Dīgha Nikāya
Udumbarika-Sīhanāda Sutta
25. Auman Singa kepada Penduduk Udumbarika
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Puncak Hering. Dan pada saat itu Pengembara Nigrodhasedang menetap di perkemahan Udumbarikāyang disediakan bagi para pengembara, bersama dengan tiga ratus pengembara. Dan suatu pagi, perumah tangga Sandhāna datang ke Rājagaha untuk menemui Sang Bhagavā. Kemudian ia berpikir: ‘Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menemui Sang Bhagavā, Beliau sedang bermeditasi; saat ini bukan waktu yang tepat untuk menemui para bhikkhu yang sedang bermeditasi. Mungkin sebaiknya aku pergi ke perkemahan Udumbarikā tempat para pengembara dan mengunjungi Nigrodha.’ Dan ia melakukan hal itu.
Dan saat itu Nigrodha sedang duduk di tengah-tengah kerumunan para pengembara yang semuanya ribut berteriak membuat kegaduhan, dan terlibat dalam berbagai percakapan yang tidak bertujuantentang raja-raja, perampok, menteri, tentara, bahaya, perang, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, karangan bunga, pengharum, sanak saudara, kereta, desa, pasar dan kota, negeri, perempuan, pahlawan, gosip-jalanan dan—sumur, pembicaraan tentang orang yang meninggal dunia, percakapan yang tidak menentu, spekulasi mengenai daratan dan lautan, pembicaraan mengenai ke-ada-an dan ke-tiada-an.
Kemudian Nigrodha melihat Sandhāna mendekat dari kejauhan, dan ia berkata kepada para pengikutnya: ‘Tenanglah, tuan-tuan, jangan bersuara, tuan-tuan! Perumah tangga Sandhāna, seorang pengikut Petapa Gotama, sedang mendekat. Ia adalah salah satu dari siswa perumah tangga berjubah putih dari Petapa Gotama di Rājagaha. Dan orang-orang baik ini menyukai ketenangan, mereka diajarkan untuk bersikap tenang dan memuji ketenangan. Jika ia melihat kelompok ini tenang, ia hampir pasti ingin datang dan mengunjungi kita.’ Mendengar kata-kata ini para pengembara terdiam.
Kemudian Sandhāna mendekati Nigrodha dan saling bertukar sapa dengannya, dan kemudian duduk di satu sisi. Kemudian ia berkata: ‘Tuan-tuan, cara para pengembara dari kepercayaan lain berperilaku saat mereka berkumpul adalah satu hal: mereka membuat kegaduhan dan terlibat dalam segala jenis percakapan yang tidak bertujuan … Cara Sang Bhagavā berbeda: Beliau mencari tempat tinggal di dalam hutan, jauh di tengah hutan, bebas dari keributan, dengan sedikit suara, jauh dari kerumunan yang membuat gila, tidak terganggu oleh banyak orang, sangat sesuai untuk mengasingkan diri.’
Kemudian Nigrodha menjawab: ‘Perumah tangga, apakah engkau tahu dengan siapa Petapa Gotama berbicara? Dengan siapakah Beliau bercakap-cakap? Dari siapakah Beliau mendapatkan penerangan kebijaksanaan? Kebijaksanaan Petapa Gotama dirusak oleh kehidupanNya yang menyendiri, Beliau tidak berguna bagi banyak kelompok, Beliau tidak berguna dalam percakapan, Beliau tidak tersentuh. Bagaikan bison yang berputar-putar di sekeliling pagar, demikian pula Petapa Gotama. Sesungguhnya, perumah tangga, jika Petapa Gotama datang ke perkumpulan ini, kami akan membuatNya bingung dengan satu pertanyaan, kami akan menjatuhkanNya seperti kendi kosong.’
Sang Bhagavā, dengan indria-telinga-dewaNya, yang murni dan melampaui jangkauan manusia, mendengar percakapan antara Sandhāna dan Nigrodha. Dan, menuruni Puncak Hering, Beliau pergi ke Taman Suaka Merak di sebelah Kolam Sumāgadhā, dan berjalan mondar-mandir di sana di ruang terbuka. Kemudian Nigrodha melihat Beliau, dan ia berkata kepada para pengikutnya: ‘Tenanglah, tuan-tuan, kurangi suara, tuan-tuan! Petapa Gotama sedang berjalan mondar-mandir di sebelah Kolam Sumāgadhā. Beliau menyukai ketenangan, Beliau memuji ketenangan. Jika ia melihat kelompok ini tenang, Beliau hampir pasti ingin datang dan mengunjungi kita. Jika Beliau datang, kita akan mengajukan pertanyaan ini kepadaNya: “Bhagavā, apakah ajaran yang Bhagavā ajarkan kepada para siswaNya, dan para siswa itu yang telah begitu terlatih sehubungan dengan manfaat dari ajaran itu menerimanya sebagai pendukung utama, dan kesempurnaan dari hidup suci?”’ Mendengar kata-kata ini para pengembara terdiam.
Kemudian Sang Bhagavā mendatangi Nigrodha, dan Nigrodha berkata: ‘Mari, Bhagavā, selamat datang, Bhagavā! Akhirnya Bhagavā berkunjung ke sini. Silahkan duduk, Bhagavā, tempat duduk telah dipersiapkan.’ Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan Nigrodha mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: ‘Nigrodha, apakah topik pembicaraan kalian tadi? Percakapan apakah yang terhenti karenaKu?’ Nigrodha menjawab: ‘Bhagavā, kami melihat Bhagavā sedang berjalan mondar-mandir di Taman Suaka Merak di sebelah Kolam Sumāgadhā, dan kami berpikir: “Jika Bhagavā datang, kami akan mengajukan pertanyaan ini kepadaNya: “Bhagavā, apakah ajaran yang Sang Bhagavā ajarkan kepada para siswaNya, dan para siswa itu yang telah begitu terlatih sehubungan dengan manfaat dari ajaran itu menerimanya sebagai pendukung utama, dan kesempurnaan dari hidup suci?”’
‘Nigrodha, Sulit bagimu, yang menganut pandangan yang berbeda, yang memiliki kecenderungan berbeda dan tunduk pada pengaruh-pengaruh berbeda, memiliki guru yang berbeda, untuk memahami ajaran yang Kuajarkan kepada para siswaKu … Silahkan, Nigrodha, tanyakan padaKu tentang ajaranmu sendiri, tentang latihan kerasmu. Bagaimanakah kondisi dari latihan keras dan penyiksaan-diri terpenuhi, dan bagaimanakah yang tidak terpenuhi?’
Mendengar kata-kata ini, para pengembara membuat kegaduhan, dan berseru: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan, betapa besarnya kekuatan Petapa Gotama dalam menahan teoriNya sendiri dan mengundang pihak lain mendiskusikan teori mereka!’
Setelah menenangkan mereka, Nigrodha berkata: ‘Bhagavā, kami mengajarkan latihan keras yang lebih tinggi, kami menganggapnya perlu, kami mengikutinya. Oleh karena itu, apakah yang merupakan pemenuhan atau bukan pemenuhannya?’
‘Misalkan, Nigrodha, seorang penyiksa-diri bertelanjang badan, tidak ada pengendalian kesopanan, menjilat tangannya, tidak mendekat dan hanya berdiri diam saat diminta datang. Ia tidak menerima makanan dari kendi atau panci … seperti Sutta 8, paragraf 14. Ia mengenakan rami kasar, potongan kain dari tumpukan sampah … Ia adalah pencabut rambut dan janggut, menekuni latihannya; ia adalah seorang yang berselimut-duri, membuat alas tidurnya dari duri, tidur sendirian berselimut lumpur basah, menetap di ruang terbuka, menerima tempat duduk apapun yang diberikan, seorang yang tidak meminum air dan menyukai praktik demikian, atau ia berdiam dengan mencurahkan dirinya pada praktik mandi tiga kali sebelum malam. Bagaimana menurutmu, Nigrodha, apakah dengan cara demikian latihan keras telah terpenuhi, atau tidak?’ ‘Terpenuhi, Bhagavā’ ‘Tetapi, Nigrodha, Aku berpendapat bahwa latihan keras yang lebih tinggi dapat menjadi gagal dalam berbagai cara.’
‘Dalam cara bagaimanakah, Bhagavā, Engkau berpendapat bahwa latihan keras yang lebih tinggi dapat menjadi gagal?’ ‘Ambil kasus, Nigrodha, dari seorang penyiksa-diri yang mempraktikkan latihan keras tertentu. Sebagai hasilnya, ia menjadi senang dan puas karena telah mencapai akhir latihannya. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau dalam mempraktikkan latihannya ia mengangkat dirinya sendiri dan mencela orang lain. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia menjadi mabuk oleh keangkuhan, bersikap bodoh dan oleh karena itu tidak berhati-hati. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu.
‘Kemudian, seorang penyiksa-diri mempraktikkan latihan keras tertentu, dan hal itu memberikan perolehan, penghormatan dan kemasyhuran baginya. Sebagai akibatnya, ia menjadi senang dan puas karena telah mencapai akhir latihannya … Atau ia mengangkat dirinya sendiri dan mencela orang lain … Atau ia menjadi mabuk oleh keangkuhan, bersikap bodoh dan oleh karena itu tidak berhati-hati. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri mempraktikkan latihan keras tertentu, dan ia membagi makanannya menjadi dua bagian, dan berkata: “Yang ini cocok untukku, yang itu tidak cocok untukku!” Dan apa yang tidak cocok dengannya ia tolak, sedangkan yang cocok untuknya ia makan dengan rakus, dengan sembrono dan penuh nafsu, tidak melihat bahayanya, tidak memikirkan akibatnya. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri mempraktikkan latihan keras tertentu demi mendapatkan perolehan, kehormatan dan kemasyhuran, berpikir: “Para raja dan para menteri akan menghormatiku, para Khattiya dan para Brahmana dan para perumah tangga, dan guru-guru spiritual.” Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu.
‘Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri mencela beberapa petapa dan Brahmana, dengan mengatakan: “Lihat bagaimana ia hidup berlimpah, memakan segala jenis makanan! Apakah dihasilkan dari akar, dari tangkai, dari ruas-ruas, dari irisan atau kelima dari biji, ia mengunyahnya semua dengan rahangnya yang kuat, dan mereka menyebutnya seorang petapa!” Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia melihat petapa atau Brahmana lain dibutuhkan, dihormati dan dihargai dan dipuja, dan ia berpikir: “Mereka membutuhkan orang kaya itu, mereka menghargainya, mereka menghormatinya dan memujanya, sedangkan aku yang adalah seorang petapa sesungguhnya dan penyiksa-diri tidak mendapatkan perlakuan demikian!” demikianlah ia iri dan cemburu karena para perumah tangga itu. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu.
‘Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri menempati posisi menonjol. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia berkeliling dan memamerkandi antara keluarga, seolah-olah mengatakan: “Lihat, ini adalah caraku meninggalkan keduniawian!” Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia berperilaku tidak jujur. Ketika ditanya “Apakah engkau menyetujui hal ini?” Walaupun ia tidak menyetujui ia akan mengatakan: “Ya, aku menyetujui”, atau walaupun ia menyetujui ia akan mengatakan: “Aku tidak menyetujui.” Demikianlah ia menjadi seorang pembohong yang berbohong dengan sengaja. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu.
‘Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri, ketika Sang Tathāgata atau seorang siswa Tathāgata membabarkan Dhamma dengan cara yang memerlukan persetujuannya, ia akan menahan persetujuannya. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia marah dan berwatak cepat marah. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia kikir dan pendendam, berwatak iri dan cemburu, licik dan menipu, keras kepala dan angkuh, dengan keinginan jahat dan terpengaruh olehnya, dengan pandangan salah dan berpendapat ekstrim; ia ternoda oleh keduniawian, mencengkeram erat-erat, tidak ingin melepaskan. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Bagaimana menurutmu, Nigrodha? Apakah hal-hal ini menggagalkan latihan keras yang lebih tinggi atau tidak?’ ‘Tentu saja menggagalkan, Bhagavā. Mungkin saja ada seorang penyiksa diri yang memiliki semua kegagalan ini, apalagi hanya satu kegagalan.’
‘Sekarang, Nigrodha, ambil kasus seorang penyiksa diri tertentu yang mempraktikkan latihan keras tertentu. Sebagai akibatnya, ia tidak senang dan tidak puas setelah mencapai akhir dari latihannya. Karena itu, dalam hal ini ia murni. Kemudian lagi, ia tidak mengangkat dirinya dan mencela orang lain … serupa dengan semua contoh dalam 10–11. Dengan demikian ia tidak menjadi pembohong yang berbohong dengan sengaja. Dalam hal ini ia murni.
‘Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri, ketika Sang Tathāgata atau seorang siswa Tathāgata membabarkan Dhamma dengan cara yang memerlukan persetujuannya, ia memberikan persetujuannya. Dalam hal ini ia murni. Dan ia tidak marah atau berwatak cepat marah. Dalam hal ini ia murni. Dan ia tidak kikir dan bukan pendendam, tidak berwatak iri dan tidak cemburu, tidak licik dan tidak mnipu, tidak keras kepala dan tidak angkuh, ia tidak memiliki keinginan jahat dan tidak terpengaruh olehnya, tidak berpandangan salah dan tidak berpendapat ekstrim; ia tidak ternoda oleh keduniawian, tidak mencengkeram erat-erat, dan bukan tidak ingin melepaskan. Dalam hal ini ia murni. Bagaimana menurutmu, Nigrodha? Apakah hal-hal ini memurnikan latihan keras yang lebih tinggi atau tidak?’ ‘Tentu saja, Bhagavā. Latihan keras itu mencapai puncaknya di sana, menembus inti.’ ‘Tidak, Nigrodha, latihan keras itu tidak mencapai puncaknya. Hanya mencapai kulit luarnya saja’.
‘Jadi, Bhagavā, bagaimanakah latihan keras mencapai puncaknya, menembus intinya? Baik sekali jika Bhagavā membantu latihan kerasku mencapai puncaknya, menembus intinya.
‘Nigrodha, ambil kasus seorang penyiksa-diri yang melaksanakan empat pengendalian. Dan apakah ini? Di sini, seorang penyiksa-diri tidak menyakiti makhluk hidup, tidak menyebabkan makhluk hidup terluka, tidak menyetujui tindakan melukai demikian; ia tidak mengambil apa yang tidak diberikan, atau menyebabkan suatu benda diambil atau menyetujui pengambilan demikian; ia tidak mengatakan kebohongan, atau menyebabkan kebohongan diucapkan, atau menyetujui kebohongan demikian; ia tidak menginginkan kenikmatan-indria, atau menyebabkan orang lain demikian, atau menyetujui keinginan demikian. Demikian pula, seorang penyiksa diri melaksanakan empat pengendalian. Dan melalui pengendalian ini, dengan membuat pengendalian ini sebagai latihan kerasnya, ia mengambil jalan naik dan tidak akan terjatuh ke dalam hal-hal rendah.
‘Kemudian ia mencari tempat tinggal yang sunyi, di bawah pohon di hutan, di gua di gunung atau jurang, tanah pemakaman, di hutan belantara, atau di ruang terbuka di atas tumpukan jerami. Dan setelah memakan makanan dari hasil menerima dana makanan, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan terhadap dunia, ia berdiam dengan pikiran bebas dari kerinduan demikian, dan pikirannya dimurnikan darinya. Setelah meninggalkan permusuhan dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran bebas darinya, dan dengan belas kasihan terhadap kesejahteraan semua makhluk hidup, pikirannya dimurnikan dari mereka. Setelah meninggalkan kelambanan-dan-ketumpulan, … dengan persepsi cahaya, penuh perhatian dan sadar jernih, pikirannya dimurnikan dari kelambanan-dan-ketumpulan. Setelah meninggalkan kekhawatiran-dan-kegelisahan, … dan dengan menenangkan pikirannya, pikirannyabebas dari kekhawatiran-dan-kegelisahan. Setelah meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam dengan keraguan ditinggalkan, tanpa kebimbangan sehubungan dengan hal-hal yang bermanfaat, pikirannya dimurnikan dari keraguan.
‘Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, dan untuk melemahkan kekotoran-kekotoranpikiran melalui pandangan terang, ia berdiam, dengan membiarkan pikirannya dipenuhi dengan cinta-kasih, meliputi satu arah, kemudian arah ke dua, kemudian ke tiga, kemudian ke empat. Dan demikianlah ia melanjutkan dengan meliputi seluruh dunia, ke atas, ke bawah, ke sekeliling dan ke segala penjuru dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, meluas, terkembang, tanpa batas, bebas dari kebencian dan permusuhan. Dan ia berdiam, dengan membiarkan pikirannya dipenuhi belas kasihan, … kegembiraan simpatik, … keseimbangan, meliputi satu arah, … meluas, terkembang, tanpa batas, bebas dari kebencian dan permusuhan. Bagaimana menurutmu, Nigrodha? Apakah latihan keras yang lebih tinggi dimurnikan melalui hal-hal ini, atau tidak?’ ‘Tentu saja, Bhagavā. Latihan keras itu mencapai puncaknya di sana, menembus inti.’ ‘Tidak, Nigrodha, latihan keras belum mencapai puncaknya. hanya mencapai kulit dalamnya saja’.
‘Jadi, Bhagavā, bagaimanakah latihan keras mencapai puncaknya, menembus intinya? Baik sekali jika Bhagavā membantu latihan kerasku mencapai puncaknya, menembus intinya.
‘Nigrodha, ambil kasus seorang penyiksa-diri yang melaksanakan empat pengendalian … seperti paragraf 16–17), bebas dari kebencian dan permusuhan. Ia mengingat berbagai kehidupan lampaunya … Di sana namaku adalah ini, … kastaku adalah itu … seperti Sutta 1, pararaf 1.31. Aku mengalami kondisi menyenangkan dan menyakitkan begini-dan-begitu … Setelah meninggal dunia di sana, aku muncul di sana … Demikianlah ia mengingat berbagai kehidupan lampaunya, kondisi-kondisinya dan rinciannya. Bagaimana menurutmu, Nigrodha? Apakah latihan keras yang lebih tinggi dimurnikan melalui hal-hal ini, atau tidak?’ ‘Tentu saja, Bhagavā. Latihan keras itu mencapai puncaknya di sana, menembus inti.’ ‘Tidak, Nigrodha, latihan keras belum mencapai puncaknya. hanya mencapai serat yang membungkus intinya saja.’
‘Jadi, Bhagavā, bagaimanakah latihan keras mencapai puncaknya, menembus intinya? Baik sekali jika Bhagavā membantu latihan kerasku mencapai puncaknya, menembus intinya.’
‘Nigrodha, ambil kasus seorang penyiksa-diri yang melaksanakan empat pengendalian …, bebas dari kebencian dan permusuhan …. Demikianlah ia mengingat berbagai kehidupan lampaunya, kondisi-kondisinya dan rinciannya. Dan kemudian, dengan mata-dewa yang murni, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali: hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, di alam bahagia atau sengsara sesuai kamma yang mengarahkan mereka. Bagaimana menurutmu, Nigrodha? Apakah latihan keras yang lebih tinggi dimurnikan melalui hal-hal ini, atau tidak?’ ‘Tentu saja, Bhagavā. Latihan keras itu mencapai puncaknya di sana, menembus intinya.’
‘Memang demikianlah, Nigrodha, latihan keras itu dimurnikan hingga mencapai puncaknya dan menembus intinya. Dan dengan demikian, Nigrodha, ketika engkau bertanya: “Apakah Bhagavā, ajaran yang Bhagavā ajarkan kepada para siswaNya, dan para siswa itu yang telah begitu terlatih sehubungan dengan manfaat dari ajaran itu menerimanya sebagai pendukung utama, dan kesempurnaan dari hidup suci?” Aku mengatakan bahwa dengan sesuatu yang mencapai lebih jauh dan lebih mulia aku mengajarkan mereka, yang dengan ajaran itu mereka … menerimanya sebagai pendukung utama, dan kesempurnaan dari hidup suci.’
Mendengar kata-kata ini, para pengembara membuat kegaduhan dan berteriak: ‘Kita dan guru kita telah hancur! Kita tidak mengetahui apapun yang mencapai lebih jauh dari ajaran kita!’
Dan ketika perumah tangga Sandhāna menyadari: ‘Para pengembara dari kepercayaan lain ini sebenarnya mendengarkan dan memperhatikan kata-kata Sang Bhagavā, dan mencurahkan pikiran mereka pada kebijaksanaan yang lebih tinggi, ia berkata kepada Nigrodha: ‘Yang Mulia Nigrodha, engkau mengatakan kepadaku: ‘Ayolah, perumah tangga, apakah engkau tahu dengan siapa Pertapa Gotama berbicara? … Kebijaksanaan Pertapa Gotama dirusak oleh kehidupanNya yang menyendiri, Beliau tidak berguna dalam percakapan, ia tidak tersentuh …” Sekarang Bhagavā telah datang ke sini, mengapa engkau tidak membuatNya bingung dengan satu pertanyaan, dan menjatuhkanNya seperti kendi kosong.’ Mendengar kata-kata ini Nigrodha hanya berdiam diri dan tidak senang, bahunya merosot, ia menggantung kepalanya dan duduk menatap ke bawah dan kebingungan.
Melihat situasi yang ia alami, Sang Bhagavā berkata: ‘Benarkah, Nigrodha, bahwa engkau mengatakan hal itu?’ ‘Bhagavā, benar bahwa aku telah mengatakan kata-kata bodoh, keliru dan jahat itu.’ ‘Bagaimana menurutmu, Nigrodha? Pernahkah engkau mendengarkan apa yang dikatakan oleh para pengembara yang tua, terhormat, guru dari para guru, bahwa mereka yang di masa lampau adalah para Arahant, Buddha yang mencapai penerangan sempurna biasanya bercakap-cakap ketika mereka berkumpul, dengan bersorak dan berteriak dan membuat kegaduhan, dan terlibat dalam pembicaraan yang tidak menentu … seperti yang dilakukan oleh engkau dan gurumu? Atau tidakkah mereka mengatakan bahwa para Buddha itu bertempat tinggal di dalam hutan, jauh di tengah hutan, bebas dari keributan, dengan sedikit suara, jauh dari kerumunan yang membuat gila, tidak terganggu oleh banyak orang, sangat sesuai untuk mengasingkan diri, seperti yang Kulakukan sekarang?’ ‘Bhagavā, aku telah mendengar dikatakan bahwa mereka yang adalah Arahant, para Buddha yang mencapai penerangan sempurna tidak melibatkan diri dalam pembicaraan dengan suara keras … tetapi bertempat tinggal di dalam hutan, … seperti yang dilakukan oleh Sang Bhagavā sekarang.’
‘Nigrodha, engkau adalah orang yang cerdas yang telah matang dalam usia. Tidakkah engkau berpikir: “Sang Bhagavā tercerahkan dan mengajarkan ajaran pencerahan, Beliau terkendali dan mengajarkan ajaran pengendalian, Beliau tenang dan mengajarkan ajaran ketenangan. Beliau telah pergi melampaui dan mengajarkan ajaran untuk pergi melampaui, Beliau telah mencapai Nibbāna dan mengajarkan ajaran untuk mencapai Nibbāna”?’
Mendengar kata-kata ini, Nigrodha berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Pelanggaran menguasaiku, Bhagavā! Betapa bodoh, buta dan jahatnya aku, sehingga aku berkata demikian tentang Sang Bhagavā. Sudilah Bhagavā menerima pengakuanku atas kesalahan ini, agar aku dapat mengendalikan diri di masa depan!’‘Memang, Nigrodha, Pelanggaran menguasaimu! Ketika, melalui kebodohan, kebutaan dan kejahatan engkau berkata demikian tentang Aku. Tetapi karena engkau menyadari pelanggaran itu dan memperbaiki dengan semestinya, kami menerima pengakuanmu. Karena, Nigrodha, ini adalah tanda kemajuan dalam disiplin para Mulia, jika seseorang menyadari pelanggarannya dan memperbaiki dengan semestinya, mengendalikan dirinya di masa depan.
‘Tetapi Nigrodha, Aku mengatakan kepadamu: Biarlah seorang yang cerdas datang kepadaKu, ia yang tulus, jujur dan lurus, dan Aku akan menasihatinya, mengajarinya Dhamma. Jika ia mempraktikkan apa yang diajarkan, maka dalam tujuh tahun ia akan mencapai kehidupan suci dan tujuan yang tanpa tandingan dalam kehidupan ini, yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga yang baik yang meninggalkan rumah menuju kehidupan tanpa rumah, dengan pengetahuan dan realisasinya sendiri, dan ia akan berdiam di sana. Jangankan tujuh tahun—dalam enam tahun, lima, empat, tiga, dua, satu tahun … tujuh bulan, enam bulan, lima, empat, tiga, dua, satu, setengah bulan. Jangankan setengah bulan—dalam tujuh hari ia akan dapat mencapai tujuan itu.
‘Nigrodha, engkau mungkin berpikir: ‘Petapa Gotama mengatakan hal ini untuk mendapatkan murid.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah ia yang menjadi gurumu tetap menjadi gurumu. Atau engkau mungkin berpikir: “Beliau ingin kami meninggalkan peraturan-peraturan kami.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah peraturanmu tetap berlaku seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: “Beliau ingin kami meninggalkan gaya hidup kami.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah gaya hidupmu tetap seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: “Beliau ingin mengokohkan kami dalam melakukan hal-hal yang menurut ajaran kami adalah salah, dan yang dianggap demikian oleh kami.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap salah tetap dianggap demikian. Atau engkau mungkin berpikir: “Beliau ingin mengalihkan kami dari hal-hal yang menurut ajaran kami adalah baik, dan yang dianggap demikian oleh kami.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap baik tetap dianggap demikian. Nigrodha, Aku tidak berbicara karena alasan-alasan ini …
‘Ada, Nigrodha, hal-hal tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, ternoda, mendukung kelahiran kembali, menakutkan, menghasilkan akibat menyakitkan di masa depan, berhubungan dengan kelahiran, kerusakan dan kematian. Adalah untuk meninggalkan hal-hal ini maka Aku mengajarkan Dhamma. Jika engkau mempraktikkan dengan benar, hal-hal ternoda ini akan ditinggalkan, dan hal-hal yang memurnikan akan tumbuh dan berkembang, dan engkau akan mencapai dan berdiam, dalam kehidupan ini, dengan pandangan terang dan realisasimu sendiri, kesempurnaan kebijaksanaan sepenuhnya.
Mendengar kata-kata ini para pengembara duduk diam dan merasa tidak senang, bahu mereka merosot, mereka menggantung kepalanya dan duduk menatap ke bawah dan kebingungan, pikiran mereka dikuasai oleh Māra. Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Semua orang-orang ini dikuasai oleh yang jahat, sehingga tidak seorangpun dari mereka berpikir: “Marilah kita menjalani kehidupan suci seperti yang dinyatakan oleh Petapa Gotama, kita akan mempelajarinya—karena apalah artinya tujuh hari?”’
Kemudian Sang Bhagavā, setelah mengaumkan auman singa di taman Udumbarikā, melayang ke angkasa dan turun di Puncak Hering. Dan si perumah tangga Sandhāna juga kembali ke Rājagaha.