenti, mohon berhenti! Walaupun hatiku senang dan puas [dengan persembahanmu yang baik].”

“Kemudian Raja Kiki tidak dapat menahannya dan tidak menyukainya. Hatinya penuh dengan dukacita dan kesengsaraan, [dengan berpikir:]

“Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, bersama-sama dengan kumpulan para bhikkhu, tidak menerima undanganku untuk menghabiskan pengasingan musim hujan di sini di Benares.

“Setelah memiliki pikiran ini, Raja Kiki berkata kepada Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, “Sang Bhagavā, apakah terdapat pengikut awam lain yang [dapat] memberikan persembahan kepada Sang Bhagavā seperti yang kulakukan?”

“Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, berkata kepada Raja Kiki:

“Ya, ada. Di negerimu terdapat sebuah kota bernama Vebhaḷiṅga, yang sangat makmur dan menyenangkan, dengan banyak penduduk. Raja besar, di kota Vebhaḷiṅga itu, terdapat seorang pembuat tembikar, Nandipāla.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar telah mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan komunitas para bhikkhu. Ia bebas dari keragu-raguan terhadap Tiga Permata, dan ia tidak memiliki kebingungan sehubungan dengan penderitaan, munculnya, lenyapnya, dan jalan [menuju lenyapnya]. Ia telah mencapai keyakinan, menjaga moralitas, banyak belajar, dermawan, dan sempurna dalam kebijaksanaan. [Nandipāla] menghindari diri dari pembunuhan, meninggalkan pembunuhan, meninggalkan pisau dan gada. Ia memiliki [rasa] malu dan segan, dan pikiran [yang penuh dengan] cinta-kasih dan belas kasih, [yang berharap untuk] memberi manfaat kepada semua [makhluk], termasuk serangga. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan pembunuhan makhluk hidup.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari pengambilan apa yang tidak diberikan, telah meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan. Ia mengambil [hanya] apa yang diberikan dan bergembira dalam mengambil [hanya] apa yang diberikan. Ia selalu gemar berderma, bergembira di dalamnya, tanpa kekikiran, dan tidak mengharapkan imbalan. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan pengambilan apa yang tidak diberikan.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari aktivitas seksual, telah meninggalkan aktivitas seksual. Ia dengan tekun menjalankan kehidupan selibat, bersemangat dalam perilaku baik ini, murni, tanpa cacat, dengan menghindari dari dari keinginan seksual, meninggalkan keinginan seksual. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan aktivitas seksual.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari ucapan salah, telah meninggalkan ucapan salah. Ia mengatakan kebenaran, bergembira dalam kebenaran, dengan tidak tergoyahkan berkembang dalam kebenaran, sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak akan menipu [orang lain di] dunia. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan ucapan salah.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari ucapan yang bersifat memecah belah, telah meninggalkan ucapan yang bersifat memecah belah. Ia tidak terlibat dalam ucapan yang bersifat memecah belah, tidak bermaksud menyakiti orang lain. Mendengar sesuatu dari orang ini ia tidak mengatakannya kepada orang itu, untuk menyakiti orang ini; mendengar sesuatu dari orang itu ia tidak mengatakannya kepada orang ini, untuk menyakiti orang itu. Ia memiliki keinginan untuk menyatukan mereka yang terpecah belah, bergembira dalam persatuan. Ia tidak termasuk kelompok mana pun dan tidak bergembira dalam atau memuji pengelompokan. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan ucapan yang bersifat memecah belah.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari ucapan kasar, telah meninggalkan ucapan kasar. Ia telah meninggalkan jenis ucapan yang terdiri atas kata-kata yang kasar dan tidak sopan dalam nada, kata-kata yang menyakitkan hati yang menjengkelkan bagi telinga, yang tidak dinikmati atau diinginkan orang-orang, yang menyebabkan orang lain menderita dan kesal, dan yang tidak mendukung pada konsentrasi.

“Ia mengucapkan jenis ucapan yang terdiri dari kata-kata yang murni, damai, lembut, dan bermanfaat, yang menyenangkan bagi telinga dan memasuki telinga, yang dinikmati dan diinginkan, yang memberikan orang lain kebahagiaan, kata-kata yang mengandung makna, yang tidak membuat orang lain takut, dan yang mendukung orang lain dalam mencapai konsentrasi. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan ucapan kasar.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari ucapan omong kosong, telah meninggalkan ucapan omong kosong. Ia berkata pada waktu [yang tepat], mengatakan apa yang benar, apa yang merupakan Dharma, apa yang bermakna, apa yang menenangkan, bergembira dalam mengatakan apa yang menenangkan. [Sehubungan dengan] hal [apa pun] ia akan mengajar dengan baik dan menasehati dengan baik, sesuai dengan waktu [yang tepat] dan dengan cara yang tepat. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan ucapan omong kosong.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari mencari keuntungan, telah meninggalkan pencarian keuntungan. Ia telah meninggalkan timbangan dan pengukuran, meninggalkan menerima barang-barang, ia tidak mengikat orang-orang, tidak berusaha berbuat curang dengan pengukuran, atau ia menipu orang lain demi tujuan beberapaan keuntungan kecil. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan pencarian keuntungan.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima para janda atau gadis, telah meninggalkan menerima para janda atau gadis. Ia memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima para janda atau gadis.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima para pelayan laki-laki atau perempuan, telah meninggalkan menerima para pelayan laki-laki dan perempuan. Ia memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima para pelayan laki-laki atau perempuan.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba, telah meninggalkan menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima ayam atau babi, telah meninggalkan menerima ayam atau babi. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima ayam atau babi.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari tanah pertanian atau toko, telah meninggalkan menerima tanah pertanian atau toko. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima tanah pertanian atau toko.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak, telah meninggalkan menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari minuman keras, telah meninggalkan minuman keras. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan minuman keras.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari [penggunaan] tempat tidur yang tinggi atau lebar, telah meninggalkan [penggunaan] tempat tidur yang tinggi atau lebar. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan tempat tidur yang tinggi atau lebar.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari [penggunaan] kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan, telah meninggalkan [penggunaan] kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan. Ia memurnikan pikirannya sehubungan dengan kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari bernyanyi, menari, dan berperan [dalam pertunjukan drama], dan dari pergi melihat atau mendengarnya; ia telah meninggalkan nyanyian, tarian, dan peran [dalam pertunjukan drama] dan pergi melihat atau mendengarnya. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan nyanyian, tarian, dan peran [dalam pertunjukan drama], dan pergi melihat atau mendengarnya.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari menerima emas dan perak, telah meninggalkan menerima emas dan perak. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan menerima emas dan perak.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari makan setelah tengah hari, telah meninggalkan makan setelah tengah hari. Ia selalu memakan [hanya] satu kali makan [setiap hari], tidak makan pada malam hari, dengan berlatih makan [hanya] pada waktu [yang tepat]. Ia telah memurnikan pikirannya sehubungan dengan makan setelah tengah hari.

“Raja besar, seumur hidupnya Nandipāla sang pembuat tembikar menghindari diri dari mengambil sekop dengan tangannya. Ia tidak menyenangi menggali tanah sendiri atau menyuruh orang lain melakukannya. Jika air telah membersihkan suatu tepi sungai sehingga ia longsor, atau jika tikus telah merusak tanah, ia akan mengambil [tanah] itu dan menggunakannya untuk membuat pot-potnya. Pot-pot ini akan ia letakkan pada satu sisi dan mengatakan kepada para pelanggan: “Jika kalian memiliki kacang polong, beras, gandum, biji rami, kacang bi, atau biji moster, letakkan mereka [sebagai pembayaran] dan ambil pot mana pun yang kalian suka.”

“Raja besar, seumur hidupnya Nandipāla sang pembuat tembikar telah merawat ayah dan ibunya, yang buta. Mereka sepenuhnya bergantung pada orang lain, sehingga ia merawat mereka.

“Raja besar, aku ingat bahwa pada masa lampau aku sedang berdiam di kota Vebhaḷiṅga. Raja besar, pada waktu itu, saat fajar, setelah mengenakan jubahku dan mengambil mangkukku, aku memasuki kota Vebhaḷiṅga untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah selesai berkeliling mengumpulkan dana makanan dengan urutan [yang benar] [dari rumah ke rumah], aku tiba di rumah Nandipāla sang pembuat tembikar.

“Pada waktu itu Nandipāla tidak berada di rumah, setelah pergi karena beberapa urusan kecil. Raja besar, aku bertanya kepada orang tua Nandipāla sang pembuat tembikar, “Tetua, di manakah sang pembuat tembikar sekarang?”

“Mereka menjawabku, “Sang Bhagavā, penyokong [kami] sementara tidak berada di rumah, setelah pergi karena beberapa urusan kecil. Sang Sugata, penyokong [kami] sementara tidak berada di rumah, setelah pergi karena beberapa urusan kecil. Sang Bhagavā, terdapat gandum yang telah dimasak dan nasi di keranjang bambu dan terdapat sup kacang di dalam panci. Semoga Sang Bhagavā sendiri mengambil apa yang ia inginkan, demi belas kasih!”

“Kemudian, raja besar, sesuai dengan hukum Uttarakuru, aku mengambil nasi dan sup dari keranjang bambu dan panci dan pergi.

“Belakangan, ketika Nandipāla sang pembuat tembikar kembali ke rumah dan menemukan bahwa nasi dan sup di keranjang bambu dan panci telah berkurang, ia bertanya kepada orang tuanya, “Siapakah yang telah mengambil sup dan nasi?”

“Orang tuanya menjawab, “Putra yang baik, Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, datang ke sini hari ini saat berkeliling mengumpulkan dana makanan. Beliau mengambil nasi dan sup dari keranjang bambu dan panci dan pergi.”

“Mendengar hal ini, Nandipāla sang pembuat tembikar berpikir: “Adalah manfaat yang menakjubkan, jasa yang besar bagi kami, bahwa Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, merasa bebas [untuk mengambil apa] yang beliau inginkan di rumah kita.” Bergembira, ia duduk bersila dengan pikiran yang tenang dan damai, dan berdiam demikian selama tujuh hari. Kegembiraan dan kebahagiaannya berlanjut selama [keseluruhan] lima belas hari; dan orang tuanya juga mengalami kegembiraan dan kebahagiaan selama tujuh hari.

“Lagi, raja besar, aku ingat bahwa pada masa lampau aku berdiam di kota Vebhaḷiṅga. Raja besar, pada waktu itu, saat fajar, setelah mengenakan jubahku dan membawa mangkukku, aku memasuki kota Vebhaḷiṅga untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah melakukan keliling mengumpulkan dana makanan sesuai dengan urutan, aku tiba di rumah Nandipāla sang pembuat tembikar.

“Pada waktu itu, Nandipāla tidak berada di rumah, setelah pergi karena beberapa urusan kecil. Raja besar, aku bertanya kepada orang tua Nandipāla sang pembuat tembikar, “Tetua, di manakah sang pembuat tembikar sekarang?”

“Mereka menjawabku, “Sang Bhagavā, penyokong [kami] sementara tidak berada di rumah, setelah pergi karena beberapa urusan kecil. Sang Sugata, penyokong [kami] sementara tidak berada di rumah, setelah pergi karena beberapa urusan kecil. Sang Bhagavā, terdapat nasi di dalam panci besar dan terdapat sup kacang di dalam panci kecil. Semoga Sang Bhagavā sendiri mengambil apa yang ia inginkan, demi [belas kasih]!”

“Kemudian, raja besar, sesuai dengan hukum Uttarakuru, aku mengambil nasi dan sup dari panci besar dan panci kecil dan pergi.

“Belakangan, ketika Nandipāla sang pembuat tembikar kembali ke rumah dan menemukan bahwa nasi di dalam panci besar dan sup di dalam panci kecil telah berkurang, ia bertanya kepada orang tuanya, “Siapakah yang telah mengambil nasi dari panci besar dan sup dari panci kecil?” Orang tuanya menjawab, “Putra yang baik, Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, datang ke sini hari ini saat berkeliling mengumpulkan dana makanan. Beliau mengambil nasi dan sup dari panci besar dan panci kecil dan pergi.”

“Mendengar hal ini, Nandipāla sang pembuat tembikar berpikir: “Adalah manfaat yang menakjubkan, jasa yang besar bagi kami, bahwa Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, merasa bebas [untuk mengambil apa] yang beliau inginkan di rumah kita.” Bergembira, ia duduk bersila dengan pikiran yang tenang dan damai, dan berdiam demikian selama tujuh hari. Kegembiraan dan kebahagiaannya berlanjut selama [keseluruhan] lima belas hari; dan orang tuanya juga mengalami kegembiraan dan kebahagiaan selama tujuh hari.

“Lagi, raja besar, aku ingat bahwa pada masa lampau aku sedang menghabiskan pengasingan musim hujan bergantung pada kota Vebhaḷiṅga. Raja besar, pada waktu itu gubukku yang baru dibangun belum beratap. Gubuk pembuatan tembikar tua Nandipāla sang pembuat tembikar telah beratap baru.

“Raja besar, aku berkata kepada para bhikkhu pelayanku, “Pergilah dan bongkar [atap] gubuk pembuatan tembikar tua Nandipāla sang pembuat tembikar dan bawa atap itu untuk mengatapi gubukku!”

“Kemudian para bhikkhu pelayan itu, mengikuti instruksiku, pergi ke rumah Nandipāla sang pembuat tembikar, membongkar [atap] gubuk pembuatan tembikar tua, mengikatnya bersama, dan membawanya untuk mengatapi gubukku.

“Orang tua Nandipāla sang pembuat tembikar mendengar [suara atap] gubuk pembuatan tembikar tua yang dibongkar. Mendengarnya, mereka bertanya, “Siapakah yang membongkar [atap] gubuk pembuatan tembikar tua Nandipāla sang pembuat tembikar?”

“Para bhikkhu pelayan itu menjawab, “Tetua, kami adalah para bhikkhu pelayan Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Kami membongkar [atap] gubuk pembuatan tembikar tua Nandipāla sang pembuat tembikar, mengikatnya bersama, dan membawanya untuk mengatapi gubuk Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna.”

“Orang tua Nandipāla sang pembuat tembikar, “Yang Mulia, ambillah apa pun yang kalian inginkan, tanpa batasan!”

“Belakangan, ketika Nandipāla sang pembuat tembikar kembali ke rumah dan menemukan bahwa [atap] gubuk pembuatan tembikar tua telah dibongkar, ia bertanya kepada orang tuanya, “Siapakah yang telah membongkar [atap] gubuk pembuatan tembikarku yang tua?”

“Orang tuanya menjawab, “Putra yang baik, hari ini para bhikkhu pelayan Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, membongkar [atap] gubuk pembuatan tembikar tua, mengikatnya bersama, dan membawanya untuk mengatapi gubuk Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna.”

“Mendengar hal ini, Nandipāla sang pembuat tembikar berpikir: “Adalah manfaat yang menakjubkan, jasa yang besar bagi kami, bahwa Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, merasa bebas [untuk mengambil apa] yang beliau inginkan di rumah kita.” Bergembira, ia duduk bersila dengan pikiran yang tenang dan damai, dan berdiam demikian selama tujuh hari. Kegembiraan dan kebahagiaannya berlanjut selama [keseluruhan] lima belas hari; dan orang tuanya juga mengalami kegembiraan dan kebahagiaan selama tujuh hari.

“Raja besar, gubuk pembuatan tembikar tua Nandipāla sang pembuat tembikar tidak dipengaruhi oleh hujan selama keseluruhan empat bulan musim hujan itu. Mengapa demikian? Karena ia dilindungi oleh kekuatan hebat seorang Buddha.

“Raja besar, Nandipāla sang pembuat tembikar dapat menahannya, bukan tidak menyukainya, dan tidak bersedih atau tertekan dalam hatinya [saat berpikir]: “Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, merasa bebas [melakukan seperti] yang ia inginkan di rumah kita.” Anda, raja besar, tidak dapat menahannya dan tidak menyukainya, dan anda memiliki dukacita besar dan kesengsaraan dalam hatimu [saat berpikir]: “Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, bersama-sama dengan kumpulan para bhikkhu, tidak menerima undanganku untuk menghabiskan pengasingan musim hujan di sini di Benares.”

“Kemudian Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengajarkan Dharma kepada Raja Kiki, dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya. Setelah, dengan tak terhitung cara terampil, mengajarkannya Dharma, setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, [Tathāgata Kassapa] bangkit dari tempat duduknya dan pergi.

“Kemudian, tak lama setelah Tathāgata Kassapa, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah pergi, Raja Kiki berkata kepada para pelayannya, “Isikan lima ratus kereta dengan beras putih dan makanan dengan berbagai rasa, sama dengan apa yang dimakan seorang raja, bawa mereka ke rumah Nandipāla sang pembuat tembikar, dan katakan kepadanya, ‘Nandipāla, Raja Kiki mengirimkan lima ratus kereta dari beras putih dan makanan dengan berbagai rasa, sama dengan apa yang dimakan seorang raja, untuk diberikan kepada anda. Anda harus menerimanya sekarang demi belas kasih!’”

“Kemudian para pelayan itu, setelah menerima perintah raja ini, mengisi lima ratus kereta dengan beras putih dan makanan dengan berbagai rasa, sama dengan apa yang dimakan seorang raja, membawanya ke rumah Nandipāla sang pembuat tembikar, dan berkata kepadanya, “Nandipāla, Raja Kiki mengirimkan lima ratus kereta dari beras putih dan makanan dengan berbagai rasa, sama dengan apa yang dimakan seorang raja, untuk diberikan kepada anda. Anda harus menerimanya sekarang demi belas kasih!”

“Kemudian Nandipāla sang pembuat tembikar dengan sopan menolaknya dan tidak menerima [pemberian itu], dengan berkata kepada para pelayan itu, “Teman-teman yang mulia, dalam rumah tangga dan negeri Raja Kiki terdapat banyak urusan besar yang memerlukan pengeluaran yang sangat banyak. Mengetahui hal ini, aku tidak menerima [pemberian beliau].”

Sang Buddha berkata kepada Ānanda:

“Apakah yang engkau pikirkan? Apakah engkau berpikir bahwa brahmana muda Uttara adalah orang lain [selain diriku]? Janganlah berpikir demikian. Engkau seharusnya mengetahui bahwa ia adalah diriku.

“Pada waktu itu, Ānanda, aku ingin memberi manfaat bagi diri sendiri, memberi manfaat bagi orang lain, memberi manfaat bagi banyak orang; aku memiliki belas kasih terhadap seluruh dunia, dan aku mencari kesejahteraan, manfaat, kedamaian, dan kebahagiaan untuk para dewa dan manusia.

“Dalam ajaran yang diajarkan pada waktu itu aku tidak mencapai yang tertinggi, kemurnian tertinggi, kehidupan suci tertinggi, penyelesaian tertinggi kehidupan suci. Pada waktu itu aku tidak dapat meninggalkan kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dukacita, dan kesengsaraan, dan aku tidak dapat mencapai pembebasan dari semua penderitaan.

“Ānanda, aku sekarang telah muncul di dunia ini sebagai seorang Tathāgata, bebas dari kemelekatan, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, seorang Yang Pergi dengan baik, pengenal dunia, pemimpin yang tiada bandingnya dari orang-orang yang dijinakkan, guru para dewa dan manusia, seorang Buddha, seorang Yang Beruntung.

“Aku sekarang memberi manfaat bagi diriku sendiri, memberi manfaat bagi banyak orang; aku memiliki belas kasih terhadap dunia, dan aku mencari kesejahteraan, manfaat, kedamaian, dan kebahagiaan untuk para dewa dan manusia.

“Ajaran yang sekarang kuberikan membawa pada yang tertinggi, adalah kemurnian tertinggi, penyelesaian tertinggi kehidupan suci. Aku sekarang telah meninggalkan kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dukacita, dan kesengsaraan. Aku sekarang telah mencapai pembebasan sempurna dari penderitaan.”

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan mengingatnya dengan baik.